OPINI

Dua Slamet

Ilustrasi: Diskriminasi

Apa jadinya jika Slamet Jumiarto tak berencana mengontrak rumah di Padukuhan Karet, Desa Pleret, Bantul, Yogyakarta. Pasti publik tidak akan tahu ada aturan konyol yang dibuat di sana. Aturan tak waras itu melarang warga nonmuslim pendatang tinggal di wilayah itu dengan alasan demi kenyamanan hidup bermasyarakat.

Aturan dusun itu sudah dibuat lama, sejak empat tahun lalu. Selama bertahun-tahun tidak ada orang yang mempersoalkan, padahal isi aturan itu melanggar ideologi Pancasila , hukum dan hak asasi manusia. Gara-gara aturan itu, pengurus RT setempat menolak kehadiran Slamet yang penganut Katolik. 

Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah NKRI. Itu bunyi pasal 27 Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia. Tak ada syarat harus seagama dengan agama mayoritas di wilayah itu, satu suku, satu bahasa atau prasyarat-prasarat primordial lain.

Slamet khawatir jika aturan seperti itu juga dibuat di daerah lain. Apalagi saat ini sikap primordial atau pandangan yang lebih menonjolkan kesukuan, ras atau agama tengah menguat di masyarakat. Sementara Indonesia negara majemuk. Jadi, bukan Slamet yang mengancam kenyamanan hidup bermasyarakat, melainkan peraturan RT dan sikap primordialisme semacam itu yang mengancam bangsa ini. 

Belum lama di Yogyakarta ada warga meninggal dan jenazahnya ditolak dikubur di pemakaman umum hanya karena nonmuslim. Namanya, Slamet Sugihardi.  

Kasus yang menimpa dua Slamet ini mesti menjadi alarm bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, gubernur, bupati, walikota, camat hingga kepala desa. Bahwa ancaman kemajemukan ada di depan mata. Termasuk melalui aturan-aturan lokal yang dibuat karena sikap mabuk agama. 

  • Slamet Jumiarto
  • Pancasila
  • minoritas
  • primordial
  • Slamet Sugihardi
  • intoleransi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!