SAGA

[SAGA] Siapa Saja Pahlawan dari Etnis Tionghoa? Museum Pustaka Menyimpan Jawabannya

[SAGA] Siapa Saja Pahlawan dari Etnis Tionghoa? Museum Pustaka Menyimpan Jawabannya

KBR, Jakarta - Jalan utama di daerah Serpong, Tangerang Selatan, dipenuhi jejeran rumah toko (ruko) dan pusat perbelanjaan. Satu di antara ruko itu ternyata museum. Sebagai penanda keberadaannya, ada papan merah dengan ukiran khas Tiongkok yang terpacak di depan ruko. Tulisannya; Museum Pustaka Peranakan Tionghoa.

Saya pun masuk melewati pintu kaca. Tercium oleh saya aroma kertas-kertas kuno. Sang pemilik museum, Azmi Abubakar menyambut dengan ramah.


Saya diajak melihat-lihat. Puluhan lemari kaca berisi buku-buku kuno yang telah pudar dan berwana coklat, tersimpan rapi. Kata Azmi, museum ini menyimpan 30 ribu koleksi seperti lukisan, patung, dan beragam barang antik. Ia menyebutnya sebagai harta karun.


"Jadi ini harta karun bangsa Indonesia. Tidak ada etnis lain di Indonesia yang memiliki karya seperti etnis Tionghoa. Mulai komik sampai yang serius seperti medis dan politik," kata Azmi ketika ditemui KBR.


Azmi bukan keturunan Tionghoa, tapi murni berdarah Aceh dengan logat khas Melayu. Ia mengatakan, mulai tertarik pada sejarah Tionghoa di Indonesia ketika kuliah di Institut Teknologi Indonesia (ITI) Serpong.


Tepatnya saat 1998 –bersamaan dengan aksi demonstrasi mahasiswa yang menuntut Soeharto lengser dari kursi presiden selama 32 tahun. Kenangan itu membekas di dirinya, khususnya kala etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa.


"Itu kenangan yang sangat buruk bagi saya. Tidak seimbang, jatuhnya Soeharto harus kita bayar mahal dengan tercerderainya hubungan baik kita dengan Tionghoa," sambungnya.


Yang juga jadi kegelisahannya, tak banyak informasi tentang peran etnis Tionghoa dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Padahal, tokoh Tionghoa seperti Shouw Phan Ciang atau Khe Panjang atau Kapitan Sepanjang, berperan melawan VOC.


Atau sebut saja Laksamana Muda John Lie Tjeng Tjoan atau Daniel Dharma. Pria asal Manado, Sulawesi Utara, ini dijuluki Hantu Selat Malaka karena ikut membantu memasok senjata bagi pejuang tanah air.


"Mereka pejuang-pejuang besar. Banyak sekali pejuang besar Tionghoa yang melawan Belanda, yang tidak kalah dengan etnis lain. Bahkan di Jawa, peperangan terbesar melawan VOC dilakukan orang Tionghoa."


Nama-nama itu terasa asing atau mungkin tak pernah terdengar. Tapi kepada saya, Azmi bercerita bagaimana Shouw Phan Ciang alias Khe Panjang –yang merupakan keturunan Tionghoa ikut melawan VOC pada 1740-1743. Ketika itu, ia menjadi panglima besar dalam Perang Sepanjang di Batavia, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur. Meski akhirnya kalah, tapi pasukannya berhasil membuat VOC kewalahan.


Sedangkan Laksamana Muda John Lie Tjeng Tjoan atau Daniel Dharma menjadi pemimpin kapal The Outlaw pada 1974. Bolak-balik dari Sumatera-Singapur dan Thailand, ia menyelundupkan senjata untuk para pejuang. John Lie juga tercatat sebagai salah satu perintis TNI Angkatan Laut dan memperoleh gelar pahlawan nasional pada 2009.


"Dia satu-satunya pahlawan Indonesia dari etnis Tionghoa dan jasanya luar biasa. Meninggal dalam kesederhanaan."


"Sekolah-sekolah yang banyak anak didiknya dari etnis Tionghoa kalau berkunjung ke museum, saya tanya 'Siapa pahlawan dari etnis Aceh?' Lancar mereka menjawab. Tapi ketika saya tanya, 'Siapa pahlawan dari etnis Tionghoa?' Pada diam. Gurunya juga diam."


Semua literatur perjuangan keturunan Tionghoa itu kini tersimpan di museumnya. Dari situ pula, Azmi ingin mengikis stereotip orang Tionghoa cuma handal di bidang ekonomi.  


Akan tetapi bagaimana ia mendapatkan jejak sejarah itu? Blusukan ke pelosok-pelosok kabupaten di Indonesia, bahkan ke luar negeri. Tapi kini ia terbantu dengan internet, sehingga mempermudah pencarian. Ia pun tak mau menyebut uang yang sudah dikeluarkan demi mendapatkan semua koleksi itu.


red

(Sang pemilik museum, Azmi Abubakar. Foto: Dian Kurniati)


Di museum ini juga tersimpan buku resep masakan peranakan Tionghoa yang terbit pada 1915 dan seri komik Put On yang diterbitkan majalah mingguan Sin Po mulai 1931. Komik itu berkisah tentang Ko Put On, tokoh yang diciptakan illustrator Kho Wan Gie—yang belakangan diketahui menjadi pelopor komik strip pertama di Indonesia.


Komik Si Put On berisi cerita tentang kehidupan sehari-hari, serta berbagai isu-isu populer yang terjadi pada masyarakat saat itu. Misalnya, saat pemerintah gencar dengan program vaksinasi kolera, ternyata si Put On enggan disuntik hingga ibunya, Encim Piang Nyong, mengomel.


Sejak museum ini berdiri sudah ratusan pengunjung datang, mulai dari siswa sekolah hingga peneliti. Museum Pustaka buka setiap Senin hingga Sabtu dan tak dipungut biaya.


Surasa, seorang pengunjung, mengatakan kagum dengan koleksi di sini. Dia pun mendapat pengetahuan baru dari kunjungannya ini.


"Bisa dibilang unik. Karena di zaman sekarang, orang yang banyak membenci orang Tionghoa. Sebab tahunya Eddy Tansil," ungkap Surasa.


Kembali ke Azmi. Ia berharap adanya museum ini, bisa menambah pengetahuan masyarakat terhadap peran orang-orang keturunan Tionghoa. Dan, tak lagi bias memandang mereka.


"Semoga menjadi trigger bagi kelompok-kelompok lain, bagi negara terutama untuk melihat ini sebagai sesuatu yang harus diapkan jauh-jauh hari. Jangan tunggu (rusuh-red) baru ngomong lagi," harapnya.





Editor: Quinawaty 

  • museum tionghoa
  • serpong
  • Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
  • azmi abubakar

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!