Spanduk penolakan terhadap Gunretno, petani asal Pati, menuju pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang. Foto: Nurika Manan/KKBR.

SAGA

Tambang Semen Membelah Rembang (2)

Rabu 12 Apr 2017, 17.05 WIB

Ibu bumi wis maringi, Ibu bumi dilarani, Ibu bumi kang ngadili, La ilaha illallah, Muhammadur rasulullah... (Ibu bumi sudah memberi. Ibu bumi disakiti. Ibu bumi yang mengadili...)”

Syair itu diciptakan Gunretno, tokoh sedulur sikep sekaligus Koordinator JMPPK Pati. JMPPK, kependekan dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, adalah kumpulan warga juga petani di deret Pegunungan Kendeng Utara yang menolak tambang dan pabrik semen di Jawa Tengah. Mereka kerap menyanyikan syair itu dengan nada minor pada setiap aksi protes.

Ketika saya dalam perjalanan sekitar enam jam, dari Semarang menuju ring 1 tapak pabrik PT. Semen Indonesia di Rembang, nama Gunretno terpampang di spanduk berukuran 7x1 meter. Isinya: "Stop Konflik Sosial, Usir Gunretno dari Rembang". Spanduk lain, bertulis: "Rembang Ingin Maju Bersama Pabrik Semen".  

Gunretno adalah petani asal Pati. Tapi spanduk pengusiran atas dirinya sampai ke Rembang. Agak aneh, meski dua daerah tersebut memang sama-sama menolak tambang dan pabrik semen. Di Pati, anak usaha Indocement, yaitu PT Sahabat Mulia Sakti, berusaha masuk menambang. Sedang di Rembang, ada PT Semen Indonesia. 

Namun khusus di Rembang, warga di tiga desa; Kadiwono, Pasucen, dan Kajar, terang mendukung. Sementara dua desa lain; Timbrangan dan Tegaldowo, terpecah antara yang pro dan kontra. Perbedaan sikap tersebut, menurut Bupati Rembang Abdul Hafidz, terbilang wajar. Lagi pula, klaimnya, hanya 10 persen warga yang tak setuju.  

Karena itulah, ia siap pasang badan demi kelanjutan proyek dan investasi senilai Rp5 triliun tersebut. Apalagi, pabrik PT Semen Indonesia sudah 99 persen rampung. Tabung-tabung raksasa warna perak terlihat menjulang ke angkasa. Penampakannya mencolok sebab bangunan itu terletak di tengah hijaunya hamparan sawah.

Pro-kontra tambang semen begitu terasa. Di sepanjang jalan ring 1 pabrik semen di Rembang, spanduk-spanduk saling silang terpasang berisi dukungan juga penolakan. Papan segi empat bertulis: "Kendeng Lestari" atau "Tolak Pabrik Semen" saya jumpai di beberapa rumah. Pun rumah dengan bendera PT Semen Indonesia. 

Bahkan sekali waktu, ada gambar menyerupai piramida berwarna merah menempel di tembok rumah. Gambar itu logo PT Semen Indonesia. Yang begitu, pemilik rumah belum tentu mendukung. Tapi pasti, bangunan tersebut berasal dari dana CSR perusahaan.

Melihat kondisi ini, Komnas Perempuan yang beberapa kali turun ke Rembang, menemukan indikasi munculnya konflik horizontal lanjutan. Perang spanduk antar-kelompok itu jadi salah satu pertanda. 

red

(Pengendara lewat di depan baliho yang menolak adanya Pabrik Semen di Desa Tegaldowo, Gunem, Rembang, Jawa Tengah. Foto: Antara)


Sikap berseberangan antar-warga, bermula pada 2012—awal masuknya PT Semen Indonesia di Rembang. Dan kian kentara pada 2014; dimana warga penolak mendirikan tenda di pintu masuk pabrik, pelbagai aksi protes dilakonkan—mulai dari balai desa, kantor Gubernur Jawa Tengah, hingga pengadilan.

Dan seteru ini dirasakan Murtini, warga Desa Timbrangan, yang tiga tahun belakangan menolak tambang. Imbas dari pilihannya menuai hasil; ia dilaporkan ke polisi. 

“Masak pabrik semen mau memberi (sembako) terus? Memberi kan sekali dua kali, kalau sampai anak cucuku apa ya pabrik mau ngasih terus? Lhak ya enggak. Kami petani di sini itu sudah merasa sejahtera. Semua tidak beli, yang beli hanya garam, micin. Sayuran apa saja tak ada yang beli, menanam semua. Ada cabai, sayuran, jagung. Punya sendiri semua, tidak usah beli,” kata Murtini.

Perkara hukum itu, bermula dari laporan sepupunya atas pemalsuan tanda tangan penolak pabrik semen. Murtini pun mesti bolak-balik ke Polda Jawa Tengah: memenuhi panggilan sebagai terlapor. 

Urusan lain, dihadapi petani asal Tegaldowo, Sari -bukan nama sebenernya. Kata dia, buah hatinya kerap dirundung teman sekolah, karena dirinya menolak pabrik semen. "Kalau sama guru tidak apa-apa, paling sama temen-temennya dirundung: 'Ibumu tolak semen ya?' Lalu dia bilang: 'Mak, aku nggak seneng.' Kan satu kelas hanya anak saya sendiri."

Alhasil, bocah kelas 5 SD itu sering membujuknya agar berhenti menolak pabrik, berhenti aksi, dan berhenti menjaga tenda perjuangan. 

Meski begitu, bagi Kepala Desa Tegaldowo, Suntono, semua persoalan tersebut lumrah. Kata dia, gesekan antar-warga hanya terjadi ketika sedang membicarakan pabrik semen. Selebihnya, warga akur-akur saja. “Nah kalau sudah ada kata-kata pabrik, itu yang kontra memang agak tersinggung hatinya. Tapi kalau komunikasi kemasyarakatan, paseduluran, tidak ada bedanya. Tapi kalau ada kegiatan tahlilan, pengajian itu biasa. Itu kami jadikan panitia bareng-bareng,” tutur Suntono.

Ungkapan serupa dicetuskan juga Suwandi, warga Tegaldowo lainnya. “Kalau di sini tidak sampai kayak yang diberitakan bahwa Tegaldowo memanas, anu.. anu.. , itu nggak seperti itu. Sebetulnya wajar lah, masak setuju semua atau kontra semua kan ya nggak mungkin. (Pro-kontra) Itu hal yang wajar menurut saya,” tukasnya.

Dia pun menyayangkan penolakan sebagaian warga. Karena baginya, selama ini PT Semen Indonesia mendatangkan banyak faedah di desanya.  

red

(Reruntuhan tenda perjuangan yang dirusak orang tak dikenal pada 11 Februari 2017. Foto: Nurika Manan/KBR)

Puncak dari perpecahan ini, tenda penolak semen dirusak dan dibakar. Jumat 10 Februari 2017 lepas Isya, Murtini menyaksikannya langsung. “Saya sempat menangis, saya itu membatin: kok ya kebangetan, tega banget,” ujar Murtini.

Murtini menyesal tak punya cukup daya untuk mencegah para pembakar. Tenda beratap terpal hasil patungan warga itu pun luluh lantak. “Diangkat bareng-bareng itu kan nggak kuat, lalu doyong bangunannya. Lalu setelah itu dipenthung, ditimpa batu, diinjak, lalu diseret orang banyak, lalu ditumpuk dengan tenda, terus dibakar,” suara Murtini tercekat.

Tapi, meski tendanya dibakar, dan dirinya dilaporkan, Murtini masih akan terus melawan. “Sekarang ya meski sudah tidak bisa piket (jaga tenda). Tapi kalau tolak, tetap saja tolak. Ada atau tidak ada tenda, tak ada musala di situ. Awake dulur-dulur iki tetap tolak (pabrik semen),” tutupnya. 

Pegunungan Kendeng Utara di Rembang, Jawa Tengah, dari kejauhan. Foto: Nurika Manan

Gua itu bernama Menggah. Menurut Amdal PT Semen Indonesia, Gua Menggah tak masuk wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dan, memang tak masuk. Kata Wagiman dan Ngatiban yang pernah masuk, air dalam gua sekitar satu meter. Ada ikan, katak, dan serangga.  

red

(TIM KLHS saat memantau gua di Kendeng, Rembang, Jateng. Foto: KBR/Noni Arni) 

Luasan batu kapur di kabupaten ini memang mencapai ribuan hektar. Dan, Bupati Rembang Abdul Hafidz berniat meningkatkan pemasukan daerah dengan menambang bebatuan kapur ini. “Kapur kita itu kan melimpah, ada sekitar 2000 hektare. Kalau kita kelola dengan kedalaman 100 meter dari paling atas, itu akan ketemu 5000 juta ton dari 2000 hektare itu. Padahal semen itu, kalau produksinya 3 juta ton 1 tahun itu, kalau 30 tahun baru 30 juta ton, kalau 50 tahun itu 50 juta. Padahal ini ada 5000 juta ton. (Mau dimanfaatkan semua?) Nggak, artinya itu potensi di sana,” terang Hafidz.

Dia yakin, tambang kapur akan mendatangkan efek berlipat (multiplier effect) yang berujung pada kesejahteraan warganya. Pandangan itu bertolok pada tingkat kemiskinan yang dicatat BPS terakhir 2013. Kata dia, angka kemiskinan menurun sejak muncul pertambangan pada 1990an.

Niat yang segendang sepenarian dengan Pemprov Jawa Tengah. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Teguh Dwi Paryono mengatakan, gamping di Watuputih bisa dimanfaatkan selagi sesuai syarat. Semisal, soal batas tambang dan jaminan bahwa sistem akuifer atau penyimpanan air tak terganggu. Batas tambang aman menurut ESDM adalah tak lebih dari kedalaman 100 meter.

“Memang diatur harus selektif, unsur kehati-hatian. Ya itu yang kami masukkan. Makanya batasan penambangan itu kan karena di situ daerah resapan. Yang masukan air ini yang kami atur," ujar Teguh.

Klik di sini  untuk melihat sebaran mata air, sumur, gua serta lokasi tambang di Rembang. 

PT Semen Indonesia, salah satu perusahaan yang antre, melalui Amdalnya memastikan hanya akan menambang di zona kering dengan kedalaman kurang dari 100 meter. Selain perusahaan pelat merah ini, tercatat ada belasan perusahaan tambang lain yang sudah beroperasi sejak 1998. Sebutlah PT Bangun Arta, PT Sinar Asia Fortuna (SAF) dan PT Indonesian Comcocrown Chemical Industry (ICCI).

Termasuk juga, Kepala Desa Tegaldowo Suntono. Dia mengaku memiliki usaha tambang kecil-kecilan sejak 2004. Hasil yang berkali-kali lipat dibanding bertani membuatnya terpincut. Hanya dari setengah hektar gamping, perbulan dia bisa mengantongi Rp30-40 juta. Artinya, setahun bisa sekitar Rp500 juta. 

Dari bertani, ia mengaku hanya beroleh Rp 50 juta tiap kali panen (6 bulan), itupun dengan 5 hektar lahan. Sehingga hasil dari bertani hanya sekitar Rp100 juta pertahun. “Kalau perkembangan zaman sekarang, ngapain kita mikir anak-cucu. Kita berusaha menyejahterakan anak sendiri dulu, nanti anak cucu dipikir anaknya lagi," tambahnya.

red

(Area tambang salah satu perusahaan tambang. Foto: Nurika Manan/KBR)

Dalam uji lapang dan analisis risiko, peneliti Kawasan Watuputih pada 2015, Nandra Eko Nugroho mengungkapkan, penambangan bisa merusak fungsi kawasan sebagai resapan air. Perhitungan sederhana Nandra, pemotongan 15 centimeter gamping saja dengan asumsi dua hari hujan akan menghilangkan simpanan air lebih dari 6 juta liter.

Watuputih, menurutnya, juga merupakan kawasan imbuhan air terluas di Rembang. Penyimpanan air dari tubuhnya bisa memenuhi kebutuhan lebih dari 600 ribu (607.198) jiwa di 14 kecamatan di Rembang. “Kalau kita bicara surplus (air), air ini digunakan Rembang dan Blora, mereka hanya menggunakan air dari dua mata air untuk Rembang dan Blora. Kalau bicara pertumbuhan, setiap orang butuh 80-150 liter perorang perhari. Itu belum untuk petani, di sana mayoritas petani,” terang Nandra.

Tak hanya itu, Nandra melanjutkan, karst tak bisa diperlakukan sama seperti batuan lain. Sebab sekali morfologinya rusak, maka hancur sudah ekosistemnya. Puluhan tahun mendatang, boleh jadi gua seperti Menggah takkan lagi bisa terbentuk. Dan, rumah bagi kelelawar, serangga, katak, tak lagi ada. 

“Rekomendasinya itu konservasi, salah satunya membuat geosite, geowisata, geoheritage. Ini akan mengangkat perekonomian lokal, dan sifatnya selamanya,” jelas Nandra.

Selain itu, CAT Watuputih menurut Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2010 – 2030 digolongkan dalam kawasan lindung geologi. Maka sudah selayaknya dibentengi. 

Baca bagian pertama di sini:Tambang Semen Membelah Rembang (1) 

	<td>Nurika Manan <br>
<tr>
	<td class="">Editor: <br>
	<td>Quinawaty <br>
<tr>
	<td class="current">Grafis: <br>
	<td>Danang Wardoyo <br>
Reporter: