HEADLINE

Wantimpres: Komisi Kebenaran Bisa Dihidupkan Lagi Lewat Dekret Presiden

Wantimpres: Komisi Kebenaran Bisa Dihidupkan Lagi Lewat Dekret Presiden

KBR, Jakarta - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto mengusulkan agar Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dihidupkan kembali.

Sidarto mengatakan penghidupan KKR tidak harus melalui Undang-undang, namun bisa melalui dekret atau keputusan presiden untuk hal-hal luar biasa.


"Ada usulan membentuk tim khusus atau menghidupkan KKR? Itu bisa dalam bentuk Undang-undang, tapi bisa juga dalam bentuk presidensial decree (dekret presiden). Meski begitu, tetap perlu pengesahan dari DPR," jelasnya.


Terkait Simposium Tragedi 1965 yang digelar awal pekan ini, Sidarto Danusubroto berharap simposium dapat merekomendasikan rehabilitasi untuk semua korban pelanggaran hak asasi manusia kasus 1965. Sidarto mengatakan rehabilitasi penting untuk memulihkan hak sipil dan warga negara korban.


"Supaya mereka dikembalikan dan dipulihkan hak sipil dan warga negaranya. Tidak ada stigma dan dosa turunan dari keluarga mereka. Kedua, kembali dibangun upaya rekonsiliasi nasional. Saya harapkan simposium ini tidak hanya di Jakarta, tapi di daerah-daerah dan ini dilindungi negara," imbuhnya.


Sebelumnya, pakar hukum Harkristuti Harkriswono mendorong agar Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi (UU KKR) kembali dikaji.


Pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang KKR atas permintaan kelompok hak asasi manusia. Ia mengatakan, penyelesaian kasus tragedi 1965 secara yudisial justru tidak akan menghasilkan apa-apa. Selain membutuhkan waktu lama, proses pencarian bukti dan saksi tidak mudah.


Editor: Agus Luqman 

  • Sidarto Danusubroto
  • Tragedi 1965
  • simposium tragedi 1965
  • pelanggaran HAM
  • hukum
  • Presiden Jokowi
  • Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
  • tragedi65
  • dekret presiden

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!