HEADLINE

Svetlana Njoto Berharap Rekonsiliasi Hingga ke Akar Rumput

""Beban saya yang terberat, tak pernah diketahui teman-teman semua adalah ketika saya harus menyembunyikan identitas saya berpuluh tahun. Saya dilarang menggunakan nama saya karena berbau Rusia.""

Quinawati Pasaribu

Svetlana Njoto Berharap Rekonsiliasi Hingga ke Akar Rumput
Suasana simposium tragedi 65, Senin (04/18/2016)

KBR, Jakarta- Svetlana adalah anak sulung Njoto, petinggi Partai PKI. Ketika memberi kesaksian di Simposium Nasional Tragedi 65, ia mengungkapkan satu beban berat yang selama ini ia pikul. "Saya tak ingin bercerita tentang masa lalu saya, karena sudah banyak cerita. Saya juga sudah lelah untuk menceritakan kisah-kisah yang membuat hidup saya ke depan juga berat," ungkap Svetlana.

Selama berpuluh tahun, Svetlana tak pernah menggunakan nama aslinya. "Beban saya yang terberat, tak pernah diketahui teman-teman semua adalah ketika saya harus menyembunyikan identitas saya berpuluh tahun. Saya dilarang menggunakan nama saya (Svetlana-red) karena sangat berbau Rusia. Ibu saya takut," pungkasnya.


Pasca ayahnya hilang dan ibunya ditahan, ia dan enam adiknya tinggal bersama salah satu kerabat keluarga. "Saya tinggal dengan orang lain, kerabat yang berbaik hati menerima kami. Tapi satu-satunya balas budi yang bisa saya berikan tidak memberitahukan siapa saya," imbuh Svetlana.


Tak mengungkap identitas diri itu, kata Svetlana, bukan berarti ia takut. Ia mengaku bangga menjadi anak Njoto. Tapi demi keselamatan kerabat itu (yang telah merawatnya-red) jangan sampai terkena stigma PKI.


Kebohongan selama berpuluh tahun itu, menjadi beban yang terus menghantui. Malah, karena itu pula, Svetlana kesulitan bergaul atau paling tidak, mengikuti kegiatan-kegiatan formal semisal lomba.


Barulah beberapa tahun belakangan, Svetlana bergabung dengan Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Di sana, ia berteman dengan anak-anak jendral revolusi, putra Kartosuwirjo hingga cucu Daud Beureueh. "Itu kami membangun sebuah persahabatan antara saya dengan yang lain, khususnya putri jendral revolusi DI Pandjaitan."


Putri DI Pandjaitan yang disebut Svetlana itu, Catherine Pandjaitan. Kedekatannya dengan Catherine justru kerap membuat banyak orang terheran-heran. "Catherine memperlakukan saya seperti saudara." Di FSAB pula, keturunan kedua dan ketiga dari petinggi PKI dan jendral revolusi itu sering berkumpul dan berbagi kisah.


Kisah Kekerasan Itu Berulang

Svetlana juga bercerita bagaimana ia dan keluarganya harus pergi dari rumahnya di Yogyakarta karena merasa tak aman. "Yang memukul saya adalah karena pasca hampir 50 tahun, anak saya harus mengalami pengalaman yang sama seperti saya alami dulu: harus pergi dari rumah," ucapnya.

Kejadian itu pada 2013 silam. Kala itu, ia yang baru setahun di Yogya dan tinggal di sebuah komplek perumahan, melihat bagaimana Front Anti-Komunis Indonesia (FAKI) menyerbu sebuah acara retret dan kemudian polisi membubarkan kegiatan tersebut. Padahal kata dia, retret itu mengadakan pelatihan membuat pupuk, jamur, dan pemberdayaan ekonomi lainnya.


"Saya tak takut di sana, tapi karena saya tinggal di dekat situ, teman-teman khawatir dan saya pergi dari rumah itu," imbuhnya. Saat itu, ia tak membawa apapun, padahal anaknya tengah mempersiapkan ujian kelulusan SMA. "Saya terpukul ketika anak saya bertanya, 'Kalau kita pulang nanti apa yang akan kita dapat? Bagaimana dengan tetangga?'" kenang Svetlana.


"Saya berpikir, saya tak salah dan saya bertekad untuk tetap kembali dan tinggal di situ. Saya bertahan karena saya tak bersalah dan sampai sekarang kalau ada tamu, masih ada yang mengintai," sambungnya.


Harapan Rekonsiliasi di Akar Rumput

Kini ia berharap rekonsiliasi di akar rumput bisa terlaksana. Semisal, apa yang dilakoni para relawan dan anak-anak muda NU. Rekonsiliasi itu, kisah Svetlana, juga terjadi di beberapa wilayah seperti Bantul dan Sleman. "Dan itu mendapat tanggapan yang cukup baik dari ibu GKR Hemas. Jadi saya cuma berpikir dan berharap dari pemerintah. Saya tak tahu caranya bagaimana memberikan pemahaman lebih baik pada masyarakat sehingga kami bisa diterima," harapnya.  

Editor: Dimas Rizky

  • Svelana Njoto
  • Simposium nasional “Membedah Tragedi 1965”
  • rekonsiliasi
  • PKI
  • G30S

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!