HEADLINE

Simposium Tragedi 1965, Presiden Didesak cabut Aturan Diskriminatif

""Ada instruksi Menteri Dalam Negeri tentang adanya larangan menjadi PNS dan TNI dan larangan untuk profesi lainnya seperti guru," "

Ria Apriyani

Simposium Tragedi 1965, Presiden Didesak cabut Aturan Diskriminatif
Simposium Nasional 1965. (Sumber: Youtube)

KBR, Jakarta- Sejarawan meminta Presiden Joko Widodo mencabut peraturan diskriminatif terhadap korban tragedi 1965-1966. Menurut Asvi Warman Adam, Negara harus mengakui bahwa pada tahun 1965 terjadi banyak pelanggaan HAM berat. 

"Peristiwa 65 ada stigma dan diskriminasi. Ada instruksi Menteri Dalam Negeri tentang adanya larangan menjadi PNS dan TNI dan larangan untuk profesi lainnya seperti guru," ujar Asvi di Hotel Arya Duta, Senin(18/4/2016).


Salah seorang penyintas 65 Mardianto mengaku sulit mencari pekerjaan usai lepas dari Pulau Buru. Ketika ditangkap ia baru berusia 18 tahun. Mardianto tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi. Usai lepas dari tahanan pun, ia tak punya cukup uang untuk melanjutkan pendidikan.


Mardianto pernah bekerja sebagai kenek, namun tidak bertahan lama. Beruntung saat di Pulau Buru ia belajar akupuntur. Setelah itu ia mempelajari pijat shiatsu. Dari situlah ia mencukupi hidup keluarganya.


Asvi melihat kisah Mardianto ini bukan satu-satunya. Banyak penyintas 65 harus berjuang melanjutkan hidupnya usai lepas dari tahanan. Ia menyayangkan Pemerintah justru berdebat soal angka korban. Menurutnya, itu tidak perlu. Sebab, berapapun angkanya, menurut Asvi, negara harus mengakui bahwa kekeliruan itu ada.


Asvi mendesak negara membentuk Komite Kepresidenan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat ini. Ia pesimistis jika simposium ini bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran dan menyelesaikan proses hukum kasus pelanggaran HAM 1965.


Terkait hal ini, Reza Almuharram dari International People's Tribunal 65 juga melihat sebelum ditentukan penyelesaian konflik, hal pertama yang harus segera dilakukan adalah pencabutan peraturan diskriminatif. Sebab menurutnya banyak peraturan yang membatasi ruang gerak korban 65 berikut keturunannya.


"Penyelesaian tidak perlu dipertentangkan dulu. Yudisial yang macet, lanjutkan. Yang nonyudisial kita eksplorasi. Khusus ini, Jokowi harus segera mencabut Keppres diskriminatif. Itu ga perlu DPR. Dia punya hak prerogatif."


Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan  berkali-kali dalam berbagai kesempatan menggaungkan jalan penyelesaian nonyudisial. Sebab katanya, pelaku dan korban sudah banyak yang meninggal dan bukti yang ada pun tidak cukup.

Hari ini hingga besok, digelar simposium nasional untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia pada tragedi 1965. Pada simposium itu, salah satu solusi yang diusulkan adalah  melalui jalur nonyudisial atau rehabilitasi. Jika menggunakan metode rehabilitasi, berarti pemerintah harus membersihkan nama korban yang selama ini dianggap terlibat dalam Tragedi 1965. 


Editor: Rony Sitanggang

  • Simposium nasional “Membedah Tragedi 1965”
  • Asvi Marwan Adam
  • peraturan diskriminatif
  • tragedi 65
  • tragedi65

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!