HEADLINE

Simposium 1965: Tapol Pulau Buru Tolak Penyelesaian Nonyudisial

"Mekanisme nonyudisial tidak adil bagi para korban"

Simposium 1965: Tapol Pulau Buru Tolak Penyelesaian Nonyudisial
Tedjabayu Sudjojono bertemu seorang kawan tahanan politik di gedung kesenian Savanajaya, Pulau Buru. Foto: Rahung Nasution

KBR, Jakarta - Bekas tahanan politik Pulau Buru, Tedjabayu Sudjojono menolak simposium nasional kejahatan HAM 1965-1966 pekan depan apabila merekomendasikan penyelesaian melalui jalur nonyudisial. Menurutnya, mekanisme nonyudisial tidak adil bagi para korban. Dia berkeras bahwa proses yudisial perlu dilakukan. "Ada pengadilan dulu. Ketika pengadilan bicara, oke negara salah. Sudah, tidak ada lagi hukuman untuk para pelaku. Toh mereka juga sudah pada tua," ungkap Tedjabayu pada KBR, Kamis (14/4/2016).

Menurutnya, Pengadilan harus membuat negara mengakui tragedi 1965 dan meminta maaf, utamanya kepada tahanan politik yang telah dihancurkan hak-hak ekonomi, sosial dan politiknya. "Pertama, saya tegaskan perlu ada pengakuan dari negara atas tragedi 65. Kedua, negara harus minta maaf kepada tapol atau siapapun itu yang telah dihancurkan hak-hak politik maupun sosial," ujarnya.

Meski begitu, ia tidak akan menuntut adanya ganti rugi atau restitusi dari negara. "Saya lebih cenderung bahwa uang negara yang diberikan kepada kami yang hampir mati ini untuk membangun atau apalah yang lebih berguna untuk masyarakat," tambahnya.

Sementara terkait undangan simposium itu, Tedjabayu mengaku enggan untuk datang. Sebab, gelaran serupa sudah sering diadakan dan tidak menghasilkan solusi. "Saya sudah capek juga dengan simposium, karena sudah sering digelar tapi hasilnya tidak ada. Janji-janji manis saja," pungkasnya.

Tedjabayu Sudjojono adalah bekas tahanan politik tragedi 65 yang dibuang ke tanah pengasingan di Pulau Buru pada 1970 dan akhirnya dibebaskan November 1979.

Semasa kuliah di UGM, putra dari pelukis terkenal S Sudjojono ini menjadi anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Organisasi ini  menolak sistem perpeloncoan di UGM, karena dianggap peninggalan zaman feodal. Di kemudian hari CGMI dianggap bagian dari PKI.

Tedjabayu ditangkap saat mempertahankan gedung Universitas Res Publika yang didirikan Utami Suryadarma, istri Kepala Staf Angkatan Udara Suryadi Suryadarma. Universitas itu sekarang dikenal dengan nama Universitas Trisakti, Jakarta.

Saat itu, dia dan beberapa temannya tengah berjaga setelah ada kabar gedung itu akan diserbu oleh KAMI/KAPPI pada 1966. Gedung itu dianggap milik PKI. Kata dia, sebelum terjadi penyerang datanglah tentara yang baru kembali bertugas dari operasi Dwikora di Kalimantan Barat.

Simposium Nasional Tragedi 1965

Simposium nasional bertajuk “Membedah Tragedi 1965” akan digelar dengan sokongan Kemenkopolhukam. Simposium itu akan menghadirkan korban dan pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Korban yang diundang adalah eks PKI dan keluarga pahlawan revolusi Indonesia. Mereka misalnya Cetherine Pandjaitan, Stevlana Nyoto dan Nani Nurani.

Selain itu, ada pula pelaku yang akan dihadirkan dalam simposium itu. Pelaku ini bukan berarti orang yang melakukan kekerasan HAM, tetapi orang yang mengalami peristiwa secara langsung, seperti bekas ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional, Sulastomo. Saat dihubungi KBR, Sulastomo mengaku akan hadir. "Saya sudah terima undangannya. Dan saya menjawab Insyallah saya hadir. Tetapi kalau materi tunggu saja pada saat simposium. Pendapat saya akan disampaikan," katanya,   

Hasil dari simposium yang berupa rekomendasi itu akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo untuk dijadikan pertimbangan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pada 1965. 


Editor: Damar Fery Ardiyan

  • Simposium nasional “Membedah Tragedi 1965”

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!