KBR, Jakarta- Total kerugian ekonomi
dari pencemaran limbah berbahaya beracun industri di Kawasan Rancaekek,
Kabupaten Bandung yang diderita masyarakat sekitar aliran Sungai
Cikijing mencapai angka 11,4 Triliun rupiah. Angka ini dikeluarkan dari
laporan berjudul Konsekuensi Tersembunyi: Valuasi Kerugian Ekonomi
Akibat Pencemaran Industri yang dilakukan Koalisi Melawan Limbah. Koalisi terdiri dari Paguyuban Warga Peduli Lingkungan (Pawapelling), LBH
Bandung, Walhi Jabar, dan Greenpeace serta bekerja sama dengan tim
peneliti dari Institute of Ecology Universitas Padjajaran.
Kerugian
tersebut dihitung selama periode 2004-2015 dari multisektor yang
meliputi pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kesehatan,
kerusakan sumber air, penurunan kualitas udara, dan hilangnya
pendapatan. Atas kerugian besar itu, Ahmad Ashov Birry, Juru Kampanye
Detox Greenpeace mendorong penguatan regulasi menajemen bahan kimia
berbahaya beracun.
"Kami melihat ini tidak jelas pertanggung
jawabannya, Sungai Cikijing baru-baru saja kami ambil itu masih seperti
itu hitam. Warga yang terkena dampak pun tidak ada kompensasi. Tidak ada
upaya pemulihan dari pihak yang bertanggung jawab. Jadi ini suatu
potret betapa lemahnya penegakkan hukum kita dan betapa lemahnya
transparansi data-data B3 padahal B3 dampaknya luas. Padahal Cikijing
bermuara di Sungai Citarum yang menyuplai kebutuhan air baku Jakarta,"
ungkap Ashov (4/4/2016)
Laporan itu juga menyebut estimasi biaya
remediasi untuk lahan yang tercemar seluas 933,8 Ha mencapai
setidaknya lebih dari 8 triliun rupiah. Padahal menurut Ketua
Pawapelling, Adi M. Yadi, Kabupaten Sumedang yang juga dialiri Sungai
Cikijing merupakan penghasil padi kualitas unggul di Jawa Barat. kata Yadi, baik kualitas maupun kuantitas padi mereka mulai menurun
sejak industri masuk di tahun 90an. Ia pun khawatir kondisi ini akan
makin mempersempit lahan produksi pangan di Sumedang.
"Ada
semacam penghilangan alat bukti mereka sengaja mencemari lahan pertanian
warga, setelah tercemar, produktifitas menurun, warga stres dan
akhirnya warga menjual, yang tentunya orang tidak mau membeli lahan
dalam kondisi seperti itu. akhirnya dijual ke perusahaan. Jadi ada
semacam disengaja dicemari dulu dan itu masuk dalam rencana yang sedang
berjalan di Provinsi Jawa Barat ada semacam alih fungsi lahan pertanian
akan dialih fungsikan jadi kawasan industri. Dan ini mengerikan bagi
kita," ujar Yadi (4/4/2016)
Itulah yang membuat Koalisi Melawan
Limbah menggugat Bupati Sumedang, di PTUN
Bandung sejak akhir tahun 2015 lalu dan masih berjalan prosesnya hingga
sekarang. Bupati menjadi tergugat karena telah memberikan izin
pembuangan limbah cair (IPLC) ke Sungai Cikijing kepada tiga perusahaan
tekstil yakni PT Kahatex, PT Insan Sandang Internusa dan PT Five Star
hingga berakibat pencemaran lingkungan setidaknya empat desa di
Rancaekek. Dhanur Santiko dari LBH Bandung sebagai kuasa hukum warga
menjelaskan menempuh gugatan untuk pembatalan dan pencabutan
IPCL di PTUN, karena hal tersebut menurutnya sangat efektif mencegah
pencemaran di sungai.
"Jadikan kita dalihnya IPLC ini diterbitkan
tanpa prosedur yang harus dilalui salah satunya adalah kajian dampak ke
tanaman, manusia, perikanan dan sebagainya, mereka tidak bikin itu.
Kedua, adanya peraturan perundangan yang sudah tak berlaku mereka masih
pakai di situ, seperti UU PPLH yang dulu masih dipakai, PP soal Amdal
masih pakai yang dulu dan PP tentang sungai juga masih pakai yang dulu.
Bahkan ada peraturan yang seharusnya menjadi landasan penerbitan
pembuangan limbah cair itu malah tidak mereka masukan di situ," papar
Dhanur (4/4/2016)
Editor: Rony Sitanggang