HEADLINE

Pemblokiran, Kebencian, dan Kebebasan

"Penutupan akses terhadap situs sama dengan membungkam orang berbicara. Ini soal kebebasan berbicara, hak asasi setiap orang."

Rio Tuasikal

Pemblokiran, Kebencian, dan Kebebasan
ilustrasi

Pemblokiran 22 situs yang dianggap radikal pekan lalu telah memunculkan tanda tanya: apakah ini mengancam kebebasan pers?

Buat Sekjen Aliansi Jurnalis Independen, Arfi Bambani, masalahnya justru lebih mendasar. “Penutupan akses terhadap situs adalah sama dengan membungkam orang berbicara. Ini soal kebebasan berbicara, hak asasi setiap orang,” ujarnya di perbincangan Pilar Demokrasi KBR, Senin (6/4/2015) malam.

“Gaya Kominfo ini seperti Departemen Penerangan Orde Baru. Ini pembredelan gaya baru,” tegasnya.

Arfi mengatakan, tidak ada satu pun UU yang memberikan kewenangan pada lembaga tertentu untuk memblokir akses situs. Yang boleh hanya membatasi konten. “Pemerintah memblokir situs itu beralasan, tapi tidak prosedural,” katanya. 

Kalau pun mau pemblokiran, tambah Arfi, hanya oleh lembaga yang diberi kewenangan oleh UU. Sementara pemblokiran yang terjadi saat ini hanya menggunakan Peraturan Menteri Kominfo.

Arfi bukan membela situs-situs itu. Sebab beberapa konten situs itu memang dilarang oleh UU ITE. Misalnya ujaran kebencian. Beberapa situs itu memang getol menyatakan kebencian terhadap Ahmadiyah dan Syiah. Beberapa juga menulis jihad lewat senjata.

Di samping konten, apakah situs-situs itu sendiri betulan pers? 

Arfi menyebutkan tiga syarat pers, yakni produk jurnalistik teratur, berbadan hukum, dan mengikuti standar jurnalisme.  “Dari 22 situs itu, kami lihat hanya 1-2-3 yang memenuhi standar,” pungkasnya. 

Ada beberapa cara untuk membedakan sebuah situs layak disebut media atau bukan. Pertama, lihat apakah situs itu sudah mewawancara atau melakukan konfirmasi ke dua belah pihak? Kedua, apakah unsur 5W 1H lengkap---tanpa tercemari pendapat atau desas desus. Ketiga, apakah sesuai dengan pedoman media siber seperti yang disebutkan Dewan Pers?

Ke depan, kasus-kasus sejenis ini akan makin tren. Karena itu pemerintah perlu menyiapkan peraturan yang tegas. Bisa juga dengan membentuk badan khusus yang diberi kewenangan oleh UU. Badan ini juga bisa mendidik masyarakat mengenai konten internet yang baik. 

Kontrol tetap di keyboard Anda. Jika menemukan konten yang melanggar UU, seperti menyebarkan kebencian atau mendukung kekerasan.Anda bisa protes. 

“Telepon, email pengelola situs itu. Bilang pada situs itu, Anda malah telah merusak Islam," jelasnya.

Konten-konten berbahaya bisa diredam oleh masyarakat yang melek media. “Publik yang aware dan cerdas ya begitu, seharusnya,” tutupnya. 

Editor: Antonius Eko 

 

  • blokir situs
  • aliansi jurnalis independen
  • toleransi
  • agama
  • internet

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • marlina9 years ago

    “Penutupan akses terhadap situs adalah sama dengan membungkam orang berbicara. Ini soal kebebasan berbicara, hak asasi setiap orang,” . apakah dengan kebebasan berbicara tidak ada batasnya...? apakah hak asasi harus mengabaikan hak orang lain...?