OPINI

Retak-retak Kementerian Agama

Menag Lukman Hakim jumpa pers usai OTT suap seleksi jabatan

Kementerian Agama semestinya menjadi lembaga paling bersih di negeri ini, karena isinya orang-orang yang mengerti dan memahami agama. Tapi, lembaga itu ibarat keramik indah yang retak-retak. Orang tak menikmati keindahannya, tapi mengamati cacatnya. 

Para pejabat Kementerian Agama banyak tersandung korupsi. Termasuk Ketua Umum PPP tahun 2014, Suryadharma Ali kala menjadi Menteri Agama, jadi tangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi . Di lembaga ini banyak proyek diembat, termasuk proyek pengadaan kitab suci Alquran.

Terakhir, lembaga itu tersandung skandal jual beli jabatan. Praktik ini lagi-lagi melibatkan ketua umum partai Islam, PPP . 

Jual beli jabatan atau nepotisme pengisian jabatan bukan rahasia umum di Kementerian Agama. Mereka juga bukan satu-satunya institusi yang diisi koruptor. Tapi kementerian ini jadi sorotan karena praktik busuk itu dilakukan orang-orang yang setiap hari berurusan dengan agama. 

Sebelum era reformasi, tokoh besar Abdurrahman Wahid  pernah melontarkan wacana pembubaran kementerian yang kala itu bernama Departemen Agama. Gus Dur mengkritik Departemen Agama seperti pasar - semuanya ada, kecuali agama itu sendiri. Karena lembaga ini lekat dengan label sarang korupsi. Agama hanya menjadi identitas, ritual, tanpa menegakkan nilai-nilai integritas yang dibawanya. 

Pada 2011 lalu KPK melansir hasil survei Indeks Integritas Pusat. Ternyata, Kementerian Agama paling rendah integritasnya dibanding instansi lain, terbelit suap dan korupsi. Pilunya, kementerian ini termasuk yang dapat dana terbesar APBN, sampai Rp 61 triliun. Karenanya sah saja kalau publik berhak memberikan berbagai opini, penilaian, bahkan melontarkan wacana pembubaran Kementerian Agama. Lagi.  

  • korupsi
  • kementerian agama
  • KPK
  • PPP
  • Gus Dur

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!