HEADLINE

Langgengkan Impunitas, Korban 65/66 Tolak Rekonsiliasi

""Rekonsiliasi tidak akan tercapai tanpa didahului proses pengungkapan kebenaran. Proses pengungkapan kebenaran artinya harus melalui jalur hukum""

Yudi Rachman

Langgengkan Impunitas, Korban 65/66 Tolak Rekonsiliasi

KBR, Jakarta- Korban pelanggaran HAM berat tahun 1965 meminta pemerintah tidak melanggengkan impunitas dengan mendorong upaya rekonsiliasi. Menurut Ketua YPKP 65-66 Bejo Untung, dengan melakukan upaya rekonsiliasi tanpa adanya proses hukum sama saja memberikan impunitas dan pemaafan kepada pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu.

Kata Bedjo, pemerintah seharusnya mematuhi rekomendasi Komnas HAM terkait pelanggaran HAM masa lalu dan menjalankan penyelesaian melalui pengadilan HAM Adhoc.

"Kita akan melakukan rekonsiliasi dengan siapa sementara pelakunya belum jelas. Oleh karena itu saya akan mengatakan bahwa rekonsiliasi tidak akan tercapai tanpa didahului proses pengungkapan kebenaran. Proses pengungkapan kebenaran artinya harus melalui jalur hukum, harus mengacu pada dibentuknya pengadilan HAM, untuk 65 itu pengadilan HAM Adhoc. Kedua, rekonsiliasi tanpa mencabut keputusan atau peraturan dan perundang-undangan yang diskriminatif itu menjadi mubazir," jelas Ketua YPKP 65-66 Bejo Untung kepada KBR, Kamis (31/03).


Bedjo juga mendesak pemerintah menghapus aturan-aturan yang diskriminasi terhadap korban pelanggaran HAM 1965. Kata Bedjo, percuma rekonsiliasi dijalankan tanpa ada proses hukum dan rehabilitasi umum kepada korban pelanggaran HAM 1965, "Kami sudah diskusi dengan korban pelanggaran HAM 1965 dan pegiat HAM, kita perlu mempertanyakan rekonsiliasi. Saya bahkan mendesak perlunya Presiden Jokowi segera menerbitkan Perpres pengganti Undang-undang untuk rehabilitasi umum sebagai payung hukum penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu," katanya.

Sebelumnya organisasi kemasyarakatan Islam Nahdlatul Ulama (NU) mendukung rekonsiliasi pelanggaran HAM berat. Ketua PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, langkah rekonsiliasi juga didukung oleh Presiden Gus Dur.

Said beralasan, standar untuk menilai suatu peristiwa sebagai pelanggaran HAM bersifat relatif. Peristiwa yang hari ini disebut melanggar HAM, belum tentu dinilai sama pada waktu peristiwa terjadi.

"Dulu Gus Dur menerima rekonsiliasi kan? Saya kira itu lebih baik. G30S, kemudian ada pembantaian, kaca matanya kaca mata mana dulu, kalau macam sekarang  melanggar HAM, kalau dulu belum tentu itu. (Lebih bagus rekonsiliasi?) Iya," kata Said Aqil di kompleks Istana, Kamis (31/3).


Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan berharap kasus pelanggaran HAM berat tuntas pada 2 Mei mendatang. Kata dia, pemerintah memilih jalur nonyudisial. Sejumlah kasus pelanggaran HAM tersebut di antaranya tragedi 1965, Tanjung Priok, Talangsari, Wasior di Papua, Trisakti, Semanggi 1, dan Semanggi 2.


Editor: Rony Sitanggang

  • rekonsiliasi
  • korban pelanggaran ham 65/66
  • Ketua YPKP 65-66 Bejo Untung
  • Ketua PBNU Said Aqil Siradj
  • Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!