CERITA

Catatan Perjalanan Ekspedisi Tesso Nilo (1) : Upaya Hadang Perambah Hutan

"Menembus rimba, berjalan kaki menempuh jarak 25 Kilometer"

Danang Hamid

Catatan Perjalanan Ekspedisi Tesso Nilo (1) : Upaya Hadang Perambah Hutan
Gajah di Elephant Flying Squad Tesso Nilo (Foto: KBR/Danang H.)

KBR, Pekanbaru- Sabtu, 20 Februari 2016 awal dari Sepuluh hari perjalanan ekspedisi, saya rasakan turbulensi luar biasa.  Susilo satu dari mereka yang saya kenal saat menjemput kami ke studio Green Radio Pekanbaru, pemuda yang pernah menjadi mahout alias pawang gajah di flying squad TNTN mewakili WWF di bagian elephant protection unit,   terlihat gembira. Masih ada 2 orang lainnya dari perwakilan WWF Riau yang menjemput kami saat itu,  ternyata bertugas mempersiapkan segala kebutuhan logistik dan segala perlengkapan untuk perjalanan ekspedisi Taman Nasional  Tesso Nilo.


red  (Spanduk Ekspedisi Tesso Nilo)

Waktu yang dijanjikan untuk penjemputan sedikit molor, maka  kami  mampir terlebih dahulu ke salah satu pasar tradisional yang ada di kota Pekanbaru. Pasar ini disebut pasar loket dan kini dikenal dengan pasar Cik Puan yang lokasinya relatif dekat dengan Green Radio. Di pasar tersebut kami harus berhenti mengikuti susilo yang tengah mencari kebutuhan logistik yang dirasa kurang.Tidak begitu lama saya dan Ainun si atlit panjat tebing Pekanbaru dan reporter lepas di Green Radio --satu-satunya perempuan yang ikut serta dalam ekspedisi ini-- segera masuk ke dalam mobil . Kamipun berangkat menuju Camp Flying Squat Taman Nasional Tesso Nilo.

red

(Hamparan sawit di  kabupaten Pelalawan) 


Memasuki kabupaten Pelalawan Provinsi Riau mataku tidak lepas memandangi hamparan lahan-lahan sawit yang sangat luas dan sejauh mata memandang. Pohon-pohon sawit itulah yang berdiri tegak dan akhirnya membuat ingatan saya kembali ke akhir tahun 2015 lalu ketika asap karhutla begitu tebal melanda Sumatera dan Kalimantan. Terbersit dalam benakku tanaman sawit ini seakan seperti tanaman kutukan yang membuat hutan-hutan dataran rendah di Sumatera dan Kalimantan hangus dalam sekejap. Tidak sedikit tanaman ini menjadi sasaran kebencian, membuat keluarga saya harus mengungsi  dari Jambi ke Sukabumi. Terbayang lagi bagaimana waktu itu langit biru dan matahari sangat kami rindukan lantaran terhalang oleh warna kuning asap  dengan tingkat ISPU (indikator pencemaran) yang lebih dari sekadar membahayakan.

Tak lama saya tertidur hingga tiba di sebuah kedai kopi. Aha! sebagai pecandu kopi  saya memang perlu kafein namun sayangnya saya tak menemukan Aceh Gayo atau kopi Toraja dalam daftar minuman kedai tersebut. Saya menyeruputnya setelah terlebih dulu beberapa tiupan dari mulut saya mengarah ke bibir cangkir yang terbuat dari porselen. Lumayan juga rasanya sedikit mirip dengan kopi unik yang hanya beredar di Cibadak Sukabumi.


red


Meninggalkan Kerinci Kabupaten Pelalawan barulah pemandangan sedikit berbeda, meski di luar gelap karena hari sudah menjelang isya  jalanan yang mulus. Bangunan masjid silih berganti terlewati.

 

red

(Sungai Kampar)

Melewati sungai kampar ada pemandangan menarik, penduduk setempat sedang hajata. Mungkin resepsi pernikahan. Ini juga karakter yang pernah saya temui di kota lain di pulau Sumatera. Hajatan di pinggir jalan, tenda-tenda dan kursi-kursinya memakan separuh badan jalan umum. Bahkan jika bukan jalan negara, provinsi atau kabupaten mereka akan menutup sepenuhnya.

red

(Flying Squad tempat gajah berlatih)

Setelah menempuh berjam-jam perjalanan darat, sampailah kami di flying squad tempat  gajah-gajah liar dijinakan, dilatih untuk keperluan ekowisata. Di sini juga tempat  gajah-gajah sakit dirawat. Lokasi ini jadi juga jadi  tempat kami mengemas  barang-barang, sembako, peralatan dan perlengkapan ekspedisi. Kami lantas  beristirahat mengumpulkan tenaga untuk segera berangkat keesokan-harinya  berjalan kaki menempuh jarak  25 Kilo meter di peta, cukup dekat bukan? 

 

red

(gajah di Elephant Flying Squad Tesso Nilo )


Ditemani mahluk-mahluk khas hutan, suara-suara burung-burung malam yang bersahutan dan suara-sura lainnya entah ungko atau kera yang masih melakukan aktifitas mereka, kami merebahkan diri di Flying Squad. Mencoba memejamkan mata dan   berpikir apa sih  yang dilakukan mahluk-mahluk hutan itu di malam-malam begini sehingga suaranya seriuh itu? Atau malah mereka juga bertanya apa yang dilakukan oleh manusia-manusia ini hingga semalam itu memasuki wilayah mereka?


 



 

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • ilham8 years ago

    Perjalanan yg menarik dan penuh tantangan di taman nasional tesso nilo dengan kawasan habitat gajah sumatra. Semoga masyarakat sekitar kawasan tesso nilo dapat menyadari arti pentingnya hutan konservasi untuk melindungi masa depan mereka dari kepunahan filosofi hutan untuk kebudayaan adat istiadatnya.