Article Image

SAGA

Menyimak Ulang Suara dari Masa Lampau

Kamis 07 Feb 2019, 12.04 WIB

Ruang pameran bertajuk Suara-Suara Bahasa yang merupakan bagian dari rangkaian Kongres Kebudayaan Indonesia 2018. (Foto: KBR/ Muthia Kusuma)

KBR, Jakarta - Suara Benyamin Sueb menyanyikan lagu "Tukang Sayur" terdengar lamat-lamat dari layar berukuran setengah televisi model lama. Ada sepuluh yang semacam itu di dinding ruang pamer Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pameran bertajuk "Suara-Suara Bahasa" itu merupakan salah satu dari rangkaian Kongres Kebudayaan Indonesia pada awal Desember 2018.

Saya mendatangi lokasi itu, letaknya di salah satu sudut kompleks Kemendikbud. Jauh dari ingar-bingar helatan tahunan kebudayaan tersebut, ada puluhan rekaman tradisi lisan juga manuskrip.

Kalau mengitari sekaligus menyimak satu per satu koleksi, kira-kira perlu 30 menit bagi pengunjung.

Lagu yang didendangkan Benyamin bersama Bing Slamet tadi dianggap mampu merekam nada-nada pedagang tradisional di kampung-kampung Jakarta. Karya ini juga disebut berhasil menggambarkan pelbagai ekspresi kala itu. Demikian ditulis pada keterangan di bawah layar.

AUDIO DARI VIDEO: "[…] bapak tani besar jasanya.. [...] bawang merah, bawang putih, kacang kapri, kecap nomor satu, trasi ... don't forget. Semua berguna buat ente ama ane."

red

Salah satu sisi ruang pamer "Suara Suara Bahasa" di Kongres Kebudayaan Indonesia 2018. (Foto: KBR/ Muthia Kusuma)

Tokoh bertalenta lengkap ini dipuji sebagai seniman cerdas, karena piawai memoles kritik dengan menyusupkan celetukan sarat canda khas Betawi yang, nyablak. Itu yang membikin lagu Benyamin digolongkan sebagai arsip budaya lisan.

Tukang Sayur, adalah satu nomor dari lagu-lagu serial Tukang bikinan Benyamin.

Karya yang kental dengan warna nada instrumen Betawi tersebut hanya salah satu dari beragam rekaman tradisi lisan yang bisa didengar. Suara lain yang dipamerkan, berupa dialek. Beberapa di antaranya bahkan sudah tak lagi punya penutur.

Audio lain, adalah pidato budayawan, Sutan Takdir Alisjahbana.

Salah satu kurator, Afrizal Malna mengungkapkan, rekaman tersebut sengaja dipilih karena Sutan dianggap sebagai salah satu tokoh yang menghidupkan polemik kebudayaan.

Suara lain, adalah lagu Wakatobi Buton berjudul Wandiu-Diu. Dalam Bahasa Wolio di Pulau Buton, Diu berarti ikan duyung.

Karya yang mengisahkan kecintaan seorang ibu terhadap anak ini, menurut Afrizal, jadi petilasan yang menunjukkan cara pandang masyarakat saat itu terhadap perempuan.

"Lagu itu tentang seorang ibu yang sedang menenun kemudian anak bungsunya datang lapar mau makan. Namun lauk tinggal satu, lauk itu buat bapaknya. Karena si anak nangis terus akhirnya lauk itu dikasih ke anak itu. Bapaknya pulang mau makan lauknya nggak ada, dia marah," cerita Afrizal saat ditemui jurnalis KBR.

"Istrinya dipukuli pakai kain tenun itu. Terus dipukuli sampai istri lari ke laut dan jadi ikan duyung. Anak kalau ingin menyusu, datang ke laut menyanyikan lagu itu," lanjut sastrawan tersebut.

Selain suara, terdapat pula manuskrip tulisan. Salah satunya Naskah Nagarakertagama. Dokumen sejarah kuno yang masuk Memory of The World UNESCO ini ditulis Mpu Prapanca.

Manuskrip Nagarakertagama yang dipamerkan di Kongres Kebudayaan. (Foto: Kemendikbud.go.id)

Manuskrip Nagarakertagama yang dipamerkan di Kongres Kebudayaan. (Foto: Kemendikbud.go.id)

Manuskrip ditulis di atas lontar. Lembaran daun kecoklatan itu dijelujur dengan benang. Saya sebetulnya kesulitan memahami maksud naskah yang ditemukan pada 1894 tersebut. Sebab manuskrip berbahasa Jawa Kuna dan, ditulis dengan aksara Bali.

Tapi menurut keterangan, 45 halaman itu berisi catatan bagaimana Raja Hayam Wuruk blusukan di Kerajaan Majapahit--yang menjadi cikal bakal Indonesia kini.

Penanda tapal mula tradisi tulisan juga dipamerkan, yakni dua replika Prasasti Yupa pada abad ke-5 Masehi. Prasasti aslinya, disimpan di Museum Nasional.

Peneliti Museum Nasional, Nusi Lisabilla Estudiantin menjelaskan, batu bertulis itu berisi peraturan untuk patuh kepada raja agar beroleh berkah.

Beragam sejarah yang terekam pada batu, kayu, lontar, hingga alat rekam monograf itu kata Afrizal, bisa mengantarkan pengunjung untuk memaknai ulang nilai-nilai tradisi terdahulu. Yang menurutnya, masih relevan hingga kini.

Afrizal menjelaskan, ajaran terdahulu membentuk manusia lebih bisa menghargai alam dan sesama.

Misalnya, masyarakat yang saat itu masih menganut animisme, meyakini bahwa setiap benda memiliki roh. Sehingga rasa hormat itu ditunjukkan juga dalam sikap keseharian. Dalam kosmologi Sunda Wiwitan maupun Permalim Batak contohnya, masyarakatnya bakal menyampaikan maaf diikuti meminta izin sebelum memotong bambu.

Atau sebaliknya, melangsungkan ritual sebagai bentuk syukur atas berkah panen. 

Menurut kurator, kondisi itu berbanding terbalik dengan manusia modern yang melihat alam sebagai bahan eksploitasi belaka. Karena itu yang muncul pun, bukannya menghargai alam tapi malah merusaknya.

Laku pendahulu, yang mengawinkan estetika dan spiritualitas merawat alam itulah yang ingin kembali dihadirkan.

Kendati menyimpan pelbagai rekam sejarah dan kekayaan tradisi, saat saya berkunjung ke sana, ruang pamer tampak sepi. Saya hanya bertemu belasan orang.

Sandi Solihin adalah salah satu yang saya cegat di tengah aktivitasnya memindai satu per satu koleksi. Kedatangan Sandi ke pameran dilatari rasa ingin tahu melihat langsung arsip yang dimiliki Indonesia.

"Sebenarnya Indonesia punya budaya tulisan. Hanya saja tidak dilirik. Dokumentasi di alam pasca-kemerdekaan tidak diarsipkan dengan baik. Kalaupun ada, tidak dijadikan pelajaran."

	<td>:</td>

	<td>Muthia Kusuma&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td>&nbsp;Editor</td>

	<td>:</td>

	<td>Nurika Manan&nbsp;</td>
</tr>
 Reporter