HEADLINE

Pengesahan Revisi UU MD3 Menuai Protes, Yasonna Persilakan Gugat di MK

Pengesahan Revisi UU MD3 Menuai Protes, Yasonna Persilakan Gugat di MK

KBR, Jakarta-   Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mempersilakan pihak yang tidak puas dengan revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPR (MD3) yang telah disahkan, untuk menggugat ke Mahkamah Konsitusi (MK). Ia menilai wajar dengan perbedaan pendapat terkait sejumlah pasal yang dianggap bermasalah. Salah satunya, soal aturan yang memungkinkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memproses hukum pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR.

"Di beberapa negara ada namanya contempt of court, contempt of parliament, itu biasalah. Tentu kita dalam pengadilan juga kan tidak sembarang. Di mana-mana kan itu di negara-negara di Amerika, di Kongres, berbohong di depan Kongres, itu hukumannya sangat berat. Artinya begini, kalau nggak setuju ya boleh saja, kalau merasa itu melanggar hak, ada Mahkamah Konsitusi. Tidak apa-apa, biar jalan saja," kata Yasonna usai menghadiri sidang paripurna di DPR, Senin (12/2/2018).


Adapun terkait pasal penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR, Yasonna mengatakan, hal itu disepakati karena revisi sebelumnya tidak dinilai tidak akomodatif. Ia menyebut pemenang pemilu di banyak negara selalu memiliki wakil di unsur pemimpin.


"Boleh kita katakan tidak akomodatif. Kewenangan Baleg saja juga waktu itu dipangkas. Ada mungkin, karena buru-buru, sesudah hasil pemilu kan buru-buru itu. Jadi kurang dalam,"


Ia memastikan, penambahan 1 kursi untuk pimpinan DPR dan 3 untuk MPR tidak akan membebani anggaran negara.


"Ini kan cuma sampai 2019, itu hanya merespon dinamika publik tentang perlunya keadilan, representasi pimpinan," ujar politikus PDI Perjuangan ini.


Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai sejumlah pasal dalam revisi  Undang-undang tentang lembaga MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) bisa menjadi aturan karet. Peneliti PSHK, Ronald Rofiandri menyebut  Pasal 122 huruf k tentang penghinaan parlemen. Pasal tersebut kata Ronald, berpotensi menjadi pasal karet lantaran tidak ada definisi secara jelas, mengenai hal-hal yang dianggap merendahkan martabat DPR.

"Ini terkait kewenangan MKD untuk bisa melakukan langkah hukum atau langkah lainnya terhadap pihak-pihak yang dianggap merendahkan. Ada dua catatan, yang pertama tindakan yang dikategorikan merendahkan martabat atau melakukan penghinaan terhadap DPR seperti apa," ujarnya ketika dihubungi KBR melalui sambungan telepon, Senin (12/2), malam.


Kata dia, pasal ini dikhawatirkan bakal dijadikan alat untuk mengkriminalisasi orang-orang yang dianggap kritis terhadap DPR.


Selain itu Roland juga menilai, lembaga DPR mempertebal imunitasnya melalui pasal 245 mengenai upaya pemeriksaan anggota DPR yang tersangkut pidana.


"Pasal itu juga kami nilai bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menghapus keterlibatan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR," imbuhnya.


Kemarin sidang paripurna DPR mengesahkan revisi Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3), meski sejumlah pasal dinilai bermasalah. Sidang yang dihadiri 292 anggota ini, diwarnai aksi walk out oleh Fraksi Partai Nasdem dan PPP yang menginginkan pengesahan ditunda. Kendati begitu, pimpinan DPR Fadli Zon tetap mengesahkan revisi yang telah didukung oleh suara mayoritas yakni delapan fraksi.


"Sekarang kami akan menanyakan kembali, kepada sidang dewan yang terhormat, apakah RUU tentang perubahan kedua atas UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD dapat disetujui menjadi undang-undang? Setuju! Terima kasih," kata Fadli Zon di Sidang Paripurna DPR, Senin (12/2/2018).


Sejumlah pasal dalam revisi yang dinilai bermasalah di antaranya, perubahan jumlah pemimpin, yakni 1 kursi untuk DPR, DPD dan 3 kursi untuk MPR.

Pasal lain yakni soal pemanggilan paksa yang melibatkan kepolisian terhadap masyarakat untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR. Dalam hal ini, Kapolri bisa memerintahkan penyanderaan paling lama 30 hari.

Poin bermasalah selanjutnya yaitu terkait penambahan tugas Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). MKD bisa mengambil langkah hukum terhadap mereka   dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.

Begitu pula dengan ketentuan yang mengatur bahwa pemanggilan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD.

Poin-poin dalam perubahan ini dinilai menjadikan DPR lembaga yang memiliki kewenangan sangat besar dan kebal hukum.


Menanggapi keberatan ini, Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta masyarakat tidak khawatir.  Terkait kewenangan MKD dalam hal pemanggilan anggota DPR,  kata dia sifatnya hanya memberikan masukan, bukan menggagalkan pemeriksaan.


"Apakah mempertimbangkan itu satu keharusan? untuk menggagalkan suatu pemeriksaan? Tidak kan. Artinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kata mempertimbangkan itu adalah masukan, bisa dipakai, bisa tidak," ujar Bambang usai sidang paripurna.


Terkait kewenangan MKD memproses hukum pihak yang merendahkan kehormatan DPR, Bambang menilai hal itu biasa dilakukan di banyak lembaga. Ia menjamin, ketentuan tersebut tidak digunakan sewenang-wenang.


"Undang-undang untuk melindungi kehormatan anggota dewan tidak bisa dipakai sembarangan. Tapi memang betul-betul menyerang kehormatannya maka jangankan DPR, setiap warga negara punya hak untuk melindungi kehormatannya," ujar dia. 


Editor: Rony Sitanggang

  • revisi UU MD3
  • Ketua DPR Bambang Soesatyo
  • Fadli Zon
  • PSHK
  • Imunitas

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Arsya6 years ago

    Kapan ya demo besar untuk uu md3 digelar. Kmi siap ikut.