HEADLINE

Protes Media Alternatif dan Klarifikasi Dewan Pers soal Kode Verifikasi QR Code

Protes Media Alternatif dan Klarifikasi Dewan Pers soal Kode Verifikasi QR Code


KBR, Jakarta - Kebijakan Dewan Pers mengeluarkan aturan kode verifikasi berupa kode batang digital dua dimensi (Quick Response Code/QR code) bagi perusahaan pers terverifikasi menuai kritik dari sejumlah kalangan.

Pekerja media alternatif dari MRB (Media Rakyat Baru) mrb-media.com, Kristian Ginting menyebut pemberian kode verifikasi itu menunjukkan adanya indikasi kemunduran kebebasan pers.


Ginting mengatakan kebijakan Dewan Pers itu sama saja membatasi berkembangnya media massa di luar mainstream media (MSM) atau media arus utama.


Ia menyarankan Dewan Pers tidak mengurusi kebijakan yang bersifat administrasi tetapi fokus pada konten media yang sekarang ini banyak melanggar kaidah dan etika jurnalistik.


"Banyak informasi yang saya dapat, saya muat di blog misalnya. Nah itukan informasinya sudah memenuhi standar jurnalisme yang ketat. Apakah itu tidak dianggap produk pers oleh Dewan Pers nantinya? Kan menjadi masalah, maksud saya, kalau itu tidak dianggap (produk pers), padahal sudah menjalankan kaedah-kaedah jurnalistik dan prosedur jurnalistiknya jelas," kata Kristian Ginting kepada KBR, Minggu (5/2/2017).


Baca juga:

"Standar kode etiknya jelas, tetapi tidak dianggap sebagai produk pers. Inikan bermasalah karena soal administrasi tadi, barcode-nya tidak ada, tidak perusahaan pers," lanjut Ginting.

Pekerja media alternatif dari mrb-media.com Kristian Ginting mengatakan kalangan pekera media alternatif akan berusaha meminta audiensi dengan Dewan Pers terkait kebijakan yang ia anggap kontroversial itu.


"Kita akan ikuti terus informasi yang dikeluarkan Dewan Pers mengenai barcode ini. Kedua, kita di kawan-kawan sindikasi media alternatif terus memproduksi berita-berita yang sesuai standar jurnalisme ketat dan juga kami akan mencoba beraudiensi dengan Dewan Pers untuk menyampaikan hasil diskusi kita, semoga kita diterima Dewan Pers dalam waktu dekat ini," ujarnya.


Bantahan Dewan Pers

Terkait protes dari berbagai kalangan, Dewan Pers menyatakan pemberian kode batang digital dua dimensi (QR Code) dimaksudkan untuk membantu masyarakat dalam membedakan mana media yang informasinya bisa dipercaya, atau bukan berita palsu (hoax).


Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Perusahaan Pers dari Dewan Pers, Ratna Komala juga membantah Dewan Pers membuat aturan yang menghalangi media tanpa QR code untuk meliput di instansi pemerintah.


Ratna mengatakan Dewan Pers tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu dan tidak pernah merekomendasikan institusi pemerintah untuk tidak melayani media massa yang tidak terverifikasi di Dewan Pers.


"Itu ngga benar, itu menambah-nambah. Dewan Pers tidak menyatakan seperti itu, itu udah ngaco-ngaco. Kenapa ada QR Code? Karena itu bisa di-scan lewat smartphone sehingga bisa keluar data-data di Dewan Pers, keliatan data-datanya di situ. Itu tanda saja," kata Ratna Komala.


Bagaimana dengan media alternatif atau media komunitas?


Ratna mengatakan siapapun bisa mendaftar di Dewan Pers dengan syarat media itu---termasuk media alternatif---sudah berbadan hukum.


"Domainnya Dewan Pers adalah perusahaan pers. Kalau komunitas, kelompok buruh dan lain, atau pendidikan, kalau lingkupnya hanya untuk pendidikan, bukan untuk luas, bukan segmen umum. Jadi mereka bukan termasuk yang terverifikasi. Yang tidak punya badan hukum, segeralah urus. Karena media pers harus berbadan hukum. Latar belakangnya adalah harus ada kesinambungan. Media itu harus reguler, terbit, jadi kredibilitasnya terlihat. Termasuk bagaimana melindungi dan mensejahterakan jurnalis," kata Ratna.


Dewan Pers menyebut pembuatan QR Code merupakan pelaksanaan dari deklarasi Palembang 2010 saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN). Saat itu, ada empat peraturan Dewan Pers yang diratifikasi oleh sebagian besar pemilik media di Indonesia.


Empat peraturan itu menjadi prioritas media pers. Diantaranya Standar Perusahaan Pers, Kode Etik Jurnalistik, Standar Perlindungan Profesi Wartawan, dan Standar Kompetensi Jurnalis.


Baca juga:


Editor: Agus Luqman 

  • Dewan Pers
  • hoax
  • verifikasi media
  • mainstream media
  • MSM

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!