Beberapa dokumen hasil pemeriksaan kesehatan Dety, warga Rusunawa Marunda, Jakarta, akibat terpapar abu batubara. (Valda/KBR)

SAGA

Kerugian Nyata Polusi Udara: yang Kentara dan yang Tak Kasat Mata (Bagian 2)

" Polusi udara tak hanya berdampak pada kesehatan tapi juga membawa kerugian ekonomi."

Senin 16 Jan 2023, 18.00 WIB

KBR, Jakarta - Istu Prayogi bercerita tak pernah lagi merasakan tidur berkualitas. 

“Tidur paling lama sejam nanti bangun, setengah jam bangun, ga bisa nyenyak. Bisa 4-5 kali bangun cuma buang dahak,” kisah Istu. 

Ia sulit lepas dari gangguan pernapasan yang diidapnya sejak 1995. Pasalnya, Istu didiagnosis sensitif terhadap polusi udara, tetapi sehari-hari tinggal di kota dengan sumber polutan tinggi, yakni Jakarta.

Saat bekerja, Istu pernah tiba-tiba terserang kantuk saat membawa penumpang. Ia terpaksa meminta izin beristirahat sejenak. 

"Kadang-kadang ada yang sampe kesal bangunin 'Pak, mau berapa lama lagi tidurnya?' ya udah ayo jalan, bisa-bisa kita,” katanya sambil tertawa.

Istu sadar pendapatannya bisa berkurang. Namun, apa boleh buat? Peluang pekerjaan praktis terbatas karena usia yang tak lagi muda dan punya masalah kesehatan. 

Gangguan pernapasan juga pernah menghambatnya kala ikut seleksi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Pas mulai tes, pandangan saya mulai kabur, kemudian kepala cenut-cenut, meriang. Saya dikasih obat sama dokter. Seperempat jam kemudian keluar keringet kan, tapi saya udah telat setengah jam,” ujar Istu.

Baca juga: Kerugian Nyata Polusi Udara: yang Kentara dan yang Tak Kasat Mata (Bagian 1)

Gangguan pernapasan akibat terpapar polusi udara menghambat aktivitas Istu Prayogi. Produktivitas kerjanya pun menurun. (Foto: Valda/ KBR)

Pendapatan Istu sebagai sopir taksi online terus tergerus karena banyak pesaing. Ia hanya sanggup mengantongi uang sekitar Rp5 juta per bulan. Padahal, harus ada anggaran wajib untuk obat dan masker.

“Anggaran belanja untuk obat dan masker perbulan Rp300-an ribu, untuk itu aja. Makanannya harus 4 sehat 5 sempurna, mau ga mau harus dibeli," katanya.

Pengeluaran ekstra serupa juga membebani Dety Revaliastuti sejak 2019. Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Marunda, Jakarta Utara, tempatnya tinggal, terpapar polusi udara.

Sumbernya dari aktivitas bongkar muat PT Karya Cipta Nusantara di Pelabuhan Marunda. Masker menjadi kebutuhan pokok untuk menangkal semburan abu batubara.

“Belinya 2-3 pak, satu boks 50 isinya. Waktu pertama itu masih mahal, sekarang udah murah cuma Rp20 ribu - 25 ribu,” tutur Dety

Pada 2022, perempuan 66 tahun ini menderita batuk selama 7 bulan. Dety sering keluar kencing saat batuk, sehingga ia terpaksa membeli pembalut.

“Yang parah mah batuknya yang aduh sampai neken-neken. Sakit kan batuk lama-lama. Dada sakit, nyesek,” ujarnya.

Batuk berlarut-larut itu diduga menyebabkan Dety terkena hernia. Ia bolak-balik ke rumah sakit, yang tentunya membutuhkan ongkos tambahan. Sementara untuk kebutuhan sehari-hari, ia hanya bergantung pada anak-anaknya.

“Ya berat. Kayak vitamin C, vitamin B, vitamin jemur-jemur. Dari anak semua. Selainnya dari rumah sakit,” katanya.

Baca juga: Adaptasi Warga Timbulsloko yang Menolak 'Tenggelam'

Dety (kiri) kini bisa mengobrol dengan leluasa sejak tidak ada aktivitas bongkar muat batubara di sekitar Marunda. (Foto: Valda/ KBR)

Kerugian berlipat polusi udara

Budi Haryanto, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyebut banyak yang tak menyadari, pengeluaran tambahan semacam ini adalah kerugian yang timbul akibat polusi udara. Jamak sering menganggap kerugian ekonomi hanya berhenti di biaya pengobatan. Padahal, ada biaya ikutan yang beranak-pinak dan mestinya juga harus dihitung.

"Misalnya antar ke rumah sakit pakai taksi, kemudian makan ketika menunggu. Biaya-biaya yang terikut dengan orang yang harus berobat itu intangible cost," jelas Budi

Biaya-biaya itu memang sulit diukur. Istilah lainnya adalah biaya tidak langsung atau indirect cost. Jika serius dikalkulasi, kerugian akibat polusi udara bakal berlipat ganda. Budi menyebut, apabila ditotal kerugiannya bisa dua kali lipat dari biaya pengobatan.

“Yang termasuk intangible cost itu biaya ga masuk kerja. Kalau dia digaji Rp10 juta perbulan berarti Rp500 ribu sehari. Kalau dia sebulan ga masuk dua hari, Rp1 juta udah rugi si perusahaannya," terangnya.

Dampak berlapis polusi udara juga tergambar dalam riset Greenpeace Indonesia bersama IQAir. Diperkirakan PM 2,5 di Jakarta meningkatkan risiko kematian dini 8.700 jiwa  pada periode Januari hingga Agustus 2021 dan kerugian ekonomi yang mencapai Rp33,1 triliun.

Di sisi lain, kerugian akibat polusi udara tak cuma jadi domain warga yang sudah terpapar penyakit. Ada anak muda seperti Debby Thalia yang belum pernah terganggu kesehatannya akibat udara kotor, tetapi harus mengeluarkan ongkos demi mencegahnya. 

“Pas ngitung banyak juga pengeluarannya, baru sadar pas budgeting,”ujar Debby

Perempuan 24 tahun ini tak ragu merogoh kocek hingga Rp1,5 juta untuk mempertebal proteksi.

“Beli masker, air purifier, filter-nya. Aku kan sekeluarga ada empat orang dan semuanya juga activity di luar,”

Bekerja di wilayah padat seperti Jakarta, membuat Debby harus putar otak ketika beraktivitas di luar rumah. Ia mencari tempat-tempat luar ruangan yang penuh tanaman untuk mengurangi polusi.

Baca juga: Warga Indramayu Pantang Surut Tolak PLTU Batubara

Debby menggugat tanggung jawab negara atas kualitas udara karena berpotensi menjadi korban pencemaran udara. (Foto: Valda/ KBR)

Tagih tanggung jawab negara

Debby mengeluh sulit mendapat informasi tentang kualitas udara sehari-hari. Padahal, ini penting untuk mendeteksi wilayah-wilayah berisiko tinggi. 

Hal itu memotivasi Debby ikut mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) pada 2019. Ia bersama 31 warga lain, termasuk Istu Prayogi, menggugat Presiden Joko Widodo beserta jajarannya dan Pemprov DKI Jakarta atas buruknya kualitas udara.

“Kerugiannya mungkin bukan kayak dari penyakit dan lain sebagainya ya, itu aku belum periksakan ke dokter spesialis terkait, tapi posisinya aku ini adalah potential korban,”

Pada 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan warga negara dan dikuatkan putusan banding di Pengadilan Tinggi DKI pada 2022. Pemerintah diharuskan memperbaiki kualitas udara Jakarta.

Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta saat masih menjabat, berjanji mematuhi putusan.

“Tahun ini kita genjot serius soal transportasi umum, tujuannya, salah satunya mengurangi emisi. Kemudian yang kedua adalah kewajiban untuk uji emisi. Salah satunya untuk mengurangi dampak negatif dari kendaraan bermotor yang beroperasi di Jakarta,” kata Anies saat itu.

Pemprov DKI Jakarta telah memiliki tiga strategi dan 75 rencana aksi yang akan dituangkan dalam peraturan gubernur terkait pengendalian pencemaran udara yang tengah difinalisasi.

Baca juga: Kapal Arka Kinari, Keliling Dunia Wanti-Wanti Krisis Iklim

Guru Besar FKM UI Budi Haryanto mendorong pemerintah memiliki sistem peringatan dini untuk mengetahui kualitas udara di Jakarta. (Foto: Valda/ KBR)

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Budi Haryanto mengingatkan, peran pemerintah sangat krusial dalam pengendalian polusi udara. Sumber-sumber pencemaran utama, seperti kendaraan bermotor dan pembangkit listrik tenaga uap PLTU, mesti disetop atau disubtitusi.

“Tetap yang nge-lead adalah pemerintah, menyediakan transportasi umum yang pakai mobil listrik, bis listrik, terus MRT, LRT semuanya pakai listrik. Kemudian melakukan aksinya, ditunjang oleh peraturan, perundang-undangan, fasilitas, sarana prasarana, dan sebagainya,” kata budi

Apabila sumber pencemaran bisa ditekan, maka biaya-biaya atau kerugian sosial ekonomi pun bisa dikurangi bahkan dipangkas. Selain itu, pemerintah mestinya juga membantu warga memitigasi risiko polusi udara. Yakni dengan menyediakan akses informasi yang akurat.

“Yang terpenting justru harus ada early warning system. Artinya harus ada banyak monitor kualitas udara yang bisa diakses dengan cepat, lewat handphone sehingga ketika mau bepergian bisa milih,” pungkasnya.

Liputan ini merupakan hasil kelas belajar polusi udara di Jakarta. Tim KBR berhasil menjadi 12 finalis terpilih dan mendapatkan grant dari Internews’ Earth Journalism Network (EJN).

Penulis: Valda & Ninik Yuniati

Editor: Ninik Yuniati