ASIACALLING

Sepuluh Tahun Meliput Soal Hak-hak Anak di Filipina

Madonna Virola (Dok. Pribadi)

Selama satu dekade terakhir, Madonna telah mengikuti kisah anak-anak yang kurang beruntung itu saat mereka belajar mandiri dan memperjuangkan hak-hak dasar yang layak mereka dapatkan.

Dari Kota Calapan, Pulau Mindoro, Madonna Virola melihat kembali perjalanannya.

Natal sudah sangat terasa di Filipina - masa yang seharusnya dipenuhi dengan sukacita terutama oleh anak-anak.

Tapi sejak membuat laporan soal anak-anak yang terpaksa tinggal di jalanan karena kemiskinan atau diterlantarkan, saya tahu ini bisa jadi saat yang sangat sulit bagi beberapa anak.

Saat ini, saya sering mendapati diri saya berpikir tentang Pinky. Kisah luar biasanya saya dengar saat bertemu dengannya di organisasi pemerintah Pusat Hak Anak Tambayan di Davao, tahun 2007.

Saat itu dia berusia 19 tahun dan cantik. Dia tengah menyusui anaknya yang berumur satu tahun.

Saya tergerak mendengar kisahnya.

Dia meninggalkan rumah di usia 12 tahun agar jauh dari orangtuanya yang kasar. Berhenti sekolah, Pinky pun bertahan hidup dengan mengemis di jalanan. Akhirnya dia terjerumus narkoba.

Saat saya bertemu dengannya, Pinky telah menemukan harapan dan keluarga kedua di Pusat Hak Anak Tambayan. 

Ini adalah tempat berkumpul yang bisa memberi rasa aman pada anak-anak jalanan. Mereka juga punya kesempatan untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan dan kebijakan yang mempengaruhi mereka. 

Saat itu dia bercerita pada saya kalau dia berjualan menjual pisang goreng untuk menghidupi putranya.

Pada 2011, empat tahun setelah pertemuan pertama dengan Pinky, saya bertemu lagi dengan direktur Pusat Hak Anak Tambayan, Edith Casiple. 

Dia menceritakan kepada saya tentang bagaimana lembaga itu tengah menangani proyek baru. Mereka membantu anak-anak untuk menulis, berakting dan memproduksi film mereka sendiri, Latus.

Annie dan Elsie adalah aktor utama dalam film yang menggambarkan tentang kenyataan kekerasan fisik yang mereka alami.

Ketika saya bertemu mereka, gadis-gadis itu terlihat berseri-seri dan bangga. Saat itu mereka akan bepergian untuk menerima penghargaan kategori film pendek terbaik di Festival Video dan Film Independen Internasional di New York.

“Tentu saja kami bahagia. Tapi ini lebih dari sekedar penghargaan. Kami senang bisa membawa suara para gadis jalanan. Di setiap tur dan  kesempatan, kami terus mengadvokasi agar mimpi kami terwujud, yaitu penghentian hukuman fisik dan dimulainya cara pendisiplinan yang positif.”

Annie, Elsie dan gadis jalanan lainnya melakukan tur film itu di desa dan sekolah di seluruh negeri, mempromosikan kesadaran akan hak anak-anak.

Ini adalah bagian dari kampanye yang sudah berjalan lama untuk membuat undang-undang tentang penghentian hukuman fisik terhada anak. Tapi pekerjaan mereka belum berakhir. Kongres telah mengesahkan RUU tentang Perlakuan Positif dan Non-kekerasan terhadap Anak pada bulan Januari tahun ini. Tapi belum disahkan Senat.

Lima tahun setelah film pertama itu, akhir tahun 2016, Tambayan kembali memproduksi film yang meraih penghargaan. Temanya tentang keadilan bagi remaja.

Panon terinspirasi oleh peristiwa nyata bentrokan berdarah antara geng beranggotakan para gadis tahun 2002. Film ini menyoroti akar penyebab kejahatan remaja.

Bekas anak jalanan, Laura Parapina, memerankan tokoh utamanya, Kakay.

Tumbuh besar di antara geng, Laura bercerita film ini sangat kuat karena memberi masyarakat kesempatan untuk mulai memahami orang muda yang terlibat dalam kejahatan.

“Mereka tidak tahu mengapa kami jadi seperti ini. Saya berharap mereka tidak menghakimi kami karena itu menyakitkan. Bagi kaum muda, kami melihat persepsi negatif ini sebagai sebuah tantangan. Kami ingin menunjukkan kalau mereka salah, bahwa kami bisa punya masa depan yang cerah,” kata Laura.

Film-film ini telah membuka masa depan baru bagi para gadis berbakat seperti Annie, Elsie dan Laura. 

Pekerja sosial dari Tambayan, Carla, menunjukkan bahwa prilaku kaum muda yang negatif merupakan pertanda masalah sosial yang lebih besar.

“Seperti yang sering kami katakan di Tambayan, prilaku anak-anak mencerminkan masalah yang lebih besar di masyarakat. Anak-anak bukan alasannya. Mereka hanya korban kekurangan kami sebagai petugas sosial dan pemerintah,”jelas Carla.

Kekurangan itu lebih jelas dari sebelumnya, saat Presiden Filipina Duterte mendorong apa yang disebutnya ‘perang melawan narkoba’. Langkah ini telah menewaskan 60 anak di bawah umur dalam 18 bulan terakhir.

Saya sempat berbicara dengan keluarga korban Kian Loyd delos Santos, 17 tahun. Dia meninggal Agustus lalu. Kegelapan dan kemiskinan jelas terlihat di rumahnya. Saya meninggalkan rumah itu dengan perasaan bahwa keadilan terasa kian jauh saat ini.

Sungguh menggembirakan bisa menyaksikan anak-anak belajar mengadvokasi hak-hak mereka. Dan melihat kelompok masyarakat sipil seperti Tambayan bekerja keras untuk mendukung mereka.

Tapi juga semakin menyakitkan untuk melaporkan bahwa dalam satu setengah tahun terakhir, anak-anak Filipina terbunuh dalam perang melawan narkoba yang dilakukan oleh pemerintah mereka sendiri.

Lebih dari sepuluh tahun mengirimkan laporan untuk Asia Calling, saya terinspirasi bagaimana anak-anak bisa menjadi pembawa pesan dan pendukung yang kuat. Saya tidak akan pernah melupakan apa yang Pinky katakan kepada saya 10 tahun yang lalu.

“Kami tidak butuh uang, makanan, atau rasa kasihan. Kami ingin Anda mendengarkan kami, percaya pada kami,” kata Pinky.

Ini adalah edisi terakhir Asia Calling. Tapi saya harap Anda bisa menemukan cara lain untuk mendengarkan suara anak-anak yang berupaya mendapatkan masa depan secerah yang pantas mereka dapatkan.

 

 

  • Madonna Virola
  • Hak anak
  • Filipina
  • Pusat Hak Anak Tambayan
  • anak-anak Filipina

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!