Kali Kabur yang merupakan lokasi menambang ampas emas.

SAGA

Para Pelimbang Liar Ampas Emas Freeport

Kamis 04 Jan 2018, 10.50 WIB

KBR, Jakarta - Siang di awal Desember, Ngarjani tengah membersihkan rumput liar di halaman rumahnya di Desa Pohlandak, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ia bercerita, ini adalah salah satu cara menghabiskan waktu setelah dua pekan lalu dipulangkan paksa dari Papua.

Kini, tak banyak yang bisa ia kerjakan. Pagi mengecek kebun tebu, lantas agak siang, kembali ke rumah.

Tubuh kurus Ngarjani, tampak asing dengan rutinitas barunya itu. Maklum saja, 13 tahun terakhir, pria 53 tahun tersebut lebih akrab dengan kegiatan mendulang ketimbang bercocok-tanam.

Ngarjani, adalah satu dari ratusan pendatang yang dipulangkan dari Mimika pada November tahun lalu. Ketika itu, situasi di area tambang emas milik PT Freeport Indonesia tersebut memanas. Kabar dari kepolisian, 1.300 orang disandera kelompok bersenjata –sebutan Polri untuk Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM). 

Tapi belakangan, tuduhan polisi itu dibantah. Komandannya Hendrik Wanmang, menyebut warga Papua dan non-Papua masih bebas beraktivitas, meski tak dibolehkan keluar kampung demi menghindari kontak senjata.

Hingga kira-kira sebulan setelahnya, polisi memukul mundur TPN/OPM dan langsung memulangkan paksa warga non-Papua yang diketahui pendulang emas ilegal ke daerah asal.

Para pendulang emas ilegal itu, saban hari memburu ampas produksi yang dibuang Freeport ke kali. Mereka biasa menyebutnya Kali Kabur. Nama itu diambil karena warna air yang pekat. Lokasinya, berada di mil 68 –area kekuasaan tambang perusahaan AS tersebut. 

Ngarjani bercerita, pertama kali menginjakkan kaki di Papua pada 2003. Ia tak langsung tahu jika di sana bisa mencari uang dengan mendulang. Ketika itu, ia bosan dengan penghasilan yang pas-pasan di Jawa, sehingga nekat merantau ke Timika. 

Satu minggu, ia habiskan perjalanan di kapal. Begitu sampai di ujung Timur Indonesia, ia menyewa sepeda motor seharga Rp30 ribu sehari. Mengojek.  

Dari bisik-bisik di warung, Ngarjani diajak seorang pelanggan ojeknya, Enis Magay, menjadi pendulang. Dia jugalah yang membawa Ngarjani masuk ke area tambang dan menyewakan lahan. Kata dia, Enis berasal dari Distrik Ilaga tapi tinggal di Desa Kimbeli. 

Desa Kimbeli adalah salah satu dusun yang ada di kawasan tambang. 

Tiga bulan pertama, ia belajar mendulang secara otodidak. Dengan berbekal kuali untuk memisahkan emas dari pasir. Tapi belum membuahkan hasil. Barulah di bulan ke tiga, Ngarjani mulai mahir.

Jika musim kemarau, ia perlu ekstra kerja untuk mendapat emas. Sebaliknya ketika hujan, air sungai yang naik, akan memudahkan para pendulang memperoleh emas. Di saat itulah, satu pendulang bisa mengantongi 2 gram emas/hari. 

“Itu baru limbahnya saja. Pembuangan ini banyak hasilnya. Katakan paling kecil setengah sampai satu gram. Masalah harga ya menyesuaikan. Kemarin itu, saya jual pas pulang sampai Rp470 ribu,” ujar Ngarjani ketika ditemui KBR. 

Keputusannya merantau, mengubah hidup keluarganya. Dari mendulang, ia merenovasi rumah dan menyekolahkan anak. Rumahnya yang dulu berdinding papan, kini sudah kokoh dengan bata. Kalau dibandingkan dengan warga lain, rumah Ngarjani begitu mencolok. 

Cat abu-abu tampak baru. Lantai teras hingga bagian dalam rumah, tertutup keramik. Dua pintu kayu sebagai gerbang masuk. Itu semua adalah hasil kiriman uang Ngarjani. Meski jumlahnya tak selalu sama.  

red

(Ngarjani, warga Desa Pohlandak, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, mulai mendulang pada 2003. Foto: Ria Apriyani)

Tergiur melihat perubahan keluarga Ngarjani, 15 orang lain di Desa Pohlandak mengikuti jejak tetangganya itu. Satu di antaranya, Ngadirin. Sepuluh tahun lalu, ia memutuskan ke Papua. Sebab pekerjaannya sebagai supir truk angkutan barang dirasa mustahil mengubah nasib keluarga.

“Kerja di Jawa kan begini saja. Tidak ada kemajuan. Cari kerja juga susah. Uangnya habis untuk makan saja,” tukas Ngadirin. 

Setiba di lokasi pendulangan, Ngadirin rela tidur berjejalan di tenda setiap malam. Semuanya demi merenovasi rumah yang hanya berdinding papan. 

Kepala Desa Pohlandak, Mundasir, mengakui beberapa warganya yang tak memiliki lahan pertanian atau usaha membatik, memilih mencari peruntungan ke Papua.  

Pasca dipulangkan paksa dari Mimika, Mundasir mendorong warganya kembali bertani. Yang tak memiliki lahan, untuk sementara diikutkan pada pengerjaan proyek pembangunan di desa. Meski begitu, ia mengaku tak bisa melarang jika ada warganya ingin kembali mendulang. 

Sementara Ngarjani, mengaku tak memungut sepeser pun atas bantuannya mengajak warga lain ke Bumi Cendrawasih itu. Dia bercerita, hanya membantu memberangkatkan beberapa tetangga, lantas membawa mereka masuk ke kawasan pendulangan. Orang-orang itu lantas diajak mendulang bersama, satu kelompok dengan Ngarjani.

Mereka tinggal satu tenda selama di Papua dan membentuk kelompok-kelompok yang lebih kecil untuk mendulang. Setiap bulannya, masing-masing kelompok patungan membayar uang sewa. 

Kali Kabur yang menjadi lokasi mendulang.

red

(Lokasi para pendulang ampas emas Freeport di aliran Kali Kabur. Di bibir kali, tenda-tenda pendulang didirikan. Foto: Samuel.)

Ratusan pendulang ilegal itu belakangan diketahui masuk lewat jalur tikus. Ada pula yang menyusup melalui hutan. Namun lantaran medan yang berat, membuat Franky ragu, ada yang mau menelusuri hutan belantara. Akses termudah, membayar 'uang keamanan'. 

“Enggak mungkin mereka jalan kaki kesana. Ada yang bayar Rp1 juta, Rp5 juta untuk ke sana. Kembali pun mesti bayar,” kata Franky. 

Jika melewati jalan utama dan resmi, pengecekkan dilakukan berlapis. Mulai dari pos 28, pos 32, pos 34, dan seterusnya sampai masuk area 68. Setiap pos dijaga 24 jam. Acap kali sekuriti asing dari perusahaan berjaga-jaga. Jika tertangkap, ancaman kurungan enam bulan penjara menghadang.

Karena itu setiap pendulang punya cara masing-masing untuk menembus barikade keamanan. Pendulang asal Desa Gemblengmulyo, Kabupaten Rembang, Hendri Wiyono misalnya. Pada 2011 dia berangkat ke Papua memang ingin mencari emas. Tanpa koneksi, dari Timika ia melipir dari jalan utama menelusuri kali. Di situ ia mulai belajar mendulang, meski hasilnya masih kecil.

“Saya enggak langsung naik. Pelan-pelan dari bawah. Pendulangan kan enggak cuma di situ. Dari bawah (mil) 32 ada, lalu naik ke mil 37. Ikuti kali saja terus sampai di mil 68," tukas Hendri. 

"Saya pelan-pelan jalan kaki. Satu bulan di mil 32. Sampai ke Tembagapura,” sambungnya. 

Perlahan tapi pasti, Hendri mendaki sampai ke Tembagapura lalu sampai ke Kampung Banti. Waktu itu juga, ia gunakan untuk berkenalan dan mempelajari medan. Sekian lama di sana, Hendri mengaku sudah bisa memanfaatkan celah-celah pemeriksaan. 

"Pasti ada pemeriksaan, kalau sudah sampai terminal saya turun duluan sembunyi. Pengecekkannya selesai, saya naik lagi,” tambahnya. 

Hendri juga bercerita, seorang temannya pernah menumpang mobil aparat keamanan. Tapi itu tak gratis. Temannya harus merogoh kantong sesuai kesepakatan. Setidaknya, yang dia tahu, Rp500 ribu sekali jalan.

Jalur tikus lain, melalui hutan. Pendulang asal Desa Kedondong, Kabupaten Demak, Samuel, mengaku harus mendaki tiap kali mau masuk ke area pendulangan. Butuh tiga hari untuk bisa sampai ke kamp.

“Lewat gunung-gunung begitu. Dari check point 32 di Timika. Naik gunung, naik turun gunung bukit,” ucap Samuel.  

red

(Samuel, pendulang asal Desa Kedondong, Kabupaten Demak. Foto: Istimewa.)

Namun di antara orang-orang seperti Hendri dan Samuel, ada yang bisa melenggang dengan mobil PT Freeport seperti Ngarjani. Kepada KBR, dia mengaku tak terlibat langsung mengatur kawan-kawan kelompoknya masuk. Semua diserahkan kepada penyewa lahan.

Dimulai 13 tahun lalu, saat pertama kali menginjakkan kaki di Desa Kimbeli, Ngarjani masuk sampai ke kawasan pendulangan dengan menumpang angkutan khusus PT Freeport. Padahal angkutan itu hanya bisa ditumpangi karyawan dan warga lokal yang dibuktikan dengan kartu identitas. 

 

Begitu sampai di mil 68, menurut Ngarjani, tidak ada lagi yang mengusik. Ngarjani dan kelompoknya lantas tinggal dengan menyewa lahan. Para penyewanya orang-orang Papua, meski tak selalu warga asli Desa Banti, Kimbeli, pun Utikini. 

Pemilik lahan yang disewanya juga berasal dari luar desa-desa itu. Dia juga tidak tahu sejak kapan si pemilik ada di Kimbeli. Setiap bulan dia harus membayar sewa Rp5 juta untuk lokasi 10 x 20 meter.

“Kalau kita sudah berani masuk, berarti sudah ada tanggungjawab harus bayar. Bayarnya tergantung pas akad mampunya tanggal berapa. Kadang kurang satu minggu dia sudah datang (menagih),” tukas Ngarjani. 

Besaran uang sewa juga bergantung pada luas dan letak lokasi. Semakin ke atas, makin mahal harganya. Tempat yang digunakan Samuel misalnya. Setiap bulan, ia mesti membayar Rp10 juta untuk area seperempat hektare. Area seluas itu biasa digunakan bersama-sama sembilan orang lainnya.

Jika sudah membayar, hak pemanfaatan area itu sepenuhnya menjadi milik mereka. Dalam sehari, satu sampai dua gram emas bisa didapat. Hasilnya dikumpulkan, lalu dijual ke penadah-penadah di kios setiap akhir minggu. Harganya berubah-ubah, mengacu pada harga emas.

Para pembeli emas itu kebanyakan orang-orang suku Bugis dan Toraja. Setiap minggu, mereka selalu siap dengan bergepok-gepok uang tunai untuk membeli hasil dulangan. Lantas emas akan dijual ke toko-toko di Timika.

Para penadah itu sehari-hari tinggal bersama mereka di tenda-tenda. Sehingga para pendulang tahu betul wajah dan identitas mereka. Meski begitu, ada beberapa penadah tak dikenal yang selama ini hanya mengutus orang. Dari pengakuan Ngarjani, mereka biasa menyebutnya Bos-Bos Emas. Tapi identitasnya, tak pernah diketahui.

Seluruh operasi tak berizin hingga transaksi itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Tapi Juru bicara PT Freeport, Riza Pratama, mengaku tak bisa mengusir para pendulang.

Riza Pratama, juga mengakui keberadaan pendatang mengganggu operasi perusahaan. Meski area itu masuk objek vital nasional. Tapi Freeport tak bisa berbuat banyak.

Sementara dugaan keterlibatan aparat keamanan membawa masuk para pendulang ke kawasan Freeport dibantah Kepolisian Daerah Papua. Juru bicaranya, Ahmad Mustofa Kamal, menegaskan tidak pernah ada keluhan dari masyarakat terkait pungutan liar yang dilakukan anggotanya.

“Rekan-rekan TNI dan Polri di sana ada Satgas Amole. Belum pernah ada keluh-kesah dari warga yang terjadi seperti itu,” klaimnya. 

Tapi aktivitas pendulangan liar di sana rupanya sudah eksis sejak akhir era 1990-an. Sejak itu, orang-orang datang dan pergi memburu bijih emas sisa operasi yang dialirkan ke sungai-sungai. Seperti laron, bagi mereka, tepian-tepian sungai di kawasan steril itu merupakan sumber cahaya. 

 

Baca juga: Karena Konflik, Persaudaraan Itu Terputus 

	<td>Ria Apriyani&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:&nbsp;</td>

	<td>Quinawaty&nbsp;</td>
</tr>
Reporter: