SAGA

[SAGA] Miss Tjitjih di Masa Krisis

[SAGA] Miss Tjitjih di Masa Krisis

KBR, Jakarta - Alkisah Cakra Buana berhasil menggagalkan rencana pembunuhan terhadap Raja Suyono oleh Patih Pringgoloyo. Raja akan dibunuh dengan racun yang dimasukan ke dalam minumannya. Namun Cakra Buana yang bernama lain Gagak Solo mengetahui niat jahat Patih Pringgoloyo.

Patih Pringgoloyo akhirnya ditangkap. Lalu Raja Suyono mengangkat Cakra Buana sebagai Patih. Pengangkatan ini menjadi peristiwa yang pantas dirayakan. Raja pun menggelar hiburan tarian.


Ditampilkanlah seorang penari kesayangan raja bernama Sulastri. Waktu itu Sulastri diperankan oleh Tjitjih. Di sela gemulai tariannya memerankan Sulastri, tubuh Tjitjih terhuyung lalu roboh. Tjitjih menghembuskan nafas terakhirnya di atas panggung. Itulah penggalan Sandiwara Sunda Miss Tjitjih berjudul Gagak Solo pada 1936 di Cikampek.


Adegan itu dipentaskan ulang dalam sandiwara berjudul Napak Tilas Sri Panggung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) akhir April lalu. Pertunjukan tersebut merupakan puncak perayaan ulang tahun ke-89 kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih.


Ketua Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih, Syarifah Rohmah, mengatakan, Jumat –di akhir bulan lalu menjadi panggung perdananya di tahun 2017. Sebab sejak awal tahun, sama sekali tak ada kegiatan manggung.


“Kami nggak bisa manggung dari awal Januari 2017. Karena kami ingin ada kegiatan, baru juga beberapa bulan sudah kangen,” kata Syarifah ketika ditemui sebelum pertunjukan.


Syarifah juga bercerita, sejak tahun ini pula Miss Tjitjih tak lagi menerima dana hibah dari Pemprov DKI Jakarta. Padahal dulu, sempat ada kucuran dana dimana para pemarin dibayar Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu sekali manggung.


Alhasil, Gedung Miss Tjitjih di Cempaka Baru, Jakarta Pusat, mangkrak. Padahal, tempat pertunjukkan itu sebetulnya juga menjadi tempat tinggal bagi 135 anak wayang –sebutan untuk para aktor. Maka, agar bertahan hidup, larangan bagi anak wayang untuk melakukan kegiatan di luar kelompok sandiwara kini ditiadakan.


“Sekarang kondisinya berbeda. Kalau kita tetap pertahankan kosep bapak saya yang tidak boleh keluar dari Miss Tjitjih, itu susah. Sekarang dibebaskan yang penting tetap punya tanggung jawab terhadap Miss Tjitjih,” sambungnya.


Saat perayaan 89 Tahun Miss Tjitjih di Taman Ismail Marzuki, penontonnya membludak. Mereka asyik menyaksikan pertunjukan itu secara langsung. Sandiwara yang didominasi bahasa sunda ini dipentaskan sekitar dua jam.


Melihatnya banyaknya penton, Syarifah ingin kelompok sandiwara tetap bertahan. Meski ia tahu, tak mudah. “Kalau masalah bersaing kami mungkin ketinggalan. Karena kami memang tetap mempertahankan tradisi. Mungkin karena pemuda-pemuda sekarang senangnya yang modern.”


Kelompok sandiwara tradisional ini sadar, tengah bersaing dengan pertunjukan modern lain. Sutradaranya, Imas Darsih, menyebut bukan hal mudah merangkul generasi muda. Apalagi kelompoknya tinggal di Jakarta yang masyarakatnya beragam.


Agar bisa bersaing, Imas akhirnya memodifikasi pertunjukannya dengan menggunakan bahasa sunda yang dicampur bahasa Indonesia.


“Kalau bahasa ibu itu di-reumbeuy atau dicampur. Tapi memang ada cerita juga yang dikhusukan ada dialek betawinya seperti Si Manis Jembatan Ancol, Setan Rawamangun. Karena Jakarta ini bermacam-macam suku. Walaupun orangtuanya Sunda asli tapi belum tentu anaknya mengerti bahasa Sunda,” terang Imas.


Cerita yang disuguhkan, kata Imas, lebih banyak menampilkan genre horor komedi. Sebab genre itu lebih diminati dibanding cerita kerajaan atau babad.  


Budayawan Sunda, Hawe Setiawan, menyarankan Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih mengubah strategi promosi yang masih konvensional, jika ingin terus bertahan. Sebab kini, segala sesuatunya menggunakan sosial media.


“Tapi yang paling penting strategi promosi dan pengemasan informasi,” kata Hawe.


Selain promosi, Hawe juga mendorong Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih untuk berjejaring dan berkolaborasi, dengan kelompok sandiwara lainnya.


“Kalau kita bandingkan dengan Teater Sunda Kiwari yang berkedudukan di Bandung mereka punya satu program yang dilaksankan secara reguler terus menerus setiap dua tahunan. Mereka membina penonton baru, khalyak baru dan juga memungkinkan lahirnya cerita-cerita baru yang ditulis pengarang sekarang,” sambung Hawe.


Sementara, penggunaan bahasa Sunda dalam pertunjukan, menurut Hawe, justru jadi kekuatan Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih. Sebuah identitas yang tak boleh dihilangkan.


“Ciri khasnya Miss Tjitjih itu teater dalam bahasa Sunda. Di Jakarta sekarang dimungkinkan, memang masyarakatnya majemuk. Sebenarnya bahasa Sunda Miss Tjitjih tidak terlalu tradisional,” tutup Hawe.

Editor: Quinawaty Pasaribu 

  • Miss Tjitjih
  • Sandiwara sunda
  • 89 tahun miss tjitjih
  • syarifah rohmah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!