SAGA

[SAGA] Abhipraya Muchtar: Negara Rugi Kalau Sampai Kriminalkan LGBT

[SAGA] Abhipraya Muchtar: Negara Rugi Kalau Sampai Kriminalkan LGBT


KBR, Jakarta - Keyakinan Abhipraya Ardiansyah Muchtar kala kecil, terbukti sekarang. Di hadapan saya, Abhi, menjelma layaknya pria; berambut cepak, dengan kumis dan janggut tipis di dagu.

Abhi ingat betul, tatkala usianya empat tahun, dia sudah bisa mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki. Bahkan acap kali ditanya keluarga, dengan percaya diri –ia minta dipanggil ‘Mas’.


Tapi, lantaran pengetahuannya yang terbatas, Abhi tak tahu kalau dirinya seorang transjender pria. Itu mengapa, ia terima saja saat dipanggil ‘tomboy’. Dan ketika remaja, orangtuanya kerap menuntut Abhi tampil feminin.


“Bokap gue dulu pernah bilang, kamu kalau manjangin rambut papa kasih mobil. Gue bilang, 'malas aku nggak bisa dibeli cuma dengan satu mobil'. Akhirnya dia ngalah. Dia kasih gue mobil. Terus mulai lagi, panjangin rambutnya! Kalau nggak, mobil papa tarik,” cerita Abhi.


Abhi lahir sebagai perempuan pada 1991 dikeluarga Muslim Jawa. Sejak kecil, ia dicekoki aturan­-aturan sebagai perempuan Jawa dan Muslim.


Abhi juga masih ingat, saat bermain dengan teman­temannya, ia kesal karena tak boleh ke masjid dengan teman­temannya yang pria. Meski bosan dibatasi, tapi tak bisa melawan.


Pernah suatu kali, dia mengikuti pemilihan Abang None Buku. Di situlah Abhi memaksakan diri belajar merias diri dan tampil feminin. Tapi itu hanya bertahan setahun.


Semakin dewasa, Abhi pun ogah dipanggil ‘tomboy’. Ia merasa ada yang keliru dalam dirinya.


“Ya dari luar gue terima aja disebut itu. Tapi sesungguhnya nggak. Lelah, capek. Apalagi nightmare-nya saat gue mulai mens, itu semua kayak lebih horror.”


Abhi bahkan terang menolak dilabeli butch –istilah dalam komunitas LGBT untuk mendeskripsikan sifat, gaya, perilaku, ekspresi diri yang merujuk pada sisi maskulin seorang perempuan.


“Pertama gue ngerasa orientasi seksual gue sukanya sama cewek. Gue nyari ternyata namanya butch. Oh berarti gue ini ya. Eh tapi tunggu, gue mikir kan gue cowok.”


Kondisi itu membuat Abhi minder dan merasa sendirian. Temannya pun bisa dihitung dengan jari kala SMP dan SMA. Berkali-kali, ia, merasa ingin bunuh diri.


Hingga celetukan seorang teman kuliahnya di tahun 2011, seolah memberi petunjuk. Abhi disarankan mencari tahu soal transgender. Di situlah pencariannya dimulai.


Dalam pencarian itu, ia menemukan jawabannya; bahwa dia transjender pria. Pertengahan 2014, dia memutuskan menjalani suntik hormon. Bagi Abhi, itu adalah jalan keluarnya dari depresi yang menghimpit.


“Setelah gue ngerti just as simple as gue nggak mau ada bagian ini dalam diri gue. Gue pengen bagian ini lepas, hilang.”


Tapi dia tahu keluarganya juga perlu berproses. Itulah alasan dia menunda operasi kelamin.


Dua tahun terakhir, Abhi menjalani terapi hormon. Sekali dalam sebulan ia harus menyuntik dirinya sendiri. Sembari mengejar cita-cita, dia mempersiapkan keluarganya agar menerima dirinya yang baru.


Dukungan Keluarga dan Perubahan Fisik




Bagi Abhipraya Ardiansyah Muchtar, transisi fisik dari perempuan menjadi lelaki bukan perkara sederhana.


Pasca bicara di panggung Tasrif Award, banyak anak muda yang juga mengidentifikasi diri sebagai transgender mendatangi Abhi, bertanya, “Bagaimana caranya transisi fisik?”. Tapi Abhi selalu meminta mereka tak gegabah.


“Ini kan massive transition. Ibaratnya kalau lu ngomong masalah i’m gay, i’m lesbian, lu ngomong sama siapa, kasih tahu urusan lu di kasur, udah. Kalau trans, lu kan ngomong masalah lu mau diperlakukan sebagai apa.”


Abhi besar di keluarga dengan nilai-nilai Jawa yang kental. Dipingit sebagai anak perempuan, pernah ia rasakan.


Sejak kecil pula, Ahbi mengagumi sosok Mr. Tuxedo –tokoh pria dalam kartun Sailor Moon. Dia ingin seperti Mr. Tuxedo yang terbang bebas kemanapun.


Tapi mengapa ia ingin menjadi pria? Abhi tak paham. Baru di bangku kuliahlah Abhi tahu, bahwa dia adalah transjender pria.


Hingga pada 2014 awal, Abhi jujur kepada keluarga soal niatnya menjalani operasi ganti kelamin. Dan ibunya pun, kata Abhi, siap menandatangani persetujuan jika nanti jadi dioperasi.


Sejak itu, bukan hanya dirinya yang berubah. Abhi menyaksikan sendiri bagaimana lingkaran di sekitarnya; ibu, adik, keluarga besar, dan teman-temannya, mulai berproses.


“Gue nanya ke nyokap, mama malu nggak punya anak kayak aku? Kalau iya, nggak apa-apa aku ngalah. Aku keluar aja. Nyokap bilang mungkin karena dia islami banget ya, ya mungkin memang inilah takdirnya mama. Maksudnya kamu harus lahir di Indonesia dengan kondisi begini.”


Abhi pernah khawatir, teman yang ia jaga di lingkaran kecilnya, akan lepas satu per satu. Nyatanya Abhi justru mendapat sokongan moral dari mereka. Bahkan, dari seorang teman yang ia kenal sangat fanatik.


“Gue punya satu temen yang sangat islami. Dulu dia ambil fiqih kalau enggak salah. Januari lalu ketemu dia, gue udah kayak gini. Pertanyaan dia sederhana. Kalau ada yang nanyain kamu ke aku, apa yang harus aku katakan untuk membela kamu.”


Dengan semua pengalaman itu, Abhi sadar, bukan hanya dia yang butuh suport secara psikologis. Tapi juga lingkungan sekitarnya.


“Ternyata yang butuh dukungan bukan cuma transnya tapi juga keluarganya. Gue lagi ngerasain ini.”


Dia pun menyayangkan belum adanya dukungan untuk keluarga yang salah satu anggotanya memutuskan menjalani operasi ganti kelamin. Padahal menurut Abhi, keluarga seorang transjender juga perlu sokongan moril dari psikolog. Minimal, kata dia, bertukar pengalaman dengan keluarga lain.


Meski begitu, dia cukup bersyukur keluarga dan teman-temannya, bisa menerima keputusan Abhi.


Satu-satunya yang menjadi kekhawatiran ibunya, adalah masa depan Abhi. Mereka tahu hidup sebagai transjender di Indonesia tidak mudah.


Abhi sudah membuktikannya sendiri. Pada 2014 dia ditolak bekerja di sebuah bank internasional karena pilihannya tersebut.


“Dipanggil psikotes lulus. Dipanggil presentasi kasus kredit which is gue banget. Gue tinggal tanda tangan kontrak. Gue bilang saya nggak bisa nih pakai rok. Udah, bubar semua.”


Kemarahan itulah yang memicunya menata cita-cita baru. Abhi ingin membuktikan bahwa transjender bisa sukses dan punya karier cemerlang.


Dan kini, dia pun fokus bicara untuk komunitas LGBTIQ, bekerja, sambil mempersiapkan diri mengambil beasiswa Inggris 2018 nanti.


“Insya Allah udah beres semua transisi medis. Terus bisa mainstreaming queer economic di Indonesia. Terus sepuluh tahun lagi sudah bisa bikin sistem ekonomi kecil yang inklusif buat trans. Gue pengen bikin tempat usaha yang dari, oleh, dan untuk trans.”


Abhi juga ingin pemerintah dan masyarakat tahu, tak ada gunanya mengkriminalkan kelompok LGBT hanya karena kelamin dan jendernya, berbeda.


“Gue pernah baca di Amerika, kekerasan dari polisi terhadap transjender itu ada kerugian sekian. Pertama, bayar gaji polisi. Kalau ditahan karena dia LGBT, berapa duit yang harus dikeluarkan pemerintah untuk bayar penjaranya orang ini. Kan ditanggung semua. Kalau lingkungan kerja nggak inklusif, pengaruh ke job satisfaction yang  berpengaruh ke produktifitasnya, dia yang pengaruh ke production sales profit perusahaan. Itu yang pengen gue cari tahu di Indonesia.”


Meski cita-citanya berkarier di perbankan kandas, dengan mantap, Abhi yakin ia tidak pernah menyesal.





Editor: Quinawaty

 

  • Abhipraya Ardiansyah Muchtar
  • LGBTIQ
  • Forum LGBTIQ Indonesia
  • suardi tasrif award

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!