SAGA

[SAGA] Melawan Stigma PKI Lewat Film Dokumenter Besutan Pelajar Rembang

"“Kebetulan aku bikin film itu sebelum marak. Sedangkan film ku itu sama sekali tidak mempromosikan komunis. Justru sisi lain. Padahal, komunis itu kan sudah tidak ada. Sudah jelas tidak ada.”"

[SAGA] Melawan Stigma PKI Lewat Film Dokumenter Besutan Pelajar Rembang
Dua pelajar SMAN 1 Rembang, Ilman Nafai dan Raeza Raenaldy. Foto: Muhammad Ridlo/KBR



KBR, Cilacap - Judul film itu ‘Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!’ Tiga pria sepuh; Sulemi, Iskak, dan Masruri, jadi tokoh utamanya. Mereka adalah bekas anggota Batalyon I Cakrabirawa.

Di film itu, ketiganya lantas membeberkan apa yang sesungguhnya terjadi saat 1 Oktober 1965. Sulemi misalnya, mengaku diperintah untuk menjemput Jenderal A.H. Nasution di rumahnya. Hal itu ia sampaikan pada Ilman Nafai –sang sutradara film.


“Katanya, anaknya Nasution itu ditembak oleh orang PKI. Ternyata, anak Ade Irma itu, kata Pak Sulemi, tidak sengaja. Karena waktu itu, pintunya akan didobrak tapi nggak jadi. Jadi pintunya ditembak, kemudian nggak sengaja kena anaknya. Cuma yang beredar itu kan diberondong (peluru),” ungkap Ilman.


Kepada pelajar di SMAN 1 Rembang ini juga, lelaki kelahiran Purwokerto 1940 itu mengaku masih ingat betul, oleh Komandan Batalyon I Cakrabirawa, Untung Samsuri, mereka diinstruksikan menjemput paksa tujuh petinggi Angkatan Darat (AD) –yang diketahuinya berencana mengudeta Presiden Sukarno.


Apa yang diungkapkan Sulemi di film tersebut, seakan mementahkan gambaran bengis para pasukan elit pengawal presiden tersebut. Pasalnya selama berpuluh tahun, oleh Orde Baru potret itu tertanam di benak para pelajar.


Dan Ilman Nafai seperti ingin mereka ulang kisah para pasukan Cakrabirawa dalam bentuk film dokumenter.


“Awal saya tertarik dengan ’65 itu gara-gara secara psikologi di kepala saya sudah tertanam, bahwa orang komunis itu tidak beragama. Nah, ketika pertama kali ke Sekretariat Bersama (Sekber) ’65, ternyata mereka biasa berdoa. Meski agamanya berbeda-beda, tetapi kan berarti mereka punya Tuhan. Nah aku mau bikin film, agar pengetahuanku semakin dalam,” sambung Ilman Nafai.


Ilman tak sendiri. Ada Raeza Raenaldy. Ia membikin film berjudul ‘Izinkan Saya Menikahinya’.


Berkisah tentang seorang tentara yang tak bisa menikahi kekasihnya lantaran kakek sang kekasih dicap Eks Tapol (ET). Padahal sepasang kekasih ini sudah menjalin cinta sejak SMP.


Kisah cinta yang terjalin selama sembilan tahun tersebut, pupus, setelah sang Komandan melayangkan selembar surat yang berisi penolakan izin menikah lantaran kekasihnya adalah cucu dari seseorang yang terlibat PKI.


Lewat film ini, Raeza ingin menyentil sikap tentara yang masih saja menstigma para korban. Padahal sejak Gus Dur memimpin, persoalan eks tapol sudah diselesaikan. Tapi toh, kasus yang menimpa pasangan kekasih itu terjadi pada 2014.

 

“Tulisan Eks Tapol (ET) itu sudah dihapus oleh Presiden Gus Dur pada 1999, kalau tidak salah. Masa di 2014 masih saja tetap dipermasalahkan? Kan aneh. Apalagi ini bukan pelakunya. Mungkin, saya ingin memberi tahu, bahwa di kota sekecil Purbalingga ini, ET itu masih dipermasalahkan. Apalagi ini pernikahan,” kata Raeza Raenaldy.


Tapi sayang, ide dua pelajar tersebut tak disokong pihak sekolah; tak diberi dana dan tak dipinjami peralatan. Padahal di sekolahnya, ada praktikum ekstrakurikuler sinematografi.


“Banyak kesulitan. Terutama karena sekolah tidak mendukung. Karena pasti bikin film itu butuh dana. Karena sekolah tidak ada, dananya dari hasil patungan teman-teman yang ikut ekstrakurikuler,” ungkapnya.


Namun bukan berarti Ilman dan Raeza, urung membuat film berlatar peristiwa 1965 itu. Keduanya sepakat patungan membiayai pembuatan film. Beruntung pula, komunitas film di Purbalingga bersedia membantu pendanaan dan meminjaman kamera dan peralatan lainnya. Hingga pada Maret 2016, dimulaikan proses produksinya.


Akan tetapi, Kepala SMAN 1 Rembang, Purwito, berkilah pihaknya tak mendukung. Kata dia, proposal kedua film itu terlambat diajukan dan tanpa diketahui sekolah.

 

“Saya selalu mengatakan, bahwa semua kegiatan di sekolah itu harus sesuai prosedur. Kegiatan apapun, itu harus ada perencanaan yang rapi. Dan kepala sekolah harus tahu. Harus disetujui atau tidak disetujui. Manakala ada kegiatan sudah berjalan, kemudian tidak disetuju kepala sekolah, itu sama saja inprosedural. Dan itu tidak kami kehendaki sama sekali. (Jadi film ini tidak dibiayai?) Tidak, betul, tidak sepeserpun, saya katakan,” kata Purwito.


Miris karena belakangan, pihak sekolah menghentikan ekstrakurikuler sinematografi, pasca ketahuan anak didiknya memproduksi film berlatar tragedi 1965. Purwito mengatakan, keputusan itu sesuai pertimbangan manajemen sekolah.


“Yang jelas, pada tahun ajaran baru 2016/2017 ini tidak masuk program. Kalau tidak salah (sudah dibekukan) Maret 2016,” tukasnya.


Kala didesak, apakah keputusan penghentian ekskul terkait dengan kedatangan Komandan Komando Distrik Militer Purbalingga dan Wakil Polres Purbalingga, Purwito tak menjawab tegas.

 

“(Ditemui oleh Dandim?) Kalau tamu biasa. Ya pernah, tetapi tidak ada kaitan dengan menutup dan segala macam. Nggak ada kaitannya. Yang jelas, kalau bicara khusus (soal film berlatar 65) pernah juga,” jelasnya.


Tak hanya sekolah yang disambangi tentara dan polisi. Ilman mengaku pernah ditanyai seputar film yang dibuatnya.


“Kalau semacam ancaman, belum pernah sih. Pernah didatangi di sekolah, itu karena mungkin ada thriller filmku, ada kata-kata ‘Suharto itu bukan manusia’, mungkin kerena itu. Aku lalu didatengin, ditanya ‘Apa kamu bener sutradaranya?’, Saya jawab ‘Iya’. Terus ditanya, ‘Kamu bikin film karena ingin atau sedang marak film beginian’,” ungkap Ilman.



Mengikuti Festival Film Kelas Dunia


Raeza Raenaldy dan Ilman Nafai, adalah dua pelajar di SMAN 1 Rembang. Nama keduanya melambung pasca memproduksi dua film berlatar peristiwa 1965; Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal! dan Izinkan Saya Menikahinya. Bahkan, film tersebut menyabet penghargaan di ajang Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016.


Ilman Nafai bercerita, mulanya ia dan Raeza melakukan riset di komunitas Sekretariat Bersama (Sekber) 65. Di sana, ia diceritakan kisah-kisah para penyintas. Dari situ, ia akhirnya tertarik memfilmkan tiga anggota Cakrabirawa –pasukan elit pengawal Presiden Sukarno; Sulemi, Iskak, dan Masruri.


Hanya saja, saat proses produksi berjalan, Ilman dan Raeza sempat disambangi tentara. Tapi, Ilman mengaku cuek saja. Toh menurutnya tak ada satu pun dalam filmnya yang mempromosikan paham komunis.


“Kebetulan aku bikin film itu sebelum marak. Sedangkan film ku itu sama sekali tidak mempromosikan komunis. Justru sisi lain. Padahal, komunis itu kan sudah tidak ada. Sudah jelas tidak ada,” ujarnya.


Sandungan lain yang dihadapi dua pelajar itu, saat sekolah tak mendukung; baik dana dan peralatan.


Beruntung karena Komunitas Film CLC Purbalingga, bersedia meminjamkan alat-alat yang dibutuhkan keduanya. Tak hanya itu, CLC Purbalingga meminta izin ke pengelola Museum Jenderal Soedirman agar dibolehkan memakai aula.


“Yuk, kita pengajuan ke dinas, untuk memakai Monumen Jenderal Soedirman. Karena di situ kan ada aula. Akhirnya saya mengajukan, ‘Pak, ini dibutuhkan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan sampai kapan'. Karena sekolah juga dalam kondisi tidak membolehkan, sehingga membutuhkan kebijakan,” jelas


Film besutan Ilman dan Raeza diproduksi pada April lalu, sekira dua hari. Selang sebulan, film itu diikutkan dalam Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016.


Hingga pada 8 Oktober lalu, pihak AFI 2016 yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Badan Perfilman Indonesia, mengumumkan; film karya Ilman dan Raeza, jadi juaranya.


Film ‘Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal’ menyabet predikat film terbaik katagori film dokumenter pendek tingkat pelajar dan mahasiswa. Sedangkan film ‘Izinkan Saya Menikahinya’ karya Ilman Nafai, menjuarai film fiksi pendek tingkat pelajar dan mahasiswa.


Malah, sebelumnya dua film itu juga juara di ajang Festival Film Purbalingga (FFP) 2016.


Sialnya, prestasi menterang itu tak membuat sekolah bangga. Kepala Sekolah SMAN 1 Rembang, Purwito mengaku tak perlu mengirim perwakilan ke acara AFI 2016 di Manado itu. Ia beralasan, film tersebut tidak diatasnamakan sekolah.

 

“Hari Sabtu, 8 Oktober, dua anak itu memohon izin ke sekolah, bahwa yang bersangkutan mendapatkan undangan. Undangannya juga atas nama yang bersangkutan, tidak ada tembusan untuk sekolah. Sekolah mengeluarkan izin atas permohonan siswa. Intinya seperti itu. Nah, sekolah tidak mengutus perwakilan, karena memang bukan perwakilan sekolah,” kata Purwito.


Dan meski sudah mengantongi banyak penghargaan, pihak sekolah, kata Purwito, belum terpikir menghidupkan ekskul sinematografi.

 

“Saya belum bisa jawab sekarang. Dan saya, nyuwun sewu, bukan kapasitas panjenengan untuk bertanya soal itu. Dan saya tidak bisa bicara, karena semua tergantung manajemen,” jelasnya.

 

Sementara itu, Bowo Leksono yang juga guru pembimbung ekstrakurikuler sinematografi di SMAN 1 Rembang, menyayangkan sikap sekolah yang mematikan ekskul sinematografi.


Sempat juga ia menanyakan keputusan itu, tapi tak ada jawaban lugas.


“Ketika kami tanyakan kenapa ekskul ditutup, jawabannya, ‘Ya, itu rahasia kami’,” bebernya.


Bowo meyakini, keputusan menghentikan ekskul itu, karena ada tekanan dari tentara. Sebab, beberapa kali sekolah disambangi aparat. Ia juga bercerita, sekolah lain yang ia ajar juga ‘dipesani’ kepala sekolah agar tak memproduksi film yang kontroversial, utamanya terkait PKI.


Agar kreatifitas pelajar di sini tak padam, Komunitas Film CLC Purbalingga bersama Ilman dan Raeza, bakal menggunakan uang dari AFI 2016 untuk membeli alat produksi film.


“Anak-anak yang menang, pasti beli alat. Agar teman-teman SMA lain yang belum punya alat bisa memakai. Jadi setiap tahun, sekolah yang kurang itu tidak bingung, karena disuport sekolah lain,” jelas Bowo.


Sementara itu, film ‘Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal’ dan ‘Izinkan Saya Menikahinya’ belum akan dibuka ke publik. Hanya dikecualikan jika untuk riset atau diskusi. Dengan syarat, ada pengajuan tertulis. Sebab, dua film ini akan dikompetisikan di festival film kelas dunia.





Editor: Quinawaty Pasaribu 

  • PKI
  • ilman nafai
  • raeza raenaldy
  • SMAN 1 Rembang
  • Cakrabirawa
  • film

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!