Aksi demonstrasi mahasiswa di Banyuwangi tolak tambang emas di Gunung Tumpang Pitu. Foto: Hermawan/KBR.

SAGA

Penentang Tambang Emas Tumpang Pitu Dibelenggu Pasal Komunisme

Selasa 19 Sep 2017, 08.33 WIB

KBR, Banyuwangi - Pagi di akhir Juli, pintu ke Polres Banyuwangi ditutup dan dijaga puluhan personel. Sementara di luar, puluhan orang memaksa masuk. Setelah bernegosiasi, polisi hanya membolehkan lima orang ke dalam. Sedang selebihnya, membubarkan diri dan ada pula yang menunggu di emperan toko –letaknya berada persis di depan kantor Polres. 

Puluhan orang itu adalah warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi. Kehadiran mereka hendak mengantar teman, yang hari itu akan diperiksa polisi atas kasus dugaan penyebaran komunisme. Dimana logo palu-arit terpampang di spanduk milik mereka kala menggelar aksi demonstrasi menolak tambang emas di kawasan Gunung Tumpang Pitu.

Dalam kasus penyebaran komunisme ini, polisi telah menetapkan empat warga Desa Sumberagung sebagai tersangka. Mereka; Budiawan, Trimanto, Andreas, dan Ratna. Polisi pun mengklaim mengantongi bukti kuat.

Juru bicara Polres Banyuwangi, Bakin, menyebut kini berkas ke-empat tersangka sudah hampir rampung. Hanya perlu keterangan tambahan. “Penyidik punya penafsiran tersendiri pasal yang disangkakan kepada yang bersangkutan. Tentunya sudah ada bukti,” ujar Bakin.

Musibah yang menimpa warga Desa Sumberagung, bermula dari gencarnya penolakan mereka atas tambang emas di Gunung Tumpang Pitu. Berbagai aksi sudah dilakoni sejak 2008 silam. Sial, tak pernah ditanggapi pemda. Terakhir, aksi demo dilakukan 4 April lalu. 

Rencananya, mereka akan berkumpul terlebih dahulu di rumah Budiawan –seorang warga setempat, sebelum menuju lokasi demo. Tapi, hingga batas waktu yang ditentukan, massa tak kunjung datang lantaran hujan deras.

Budiawan lantas bercerita, rencana diubah menjadi aksi pemasangan spanduk penolakan di sepanjang pantai Pulau Merah hingga ke kantor kecamatan Pesanggaran. Tujuannya, agar masyarakat Banyuwangi tahu perjuangan mereka. 

Total ada 11 spanduk yang dipasang di sepanjang jalan itu. Isinya, penolakan terhadap perusahaan tambang PT Damai Suksesindo –mitra PT Bumi Suksesindo. Kedua perusahaan itu adalah penambang. 

red

Pemasangan spanduk dimulai sekira pukul 12.30 siang dan selesai pukul 16.00 sore. Setelahnya, warga kembali ke rumah masing-masing. Malamnya, Budiawan didatangi dua pria yang mengaku intel Kodim dan Koramil setempat.

Di situlah dikatakan bahwa dua spanduk warga terpampang logo mirip palu-arit atau simbol komunis. Kedua intel itu juga menunjukkan foto spanduk yang dimaksud. Mengetahui hal itu, Budiawan kaget bukan main. Pasalnya dia tak tahu menahu keberadaan logo palu-arit itu. 

“Itu malam kami didatangi intel Kodim katanya mencari spanduk yang ada logo palu-arit. Tapi asalnya dari mana, terus kemana itu spanduk kan kami tidak tahu,” sambungnya.

Budiawan juga meyakini spanduk-spanduk itu bersih dari logo palu-arit. Sebab ketika spanduk itu dipasang dikawal Polsek Pesanggaran. 

Warga lain, Suraji, juga menjamin tak ada logo palu-arit di 11 spanduk mereka. Sebab dia sendiri ikut ketika memasang. “Saya kan  ikut juga, sempat jadi saksi tapi ya tidak mengerti sama sekali. Saya ya akhirnya menyesal kenapa malah menjadi kasus. Padahal kami ini niatnya kan bagus, demi semuanya,” tutur Suraji.

Suraji, begitu kecewa dengan tuduhan polisi. Pasalnya, perjuangan mereka menolak tambang emas harus dicemari dengan sangkaan menyebarkan komunisme. Padahal, sedari awal aksi warga murni demi menjaga lingkungan dari kerusakan akibat tambang. 

Tapi pernyataan warga, tak dipedulikan polisi. Sejak 11 April, polisi mulai menyelidiki dan mendatangi sejumlah rumah warga yang ikut memasang spanduk. Tujuannya mencari bukti. Total sudah 22 orang yang diperiksa.

Selang tiga hari, Kepolisian Banyuwangi menetapkan empat warga Desa Sumberagung sebagai tersangka. Mereka dikenakan pasal tentang kejahatan terhadap keamanan negara dengan menyebarkan komunisme. Ancaman penjara 12 tahun. 

Hanya saja, penetapan tersangka ini, dihujani kritik aktivis lingkungan. Koordinator LBH Surabaya bidang Advokasi, Ahmad Wahid, mengatakan penetapan tersangka adalah bentuk kriminalisasi. Pasalnya, kasus ini muncul bersamaan dengan kencangnya perjuangan warga menolak tambang.

Apalagi sangkaan menyebarkan komunisme, adalah tuduhan yang kerap ditodongkan kepada mereka yang melawan kekuasaan pemerintah.  

Dia juga mengatakan, hingga kini pihaknya belum pernah melihat bukti yang dipakai untuk menjerat warga Desa Sumberagung. Maka timbul kesan, kasus ini dipaksakan. 

Warga Desa Sumberagung membentangkan spanduk menolak tambang emas. Foto: Hermawan/KBR.

Dia juga mencium indikasi, bahwa penjeratan pasal penyebaran komunisme ini untuk mengalihkan perhatian publik atas persoalan utama yang tengah dihadapi warga Desa Sumberagung dan sekitarnya. 

Kembali ke warga. Mereka takkan tinggal diam melihat tanah kelahirannya porak-poranda karena tambang emas. Sebab manusia bisa hidup tanpa emas, tapi tidak tanpa air. 

“Warga tetap berkomitmen sampai saat ini menolak tambang. Kalau ngomong soal perlawanan sampai saat ini tetap melawan,” tegas Abdurrahman Taufik. 

	<td>Hermawan Arifianto&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:&nbsp;</td>

	<td>Quinawaty&nbsp;</td>
</tr>
Kontributor: