SAGA

Kisah Pembisuan Perempuan Korban 65 (bagian 2)

"KBR - Mereka yang keluarganya terkait dengan PKI kerap dijauhkan masyarakat. Sebagian lainnya juga kerap dicap sesat karena Soeharto sukses mencitrakan ajaran komunis berbahaya dan anti tuhan. Selama 30 tahun lebih Soeharto mengaburkan fakta yang terjadi "

Sejarawan Universitas Gadjah Mada Ita Nadia saat diskusi buku “Suara Perempuan KorbanTragedi 65” (Fo
Sejarawan Universitas Gadjah Mada Ita Nadia saat diskusi buku “Suara Perempuan KorbanTragedi 65” (Foto: Aisyah Khairunnisa)

KBRCap buruk terhadap mereka yang terlibat atau dituduh sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia terus terjadi hingga kini. Mereka yang keluarganya terkait dengan PKI kerap dijauhkan masyarakat. Sebagian lainnya juga kerap dicap sesat karena Soeharto sukses mencitrakan ajaran komunis berbahaya dan anti tuhan. Selama 30 tahun lebih Soeharto mengaburkan fakta yang terjadi pada 30 September 1965. Sejumlah aktivis mencoba mengubah alur cerita sejarah para korban, lewat buku Suara Perempuan Korban Tragedi ’65.

Sukatri adik seorang bekas anggota Partai Komunis Indonesia di Solo Jawa Tengah. Sejak Soeharto berkuasa, dia dan keluarganya seperti punya kutukan dan dosa turunan. Dia dan keluarganya masih dibenci para tetangga, sejak pemerintah Orde Baru mencap PKI berada dibalik peristiwa tragedi 30 September. Sukatri mengisahkan hal ini dalam sebuah acara diskusi buku, ‘Suara Perempuan Korban Tragedi 65 di Jakarta pada medio Juni lalu.


“Peristiwa 65 itu keluarga kami benar-benar menjadi keluarga yang menjadi sasaran dari masyarakat waktu itu. Memperlakukan kami seolah-olah kami ini orang yang paling bersalah. Mereka ikut membenci kami. Padahal mereka sebelumnya sungguh-sungguh keluarga kami menjadi panutan dalam tingkah laku, sikap sosial. Keluarga kami dipatuhi,” kata Katri.


Katri tak mau hal itu terus terjadi. Itu sebab dia giat bersuara di berbagai forum diskusi terkait peristiwa 65 untuk mengisahkan kembali apa yang ia alami. Untuk bisa berbagi pengalamannya, Katri dibantu sejumlah pegiat kemanusiaan, salah satunya Sejarawan Universitas Gadjah Mada Ita Nadia. Sebagai sejarawan, perhatian Ita berpusat pada peristiwa ’65. Bagi dia, cara ampuh untuk mengubah catatan sejarah peristiwa Gerakan 30 September yakni dengan menerbitkan buku kesaksian para korban. “Tujuannya adalah karena sejarah yang dikonstuksikan oleh pemerintah itu adalah sejarah pemerintah. Dan kita harus menulis sejarah sendiri melalui narasi dan tuturan korban 65.”


Ita ingin menafsir sejarah dari pengalaman perempuan yang menjadi korban bui maupun kekerasan seksual pada masa itu. Jujur dia mengaku tak pernah mendapatkan kisah semacam itu selama belajar di bangku sekolah. “Kejadian ’65 sama sekali tidak ada dalam buku sejarah kita. Kenapa ini bisa seperti ini? Karena memang pemerintahnya tidak punya kemauan politik untuk mengubah pendidikan kita menjadi sesuatu yang lebih jujur,” tukas Ita Nadia.


Penuturan sepuluh korban lantas dia sajikan dalam sebuah buku populer. Salah satunya berjudul “Suara Perempuan KorbanTragedi 65”.  Dari sepuluh tokoh yang ditulisnya, hanya empat yang berafiliasi atau terkait dengan Gerwani atau istri tokoh yang bekerja di PKI saat itu. “Artinya semua korban yang terkena musibah pada tahun 1965 adalah bukan semuanya orang PKI atau Gerwani dan ini tidak banyak orang yang tahu,” tegasnya. 


Ia mau buku yang dia terbitkan juga digunakan oleh para guru sejarah, agar para siswa mendapatkan informasi baru mengenai tragedi 65 sesungguhnya. Bahkan di kediamannya, Ita menyimpan ratusan kaset mengenai penuturan korban peristiwa ‘65. Ia dan suaminya – bekas tahanan Pulau Buru- mengumpulkan bukti sejarah itu dan membukanya secara bebas untuk didengarkan di perpustakaan. “Bagaimana narasi 65 itu bisa jadi narasi umum. Itu yang penting. Supaya orang tidak takut lagi bahwa PKI itu pembunuh. Itu yang harus dibongkar. Lewat caranya bukan dengan politik yang menakutkan. Tapi dengan cara yang menarik.”


Selain kampanye lewat buku pengakuan korban 65, Ita juga mengusulkan agar pemerintah membangun sebuah monumen peristiwa 65 yang berbeda dengan persepsi Soeharto, presiden Indonesia di masa Orde Baru. Dari monumen itu, anak muda di Indonesia bisa belajar sejarah melalui monumen dengan cara yang ringan dan menyenangkan.


“Tapi harus dibuat yang namanya monumen. Karena dari monumen murid SD akan tahu ini monument apa? Jangan monumen PKI 65, nggak. Peristiwa pembantaian Nasional tahun 1965. Jadi jangan memakai kata PKI dulu. Orang kemudian ingat. Dari situ ada memori kolektif, dari situ ada kesadaran kolektif, kalau begitu sejarah harus diubah.”


Ita monumen itu menjadi tandingan Museum Soeharto di Yogyakarta. Dengan monumen itu, Ita berharap bisa melawan fakta keliru rekayasa presiden yang sempat berkuasa 32 tahun di negeri ini.


Gagasan Ita Nadia disambut pegiat perempuan, Caroline Monteiro. Hanya saja dia sangsi pemerintah mau membangun monumen yang dikehendaki. Apalagi permintaan maaf pemerintah terhadap para korban tragedi 65 hingga kini tak pernah ada. “Untuk merubah itu memang perlu keinginan yang kuat oleh masyarakatnya dan generasi muda. Sekarang ini kan generasi muda lebih punya akses ke informasi dan pengetahuan. Jadi sebenarnya mereka relatif lebih beruntung dibanding di zamanku kuliah tahun 90-an. Jadi pergunakanlah informasi yang ada untuk mencari tahu sejarah kita karena banyak sekali yang kita tidak tahu.”


Menurut Olin, masyarakat Indonesia mestinya iri pada Timor Leste. Negara yang baru merdeka 12 tahun silam itu  telah membangun museum kemanusiaan, CAVR. Museum itu mengisahkan konflik berdarah antara Indonesia dengan Timor Leste. Juga Museum Resistência yang merekam sejarah kelam Timor Leste sebelum tahun ’99. Bagi Olin, keingintahuan masyarakat menjadi kunci untuk bisa mengubah sejarah kelam bangsa Indonesia. Tujuan tak lain, agar kejadian serupa tak terulang di masa datang.


Kembali ke Katri. Kini dia menjalani sisa masa senjanya di Tangerang. Ia meninggalkan Solo untuk hidup bersama anaknya.


“Saya tidak sempat dendam. Karena untuk memulihkan pikiran saya saja sudah matur nuwun. Sehingga saya ini tidak ada dendam pada si pemeriksa, nggak. Pikiran saya cuma bagaimana saya melakukan yang terbaik terutama kepada anak-anak saya. Supaya mereka nanti benar-benar menjadi saksi bahwa ibunya bukan seperti yang dikatakan seperti yang di televisi, di radio, seperti yang digembor-gemborkan orang yang membenci kami,” jelasnya menutup cerita.


Kembali ke cerita awal: Kisah Pembisuan Perempuan Korban 65


Editor: Irvan Imamsyah



  • tragedi 65
  • PKI
  • soeharto
  • sukatri
  • Toleransi
  • petatoleransi_09Jawa Tengah_merah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!