SAGA

Kisah Pembisuan Perempuan Korban 65

Sukatri (tengah), perempuan korban tragedi 65, bersama aktivis perempuan Caroline Monteiro (kanan) s

KBRPuluhan tahun pemerintah mengaburkan fakta tragedi 30 September 1965. Melalui film yang diputar setiap tahunnya oleh pemerintahan Orde Baru, Partai Komunis Indonesia (PKI) mencap sebagai biang kerok kejadian itu. Lepas 16 tahun pascareformasi, stigma buruk terhadap para korban tak juga pudar. Tapi beberapa dari korban mulai berani bersuara untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu. Seperti yang disampaikan Sukatri, korban dan juga saksi sejarah tragedi 65.

Film Gerakan 30 September (G 30 S) besutan sutradara Arifin C. Noer pada 1984 sempat jadi tontonan wajib rakyat saat Soeharto memerintah di Indonesia. Ini film, mengisahkan kebengisan pegiat dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap para jenderal di Lubang Buaya 1965 silam. Tujuannya untuk mendikte masyarakat agar bersedia berjamaah menuduh PKI sebagai kerok dari kekacauan politik di Indonesia, tempo itu.


Tapi setelah Soeharto lengser pada 1998 lalu, sejumlah aktivis dan korban berusaha mengubah catatan sejarah kelam itu. Seperti yang diupayakan Sejarawan Universitas Gadjah Mada Ita Nadia, lewat buku “Suara Perempuan KorbanTragedi 65”. Sementara, pegiat perempuan, Caroline Monteiro yang sempat ikut dalam diskusi buku tersebut mengaku merasa dibohongi setelah mendengar penuturan korban kekejaman tentara.


“Saya berasumsi bahwa film itu adalah bagian dari kuatnya pemerintah Indonesia pada saat itu. Awalnya kita dulu yakin bahwa itu PKI. Tapi setelah kita tahu dan ketemu korban, aktivis dan mereka cerita baru saya tahu bahwa ternyata itu bohong,” jelas pegiat yang kerap disapa Olin.


Sementara sejumlah korban yang tersangkut peristiwa pun sempat bersuara. Seperti Sukatri. Perempuan asal Jawa Tengah ini sempat menjadi tahanan politik pemerintah orde baru hanya karena menjadi adik dari seorang anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).


Katri masih ingat persis rasa sakit saat pipinya ditembak tentara. Saat itu, Oktober 1965, ia tengah hamil tua. Rombongan tentara yang dipimpin seorang letnan datang ke rumahnya dengan niat mencari kakaknya yang saat itu aktif di Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak berhasil menemukan sang kakak, para tentara mengobrak- abrik rumah dan merampas uang tabungan Katri. Saat itu nilainya setara satu juta rupiah di era 1965. Lalu karena Katri terus menagih uangnya dikembalikan, tentara menembakan timah panas ke pipinya.


“Langsung saya dikatakan ‘fitnah terhadap ABRI ya?’. Saya katakan belum ketemu uangnya saya disuruh komandannya cari. Lalu langsung tentara yang di luar nembak pipi (kanan) saya dalam jarak yang sangat dekat dengan pistolnya langsung nembus ke sini (pipi kiri),” papar Sukarti saat ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.


Nasib malang tak berhenti sampai di situ. Empat puluh hari setelah melahirkan, Katri ditangkap oleh tentara dan dijebloskan ke penjara. “Kami sejak tahun ‘65 ditahan sampai dua tahun. Kami dipulangkan tanpa diperiksa macam-macam. Soal saya ditembak juga tidak ditanyakan. Saya bebas. Anak saya sudah bisa jalan waktu itu,” kisahnya kepada KBR.


Sukatri adalah satu dari jutaan orang yang dipenjara karena bersinggungan atau dituduh PKI. Semua akibat Soeharto menuduh PKI berada di balik pembunuhan enam jenderal. Namun Ita Nadia, sejarawan Universitas Gajah Mada menyatakan isu yang dihembuskan Soeharto sebagai fitnah, lantaran sang jenderal berupaya menggulingkan Soekarno yang kala itu disokong PKI. Kebencian pada PKI pun lantang diserukan Soeharto dan tentara, agar rakyat turut membenci.


“Dimulai dari surat kabar Yudha. Harian resmi yang ditunjuk oleh Soeharto di saat harian lain dilarang. Saat itu berita tentang kudeta tidak ada. Yang disebut adalah perempuan yang dengan ganasnya merusak alat kelamin dan membunuh jenderal-jenderal. Itu disebarkan pada awal Oktober 1965. Berita itu membentuk emosi publik untuk mengatakan bahwa PKI dan Gerwani memang bejat dan harus dihilangkan. Orang itu dibangun dulu kebenciannya,” jelas Ita Nadia saat diskusi buku Suara Perempuan KorbanTragedi 65 di Jakarta beberapa waktu lalu.


Sejak kabar itu mencuat pada Oktober 65, ratusan ribu orang dibantai. Dibunuh karena disebut PKI atau hanya dikira PKI. Sementara jutaan simpatisan lainnya dipenjara, seperti Sukatri. Ia dijebloskan ke camp penyiksaan di Solo selama dua tahun. Lepas delapan bulan bebas, Sukatri kembali ditangkap dan dipenjara di Lampung, Jakarta lalu dipindahkan ke Semarang.


Dia kembali diseret ke penjara karena tentara gagal menangkap kakak dan suaminya. Sukatri sempat menceritakan sikap brutal tentara saat dirinya menjadi tahanan politik. “Begitu sampai disitu rambut ini digundul habis, ditelanjangi, dipukuli. Di situ sudah banyak teman-teman laki dan perempuan yang sudah tidak berdaya. Ditanya “kenal gak sama ini?”. Di situ saya sampai tidak bisa jalan. Satu-satunya yang tidak bisa bangun ya saya ini”


Sesungguhnya Katri tak pernah ikut organisasi politik, juga tak paham dengan situasi politik saat itu. “Saya pikir kalau kakak saya ketangkep seperti apa. Saya saja yang tidak tahu apa-apa begini. Pemeriksanya ada yang tinggi besar. Kalau mukul tuh pakai sandal yang besar. Bak buk. Pakai besi. Ini luka bekas pukulan besi (di bagian belakang) yang susah hilang. Celana saya dulu sampai tidak bisa dilepas karena lengket dengan luka itu. Ada yang bilang jangan minum banyak-banyak. Karena bisa mati kalau disentrum. Akhirnya saya cuma minum segelas.”


Setelah berpindah-pindah penjara, dia dibebaskan pulang. Tapi, Katri tak pernah tahu kesalahan yang dibuat sampai dirinya ditangkap dan disiksa.


Cerita tentang peristiwa ’65 sudah puluhan tahun dikaburkan oleh pemerintah Orde Baru. Sementara sejumlah pegiat dan akademisi berupaya menuliskan kembali sejarah peristiwa 65.




Editor: Irvan Imamsyah


  • korban 65
  • PKI
  • Sukarti
  • soeharto
  • Toleransi
  • petatoleransi_09Jawa Tengah_merah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!