SAGA

Kartini Penyelamat Mata Air Rembang (bagian 2)

Ibu-ibu petani Desa Tegaldowo dan Timbrangan bernyanyi (nembang) sambil memainkan alu (alat penumbuk
Ibu-ibu petani Desa Tegaldowo dan Timbrangan bernyanyi (nembang) sambil memainkan alu (alat penumbuk padi di dekat tenda perjuangan.(Foto: Aisyah Khairunnisa)

KBR - Warga penolak PT Semen Indonesia di Rembang tak ingin kehidupannya terganggu. Mereka sudah nyaman bertani. Namun yang mengusik mereka adalah ancaman hilangnya mata air bagi sawah, ternak, dan warga Rembang. Para petani menjelaskan peran penting mata air di kawasan karst Watu Putih terhadap kehidupan mereka.

“Logikanya begini. Sekarang kan sudah ada tambang kecil-kecilan. Sepuluh tambang apa berapa gitu. Lha itu saja airnya kalau direbus sudah agak putih, agak lengket di panci. Ya memang di kalo air disini mengandung zat kapur, tapi kan nggak terlalu kayak gini mbak.”


Sukinah, warga Desa Tegaldowo bercerita, buruknya kualitas sumber air yang mengalir ke rumahnya karena kegiatan tambang-tambang kapur skala kecil. Ke depan dia tak bisa membayangkan kualitas sumber air jika kawasan karst Watu Putih ludes dikepras untuk bahan baku pabrik semen. Sementara sumber mata air yang selama ini mereka gunakan berada diantara kawasan tambang dan pabrik seluas 900 hektar. Itu luas yang disetujui pemerintah Rembang dan Jawa Tengah.


“Nanti kalau ada pabrik semen itu bisa rusak semuanya. Ibu-ibu kan takut lahan pertanian habis, airnya juga habis. Dihabisin sama tambang, pabrik semen. Makanya ibu-ibu pada berontak,” jelas Sukinah.  


Ketakutan lain adalah maraknya prostitusi yang kerap jadi satelit di setiap kegiatan pertambangan di sana. Sukinah lantas bercerita soal penyebaran HIV/AIDS di Kecamatan Sale. Pikirnya memang sederhana, ada tambang pasti ada uang, plus gonta-ganti pasangan. “Setiap tambang pasti ada lokalisasi itu. Jadi warga di sini juga tidak mau nantinya ada penyakit seperti itu. Belum ada pabrik semen aja sekarang café sudah ada. Di Timbrangan sudah ada.”


Selain kerusakan sumber mata air, Sukinah juga khawatir kesehatan warga terganggu karena menghirup debu kapur dari kegiatan penambangan. Seperti yang sudah berlangsung belakangan ini, debu dari kegiatan penambangan kapur yang ada kini menutupi tanaman di lahan tani warga.


Menyikapi ketakutan warga, Sekretaris PT Semen Indonesia, Agung Wiharto menyatakan pabrik tidak akan membangun cerobong. Sebab debu di dalam pabrik sudah ditangkap dengan kain basah berlapis.


Cukup? Tidak, jelas Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Surono. Bekas Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMBG) ini yakin debu kapur akan tetap berterbangan dari tempat penambangan, maupun dari jalur distribusi sumber tambang ke pabrik. “Bukan cerobongnya. Tapi kapur yang sedang ditambang itu. Kan kapur berterbangan. Polusinya dari situ. Diangkut dari tempat penambangan ke pabrik semen. Kan di situ. Bukan dari cerobong pabriknya. Kalau dari cerobongnya mah memang tidak ada itu barang.”


Di tenda perjuangan, Sukinah dan rekan-rekan petani lainnya menggelar dzikir bersama. Dengan begitu, hati sedikit tentram untuk kemudian melanjutkan lagi kerja menentang pembangunan pabrik semen dan penambangan kapur. Menurut Sukinah, alasan warga menolak pabrik semen, tidaklah muluk. Warga hanya mau usaha tani langgeng. Cukup air, bisa panen tiga kali dalam setahun, dan hasilnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sesekali kalau ada lebih, Sukinah dan petani lain menabung dengan membeli perhiasan. Itu sebab, Sukinah yakin, jika pabrik Semen Indonesia jadi dibangun, mata air rusak dan petani sulit mendapatkan air. Ujungnya warga menganggur karena tak bisa bertani.


Tapi soal itu, PT Semen meminta warga tidak khawatir soal masa depannya. Sebab, perusahaan sudah menyiapkan sejumlah lowongan kerja untuk warga Rembang. Pada saat pembangunan proyek pabrik, mereka mengklaim bisa merekrut 3800 pekerja. Masa pembangunan menurut Agung Wiharto diperkirakan akan berlangsung selama satu hingga satu setengah tahun. Setelahnya pabrik semen akan dilengkapi teknologi modern yang hanya dioperasikan 400 – 450 tenaga kerja. Sementara perusahaan pemasok dan pembangun proyek juga diminta komitmennya untuk merekrut warga Rembang. “Komposisinya, 70 persen harus warga Rembang,” jelas Agung.


Mendengar hal itu, Nyono, Kepala Desa Timbrangan tak juga gembira. Dia justru ragu, warganya bisa bekerja dan diandalkan PT Semen Indonesia. Menurutnya, masa depan warga yang kebanyakan lulusan sekolah dasar akan hancur setelah pabrik berdiri.  “Semen bisa bekerja tapi kalau pas buat pabrik, kalau habis buat pabrik mau kerja apa. Itu kan semuanya mesin. Padahal masyarakat sini pendidikan cuma sampe SMA. Ada yang kuliah tapi bukan dari mesin, bukan mekanik.”


Sampai di situ, PT Semen Indonesia berkeras untuk segera bisa membangun pabriknya. Sejumlah izin prinsip dari Gubernur Jawa Tengah dan Bupati Rembang sudah dikantongi. Semua berkat Analisa Dampak Lingkungan Hidup kebenarannya diragukan warga. Amdal tak sesuai dengan aturan penerbitan, juga mengabaikan rencana tata ruang dan wilayah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Rembang.


Baca lanjutannya: Kartini Penyelamat Mata Air Rembang (bagian 3)


Editor: Irvan Imamsyah

  • semen
  • rembang
  • kendeng
  • petani
  • petatoleransi_09Jawa Tengah_biru
  • Toleransi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!