SAGA

[SAGA] Mengadili Anak Korban Pemerkosaan

[SAGA] Mengadili Anak Korban Pemerkosaan

KBR, Jakarta - Akhir Juli 2017, jadi hari yang mustahil dilupakan bagi perempuan berusia belasan, berinisial BL. Sebab, ia bakal menghadapi vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mendakwanya melakukan kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak. Jaksa pun sebelumnya menuntut dirinya hukuman kurungan 8,6 tahun penjara.

Sidang vonis itu semestinya digelar pukul 10.00 wib, tapi molor tiga jam. Di ruang sidang, tiga hakim tanpa atribut resmi kemudian duduk di hadapan BL. Sementara si bocah perempuan, mengenakan jilbab hitam yang menutupi separuh wajahnya.


Peradilan anak ini, penuh oleh pengunjung –yang terdiri dari keluarga BL dan pengacaranya. Selama 90 menit, secara bergantian Majelis Hakim membacakan putusannya. Dan… yang tak disangka, hakim menjatuhkan hukuman pembinaan selama 1,2 bulan di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani, Jakarta Timur.


"Selama dalam persidangan tekanan batin anak masih kelihatan, air mata anak kadang keluar secara spontan dengan raut wajah yang masih terlihat tertekan. Dari hal-hal itu terlihat bahwa anak bukanlah tipe anak yang berperilaku menyimpang, anak masih kelihatan sangat lugu dan polos," ujar Ketua Majelis Hakim Fahimah Basyir, saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (27/8/17).


Vonis yang melegakan ini, rupanya didasari pertimbangan bahwa BL tidak mengetahui kehamilannya. Usia pun masih katagori anak sehingga haknya seperti pendidikan dan kasih sayang harus dipenuhi. Itu mengapa, hakim menganggap hukuman penjara tak tepat dijatuhkan.


"Menimbang bahwa untuk memahami masalah anak harus memerhatikan kondisi anak yang berbeda dengan orang dewasa. Sifat sadar anak yang tiap pribadi berbeda dan masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa masih membutuhkan perhatian keluarga dan masyarakat. Menimbang bahwa terhadap anak yang melakukan tindak pidana dihukum penjara hanya ketika mendesak dan upaya terakhir," sambung Hakim Fatima Basyir.


Mendengar putusan hakim, ibu bersama pengacara BL langsung berpelukan. Tanda haru dan bahagia sebab BL tak harus mendekam dalam jeruji besi selama delapan tahun. Pengacara BL dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, Romi Leo Rinaldo, mengapresiasi keputusan hakim. Sebab, hakim bertindak adil.


"Kasus seperti ini bisa terjadi pada semua anak di Indonesia, problemnya adalah kemiskinan dan ketidaktahuan soal hak reproduksi yang bukan pada anak tetapi pada keluarga, dan itu semua diakomodir oleh hakim," jelas Romi Leo Rinaldo.


Persoalan yang membelit BL, bermula pada perkenalannya dengan seorang tetangga pria. Saat itu, kira-kira Juli 2016. BL yang masih berusia anak, diajak ke rumah teman si pria. Di sanalah, ia diperkosa. Tapi peristiwa jahanam itu tak diceritakannya pada siapapun, termasuk keluarganya. Takut dan malu, itulah yang dirasakan.


Selang tiga bulan, BL kerap mual dan pusing. Orangtuanya lantas memboyong ke Puskesmas Cikeusik. Dokter mendiagnosa BL sakit maag.


"Kemudian dia diantar ke puskesmas oleh ibunya kemudian dia hanya didiagnosa mengalami sakit maag. Nah akibatnya BL tidak mengerti kalau dia hamil dan tanda-tanda yang lain dia tidak rasakan. Keluarga dan majikan juga membenarkan soal tidak adanya tanda-tanda itu," tutur pengacara BL, Iit Rahmatin.


Karena yakin tak hamil, pada awal 2017, BL merantau ke Jakarta –menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Kondisi ekonomi keluarga yang sulit, membuatnya berhenti sekolah dan bekerja. Tapi karena usianya yang masih anak, agen penyalur memalsukan umurnya jadi 18 tahun.


Hingga suatu malam, pada Februari 2017, BL merasakan sakit di perut yang begitu hebat. BL mencoba buang air besar, tapi tak bisa. Sebuah gumpalang besar, lantas keluar.


"Tengah malam itu memang merasakan sakit yang berat terus akhirnya dia ingin buang air lalu ke kamar mandi. Nah pas di kamar mandi ternyata dia merasakan ada yang keluar benda tetapi menghalangi, dia sendiri tidak mengetahui kalau benda itu bayi karena sejak awal dia memang tidak mengetahui kalau dia hamil," sambung Iit Rahmatin.


Kejadian itu, tak diceritakannya pada siapapun, termasuk majikan. Sementara gumpalang itu ia bungkus dan dibuang ke tempat sampah.


Dua hari setelahnya, petugas kebersihan menemukan bungkusan tersebut dan melapor ke polisi. Tak lama, polisi mendatangi rumah majikannya. BL akhirnya ditangkap dan ditahan di Rutan Pondok Bambu dengan tuduhan penganiayaan terhadap anak yang menyebabkan kematian.


Ibu BL, Ratna, mengatakan anaknya jadi murung dan depresi sejak kejadian ini. Padahal dulu, supel meski agak pendiam. Malah, BL sempat jadi guru ngaji anak-anak di rumahnya setelah berhenti sekolah menengah kejuruan.


"Gimana yah, nggak pernah terbayang akan seperti ini. Saya nggak percaya kalau anak saya bisa kayak gitu," kata Ratna.


BL sesungguhnya adalah korban dari kejahatan berlapis, korban perkosaan dan korban pekerja anak. Maka, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, berharap peradilan melindungi mereka. Bukan sebaliknya, menjadikan mereka pesakitan.


"Ini terbukti seandainya kehamilan anak itu diketahui pada awal mungkin sudah lain masalahnya. Ini kami juga akan memberikan rekomendasi kepada IDI soal kehamilan anak agar hal serupa bisa diatasi sejak awal," tegas Komisioner KPAI, Siti Hikmawati.






Editor: Quinawaty


 

  • korban perkosaan
  • BL
  • pengadilan jakarta selatan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!