SAGA

Saat Museum Tak Ramah Difabel (Bagian-2)

"KBR - Keterbatasan sarana di Museum Nasional jadi kendala bagi para difabel untuk menyimak ragam peninggalan benda bersejarah. Tak ada bidang miring untuk pengunjung berkursi roda, ketiadaan huruf timbul, media suara, dan jumlah pemandu yang tak memadai."

Saat Museum Tak Ramah Difabel (Bagian-2)
Ilustrasi: Siswa difabel berkendara bus khusus untuk menuju Museum Nasional Jakarta.

KBR - Sinar matahari terasa menyengat kulit, saat Primaningrum mendampingi anaknya Balqis Biaqa Utami berkunjung ke Museum Nasional Jakarta. Semula Primaningrum riang, karena anaknya yang bakal mendapat beragam informasi dari seluruh benda peninggalan bersejarah di sana. Tapi tak lama  keriangan itu sirna, setelah tahu anaknya hanya bisa mendapatkan informasi yang ada pada ruang arca dan benda arkeologi lainnya. Menurutnya pengelolaan museum itu buruk karena tak ada sarana untuk anaknya yang difabel.

 “Untuk disabilitas yang masih kurang bidang miring (rem), jadi kesulitan untuk teman-teman yang menggunakan kursi roda tidak bisa, selain itu penulisan huruf timbul dari patung tidak ada, anak-anak hanya mendengarkan saja dari pemandu, tetapi kalau datang sendiri yang tidak ada pemandunya.”


Padahal menurut Prima, museum merupakan tempat yang ideal untuk belajar sejarah, untuk semua termasuk juga bagi anaknya yang difabel. “Kegiatan positif jadi anak bisa bersosialisasi dengan lingkungan luar, bahwa di luar rumah ada tempat wisata, salah satunya museum dan ini juga anak-anak bisa belajar dengan merabah Penting ya anak bisa belajar sejarah dan ekplorasi dan mengenal lingkungan luar dan mengenal apa saja tentang hal-hal masa lampau.”


Untung, beberapa benda bersejarah di Museum Nasional masih ada yang bisa diraba oleh para difabel, tak seperti pada sejumlah museum lainnya.  “Beberapa museum banyak yang tidak bisa di rabah oleh anak-anak, kalau di sini karena ada arca dan patung, tetapi di banyak museum biasanyakan banyak  diorama jadi tidak bisa berinteraksi  dan tidak ada keterangan huruf timbul.”


Apa yang disampaikan Primaningrum diamini pegiat penyandang disabilitas dari Mitra Netra Arya Indrawati. Dia kembali menjelaskan sederet kekurangan Museum Nasional dan juga museum lainnya. “Kekurangannya belum ada layanan khusus bagi penyandang disabilitas, disabilitas kan banyak, misalnya tadi waktu mau naik kan ada tangga, ada bidang miring tidak, untuk kursi roda lewat, kalau tidak ada dibuat, seperti tadi kan ada tangga bagi pengguna kursi roda kan tidak bisa lewat.”


Ketidaksiapan pengelola Museum Nasional yakni tidak adanya replika koleksi museum yang bisa disentuh. “Sediakan pemandu dan sarung tangan supaya kami bisa menyentuh, atau kalau tidak boleh disentuh sediakan replikanya, misalnya emas kalau tidak boleh disentuh sediakan replikanya setidaknya tuna netra bisa membanyangkan apa yang ada di museum ini.”


Catatan lain yang patut diperhatikan pengelola museum, yakni layanan pemandu yang hanya disediakan khusus pengunjung rombongan, tidak untuk pengunjung individu. “Seharusnya layanan khusus itu sama dengan layanan nornal museum, mau rombongan mau pribadi tetap harus ada, ketika ke museum mereka butuh sarung tangan, mau mereka datang rombongan sendiri seharusnya disediakan, seharusnya ini bisa menjadi contoh bagi pihak museum,” tambah Indrawati.


Semua kritik mengenai pelayanan museum, disadari pengelola museum. Juru Bicara Museum Nasional Dedah Rufaidah Sri Handari mengatakan saat ini pihaknya sedang mengkaji kebutuhan masyarakat termasuk di dalamnya difabel dan ditargetkan 2017 rampung. Hanya saja dengan anggaran yang cekak, perbaikan hanya bisa dilakukan secara bertahap. “Ke depannya, kita lagi bangun, kita juga meneliti agar ke depannya kita melakukan sesuatu, kajian ini adalah kajian yang berkaitan dengan hardware dan software, yang bisa mengakomodir seluruh masyarakat baik yang normal maupun keterbatasan.”


Maksudnya, penyajian media audio visual pada setiap koleksi museum untuk para penyandang cacat.  Termasuk juga penyediaan replikanya dan ruang khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus. “Nanti kami punya ruang kids corner, nanti kalau hal lainnya, bagaimana main angklung, bagaimana pakai pakaian tradisinonal, kita cari metode untuk itu dengan melakukan kajian, atau berkoordinasi dengan sekolah bagaimana yang ramah terhadap mereka,” papar Dedah.


Setelah semua perbaikan dilakukan, yang tersisa hanya satu hal, yakni penyediaan petugas dan pemandu yang paham dengan bahasa isyarat. “Kalau pemandu kalau menyampaikan bisa, justru yang ingin kami lakukan yang menghadapi seperti tuna rungu, mereka butuh bahasa khusus, harapan kami kami ingin belajar sehingga kita bisa langsung memberi tahu mereka,” tambahnya. 


Semua janji perbaikan harapannya segera bisa direalisasikan. Menurut Arya Indrawati, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif segera menyediakan sarana dan prasarana yang ramah untuk para difabel di seluruh museum Indonesia.  “Harapan mitra netra kepada pengelola tempat parawisata baik pemerintah maupun sektor swasta menyiapkan layanan khusus, seperti ini tidak boleh disentuh tetapikan mereka harus menyentuh.”


Untuk segala tuntutan itu pemerintah dan pengelola Museum Nasional mestinya menyimak semboyan yang digagas peneliti Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pendiri museum ini. “Ten Nutte van het Algemeen” yang artinya “Untuk Kepentingan Masyarakat Umum” tak terkecuali para difabel.


Editor: Irvan Imamsyah





  • museum
  • difabel
  • prasarana
  • siswa
  • Toleransi
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_merah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!