SAGA

Rindu pada Yadin Muhidin

"KBR - Bukan aktivis, bukan pula penjahat. Yadin Muhidin tetap diculik dan dihilangkan paksa pada 1998. Ibu Yadin sudah berhenti menunggu, karena sudah berpulang pada Juni lalu. Kini perjuangan mencari Yadin dilanjutkan oleh anaknya, Dinis."

Aisyah Khairunnisa

Perwakilan Gerakan Melawan Lupa, Poengky Indarti (Imparsial) memberi rekaman pernyataan Kivlan Zein
Perwakilan Gerakan Melawan Lupa, Poengky Indarti (Imparsial) memberi rekaman pernyataan Kivlan Zein pada Ketua Komisi Nasional HAM Hafidz Abbas. (Antara)

KBR - Bukan aktivis, bukan pula penjahat. Yadin Muhidin tetap diculik dan dihilangkan paksa pada 1998. Ibu Yadin sudah berhenti menunggu, karena sudah berpulang pada Juni lalu. Kini perjuangan mencari Yadin dilanjutkan oleh anaknya, Dinis.

“Nama saya Dinis. Lebih lengkapnya Novidaniar Dinis Puspahati Muhidin. Muhidin itu nama keluarga diambil dari nama ayah saya Yadin Muhidin, salah satu korban penculikan aktivis 98 yang belum kembali sampai saat ini”


Dinis memperkenalkan diri pada sebuah acara yang digelar LSM Imparsial. Pada acara yang berlangsung di sebuah hotel di kawasan Jalan Sahardjo, Dinis mengisahkan kembali apa yang terjadi pada ayahnya Yadin Muhidin pada 14 Mei 98. “Dulu dia lagi nonton kerusuhan di rumah. Di Sunter. Di Jakarta kan pembatas jalannya pakai pagar besi, dia berdiri di situ dia nonton kan banyak orang yang mecah-mecahin. Bokap (bapak) cuma nonton. Teman-temannya ada yang dapet springbed, roti. Di sana ada demo juga. Dia cuma nyeloteh “Turunkan Soeharto! Bakar gudang jeruk!”. Tahunya sebelahnya TNI. Diangkutlah dia ke truk. Ya namanya TNI saat itu diberi wewenang.”


Sang ayah, Yadin Muhidin, hanya pria biasa yang hampir saja lulus dari Akademi Pelayaran Maritim. Namun kelulusan itu batal, sebab Yadin diculik saat Jakarta dilanda kerusuhan Mei ‘98. “Terus saya tahu “diculik, diculik”. Tapi kalau diculik kan kalau di tv biasanya minta tebusan. Tapi ini kok gak balik-balik,” jelas Dinis yang kini sangat membenci militer. Bahkan saat berusia 9 tahun, Dinis berani menuding seorang anggota militer yang dia jumpai di bus Kopaja.


Danis rindu sang ayah. Ada banyak kenangan yang dia ingat saat ayahnya ada di rumahnya. Senda gurau penuh canda bersama sang ayah, lenyap sudah. “Saya ingin mengubah tanda tanya yang bawahnya ada titiknya, atasnya dibuang. Jadi titik aja. Hidup atau mati,” tegas perempuan yang baru saja lulus SMA. Dia hanya ingin kepastian. Sementara dari dokumentasi Imparsial, Juni lalu Danis sempat menyambangi Kejaksaan Agung. Meminta Jaksa Agung Basri Arief memanggil orang yang bertanggung jawab atas penghilangan ayahnya.


“Kenapa dia diculik? Dia bukan aktivis, hanya seorang ayah yang ingin membesarkan anaknya. Yang seharusnya saat ini ada di samping saya. Yang seharusnya bisa menandatangani rapor sekolah saya, mendampingi saya ketika saya mau masuk kuliah. Yang seharusnya saya tidak ketakutan saat saya harus mengisi formulir di belakang nama ayah saya, almarhum atau dibiarkan begitu saja. Karena saya tidak tahu ayah saya dimana. Saya hanya butuh kepastian saja.”


Perjuangan lantang Dinis untuk mencari tahu keberadaan ayahnya tak didukung pihak keluarga. Ibu Dinis yang kini telah tiada, pernah meminta Dinis untuk menerima saja nasib ayahnya. “Sampai ada saudara yang bilang “ngapain lo ngomong-ngomong kayak gitu? Lo pengen kayak bokap lo? Diculik terus mati?”


Anggota Komnas HAM, Zumrotin mengerti betul keresahan Dinis dan Fajar Merah (putra aktivis penyair Wiji Thukul). Itu sebab, lembaganya tak pernah jera mendesak pelaku untuk memberi kesaksian pada keluarga. “Kalau tidak ditemukan jenazahnya ada dua kemungkinan: hidup atau sudah meninggal. Tapi apapun kondisinya seharusnya penculik itu berkewajiban memberitahukan pada keluarga. Memang Wiji salah satu dari 14 yang hilang. Satu ditemukan Gilang namanya ditemukan di Ngawi. Karena penculikan itu sampai saat ini tidak ditemukan hidup atau matinya maka pelaku harus tetap bertanggung jawab.”

 

Kesaksian pelaku tak pernah ada. Asa Dinis dan Fajar kini mengambang. Sesekali diterbangkan dengan penuh harap, sesekali dijatuhkan dalam kecewa. Seperti saat Kivlan Zein, bekas Kepala Staf Kostrad mengaku tahu bekeradaan belasan aktivis yang diculik Tim Mawar untuk dibunuh dan kemudian dikuburkan. Namun Kivlan tak pernah mau memaparkan kesaksiannya di Komnas HAM. Padahal mereka hanya butuh kepastian.


“Tapi susah banget kalau menganggap dia hidup. Kayak ada semangat tersendiri ayo dong pulang. Tapi kalau kita mikir dia udah mati, gue berdoa salat, gue mau ngedoain dia tapi gak ada kontak batin, kayak dia tuh belum meninggal loh. Gue masih yakin selama belum ada jasadnya.”


Dinis tak diam. Dia terus mencari dan menunggu Yadin Muhidin pulang. Sementara di lokasi pinggiran Jakarta, ada ayah mencari anaknya yang dihilangkan paksa. 

Baca juga: Menanti pulang, Anakku yang Dihilangkan

Editor: Irvan Imamsyah

  • yadin
  • dinis
  • penculikan
  • reformasi
  • Toleransi
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_merah

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!