CERITA

Ketika Jemaat Ahmadiyah Kembali Terusir dari Rumah Ibadahnya

"Negosiasi selama 30 menit itu berjalan buntu. Jemaat Ahmadiyah akhirnya shalat Jumat di sebuah lapangan dekat SMUN 8 Jakarta Selatan dengan beralaskan koran."

Ketika Jemaat Ahmadiyah Kembali Terusir dari Rumah Ibadahnya
Salah satu jemaat Ahmadiyah sholat Jumat beralaskan koran di depan SMUN 8 Jaksel. Foto: Yudi Rachman/KBR

KBR, Jakarta - Siang itu, seperti biasanya, belasan jemaat Ahmadiyah hendak menunaikan shalat Jumat di Masjid An-Nur di Bukit Duri, Jakarta Selatan. Tapi, begitu sampai, langkah mereka dihentikan puluhan warga yang berjejer di Jalan Tanjakan Batu.

Warga memalang jalan menuju masjid dengan bambu.

 

"Mohon maaf ya pak, bulan puasa ini. Kalau mau sholat di masjid sana. Mohon maaf kita tidak mengizinkan," ucap salah satu warga.


Jemaat Ahmadiyah hanya minta agar dibiarkan ibadah di masjid yang telah mereka gunakan selama puluhan tahun. Tapi warga tak menggubrisnya. Warga justru menyuruh jemaat Ahmadiyah, sholat di masjid setempat yang jaraknya 40 meter.

 

“Kalau bapak tidak bisa menghargai warga kami. Kami tidak bisa menghargai bapak. Kalau bapak tidak menghargai warga kami, lebih baik bapak pergi. Sama saja bapak menghina. Bapak bukan warga sini. Lebih baik bapak pergi,” timpal warga lain.

 

Negosiasi selama 30 menit itu berjalan buntu. Jemaat Ahmadiyah akhirnya shalat Jumat di sebuah lapangan dekat SMUN 8 Jakarta Selatan dengan beralaskan koran.

 

Penolakan warga Tanjakan Batu, RW 08, Bukit Duri, Jakarta Selatan, dipicu sikap Wali Kota Jakarta Selatan yang menyegel masjid itu dua hari sebelumnya.


Ketua RW setempat, Zaitun Ashari mengaku, warga tak mempersoalkan jika jemaat Ahmadiyah ingin beribadah. Asal, mengantongi izin.  Sebab kata dia, sejak tahun 1970an, bangunan itu adalah tempat tinggal, bukan masjid.

 

"Awal didirikan sebagai rumah pribadi, bukan musholla. Kalau mau shalat silakan, tapi izin dulu," sambung Zaitun.

 


Provokasi FPI


Hubungan jemaat Ahmadiyah dengan warga Tanjakan Batu, sesungguhnya terjalin baik. Bahkan, sejak tahun 1970an, warga tak pernah melarang jemaat Ahmadiyah untuk sholat di sana. 


Malah menurut jemaat Ahmadiyah, Aryudi Prastowo, masjid An-Nur kerap dijadikan tempat penampungan warga ketika banjir datang.


“Kalau warga di sini hubungannya cukup baik membaur. Bahkan saat tahun 2013 kita membantu warga. Saat banjir besar kita bantu. Kita bikin dapur umum, kita masak-masak ada 1000 porsi. Kita tampung 150 orang pengungsi di sini. Hubungan dengan masayrakat kita jalan terus. Qurban dan zakat juga kita bagi-bagi," ungkap Aryudi.


Tapi pasca penyegelan, beberapa warga yang ditemui KBR, takut berkomentar.

 

Salah satu warga, Anto.


"Mereka sholat di situ sudah lama, sudah puluhan tahun. Tapi kan, ada SKB tiga menteri," ucap Anto.


Sekarang, keharmonisan warga Tanjakan Batu dengan jemaat Ahmadiyah, berubah menjadi kecurigaan dan benci.


Hal itu diduga karena campur tangan kelompok FPI. Menurut jemaah Ahmadiyah, pada aksi penolakan Ahmadiyah beberapa pekan lalu, ada sekelompok orang yang menggunakan atribut FPI. Tak hanya itu, ulama setempat diduga ikut menyebarkan kebencian. Itu terbukti pada khotbah sholat Jumat di masjid warga yang mengobarkan anti-Ahmadiyah.



Dasar Penyegelan Masjid Ahmadiyah


Sementara itu, juru bicara Pemkot Jakarta Selatan, Leonardo mengaku, penyegelan masjid Ahmadiyah didasari aturan yang sah yaitu Perda DKI Jakarta No.7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung dan Perda tahun 2014 tentang Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta serta Peraturan Gubernur soal izin bangunan.


Pasalnya, jauh sebelum disegel, pihaknya telah melayangkan teguran hingga dua kali terkait penyelenggaraan ruang dan bangunan. Pemkot juga berdalih, Masjid An-Nur telah menyalahi izin.


“Kalau rumah biasa jadi rumah peribadatan itu salah. Saya rasa penyegelan itu dibuat ada dasarnya jadi tidak mungkin disegel begitu saja. Sebelumnya ada Surat Peringatan (SP) 1 dan SP 2, baru penyegelan," imbuhnya.

 

Menanggapi sikap Pemkot Jakarta Selatan, Anggota Komite Hukum Jemaah Ahmadiyah Indonesia, Andang Budi Satria bakal mengajukan izin dan beraudiensi dengan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Tujuannya agar diizinkan beribadah di Bukit Duri.


“Kami sudah berusaha melalui jalur yang ada melalui wali kota dan lurahnya. Kemungkinan kita juga bisa ke Gubernur Ahok. Kalau kita lihat ini ada dua dasar hukum. Pemerintah daerah berdasarkan Pergub mengenai pengunaan dan izin bangunan. Sedangkan di sisi lain ada dua peraturan menteri berkaitan dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama," timpal Andang.

 

Tapi, izin mendirikan masjid bagi jemaat Ahmadiyah, tidaklah mudah. Dan kini, jemaat Ahmadiyah harus kembali terusir dari rumah ibadahnya.




Editor: Quinawaty Pasaribu 

  • Toleransi
  • Ahmadiyah
  • Bukit Duri
  • Masjid An-Nur
  • Penyegelan Masjid

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!