Tuba Bin Abdurrahim (kiri) dan Bedjo Untung (kanan) di perumahan pegawai Lapas Pemuda Tangerang. Foto: Eli Kamilah/KBR.

SAGA

Tapak Tilas Kamp Kerja Paksa di Tangerang

Jumat 02 Jun 2017, 09.30 WIB

KBR, Jakarta - Tangerang adalah kota metropolitan. Di sini perumahan mewah, mal, dan perkantoran, tak sulit ditemui. Kota ini pun seakan tak pernah tidur. Tapi, setengah abad silam, tak jauh dari kota –yakni di Desa Babakan, Cikokol, ada jejak perbudakan terhadap para tahanan politik yang dituduh tersangkut dengan peristiwa G/30S.

KBR bersama Tuba Bin Abdurrahim dan Bedjo Untung, mendatangi daerah itu pada pertengahan April lalu. Dua lelaki sepuh itu adalah bekas tapol yang sempat mencicipi pahitnya diperlakukan layaknya budak dalam kamp. 

Dengan mobil pick-up Daihatsu buatan 1990-an, kami mengitari daerah Babakan. Bedjo lantas menunjuk Lapas Pemuda Tangerang. Dulu, bangunan itu merupakan kamp tahanan politik. Kata Bedjo, ada 2000-an tapol yang dijebloskan ke sana sepanjang 1965-1979. Ia sendiri dimasukkan ke kamp pada 1973 dan bebas enam tahun setelahnya.

Di kamp itu, para tapol lalu dipaksa membabat hutan untuk disulap menjadi lahan pertanian. Jadilah kebun jagung, kedelai, dan kandang kerbau. “Saya masih ingat ini Tangerang City dulunya kandang kerbau,” kenang Bedjo. 

Kami pun memutar menuju perumahan pegawai Lapas Pemuda Tangerang. Di waktu itu, lanjut Bedjo, perumahan tersebut adalah lahan kosong. Saban pagi, para tapol digiring berjalan kaki untuk berkumpul. Lagi-lagi, mereka diperintah menggarap lahan itu. “Ini dulunya tandus, kemudian jadi subur. Beras melimpah tapi kami dijatah. Jadi untuk bertahan hidup kami menangkap ular atau bekicot,” sambung Bedjo.  

Lahan pertanian itu sebetulnya diperuntukkan untuk memberi makan ribuan tapol. Hanya, ujung-ujungnya malah untuk memakmurkan kantong-kantong tentara. Padahal sekali panen, satu hektar sawah bisa menghasilkan tiga ton beras, namun tak secuilpun untuk memenuhi makanan para tapol.  

Tuba Bin Abdurahman, juga bekas tapol di kamp Tangerang. Dia masuk kamp pada 1966-1970. Lalu dipindah ke Salemba selama empat tahun. Kembali lagi ke kamp selang setahun. Selama di sana, ia dipekerjakan sebagai Kepala Dapur Umum. Tuba masih ingat, tapol hanya diberi jatah makan sepiring nasi. Itu pun dibagi untuk siang dan sore. Sementara lauknya, hanya tempe yang direbus bumbu kuning. 

“Satu tapol dapat jatah beras 325 gram. Itu untuk makan dua kali. Lauknya tempe rebus digodok kunyit. Sayurnya Kangkung yang ditanam sendiri,” cerita Tuba. 

Dia juga ingat, di area kamp tersebut ada dua blok penjara; B dan C. Masing-masing blok berisi kamar-kamar kecil yang jumlahnya mencapai 150. Satu kamar menampung tiga orang. Tapi, ada juga kamar agak besar yang bisa menampung 40 sampai 80 tapol. Nama kamarnya; Sandiwara dan Sekolah. 

Tuba ditempatkan di Blok B. Kamarnya diisi tiga orang. Layaknya sel penjara, tak ada alas tidur. Kalaupun ada tikar, itu adalah kiriman keluarga. Dan dalam kondisi lapar, mereka tetap dipaksa kerja. Pernah saking laparnya, Tuba dan ribuan tapol lainnya terpaksa makan bangkai kerbau. 

“Dulu ada proyek mengurus kerbau, terus ada yang mati. Kata tentara tembak saja, kemudian dikubur. Nah malam-malam kami bongkar, dagingnya diangkat, dimasak, dan dibagikan. Kerbau satu untuk 1600an tapol,” kenang Tuba. 

Selama di kamp, para tapol dituntut patuh dan tak boleh melawan. Sekali saja melanggar aturan, bukan hanya satu yang dihukum, tapi semua tapol. Pernah, kata Tuba, ada salah satu tapol mengirim surat kepada keluarganya untuk mengirimkan berbagai jenis makanan. Karena ada larangan tak boleh memegang pensil, kertas ataupun alat tajam lainnya, waktu besuk dihentikan selama tiga bulan. 

Tuba dan tiga temannya lantas nekat. Demi bertahan hidup, dia mencuri beras dan panganan lainnya untuk tambahan makan para tapol. “Jadi kalau panen, saya membantu teman-teman. Supaya fisiknya kuat. Air cuci beras kita godok dan bagikan dari teman-teman yang sakit.” Sial, akibat mencuri beras, Tuba akhirnya dipindah ke penjara Salemba, Jakarta.

Pada 1971, Tuba dipindah lagi ke kamp Tangerang dengan alasan tenaganya dibutuhkan. Meskipun itu tak lama. Sebab pada 1973 dia dikembalikan ke Salemba, sebelum akhirnya dipindah ke Pulau Buru pada tahun yang sama. Barulah pada 1978, Tuba dibebaskan.

“Kemungkinan setelah diseleksi saya masuk golongan C. Kalau golongan A itu terlibat langsung, B tidak telibat langsung tapi ada di jajaran kepemimpinan. Golongan C anggota yang aktif. Nah, golongan C ini yang susah. Untuk diadili tidak ada fakta, untuk dibebaskan pemerintah takut. Sulit diidentifikasikan,” terang Tuba. 

Bedjo Untung dijebloskan ke kamp karena aktif mengikuti pergerakan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) –organisasi underbow PKI. Sementara Tuba karena tergabung dalam Pemuda Rakyat –organisasi yang juga berafiliasi dengan PKI. Keduanya dimasukkan begitu saja ke kamp tanpa proses pengadilan. Hingga bebas, toh status mereka ET atau Eks Tapol. 

Sementara itu, Bedjo yang kini berusia 69 tahun khawatir bukti sejarah penyiksaan akan turut menghilang digerus zaman. Padahal semestinya, generasi muda tahu bahwa ada ribuan manusia yang dibui tanpa tanpa diadili selama bertahun-tahun. “Kalau kamp kerja paksa dihilangkan, generasi saat ini tidak akan tahu. Untung saja saya masih hidup. Jadi bisa cerita. hahaa..” kata Bedjo tertawa. 

Bedjo dan Tuba berharap Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera mengidentifikasi bukti-bukti pelanggaran HAM masa lalu tersebut. “Mestinya Komnas HAM bisa mendeteksi paling tidak pertanda, bahwa di sini dulu ada kamp konsentrasi.”

Tapi, bagaimana sebetulnya kisah Tuba, pria asal Brebes ini sampai bisa dikerangkeng dalam kamp? Sebab pria sepuh ini takkan lupa pada penyiksaan selama di kamp; digebuk rotan dan dihantam bogem tentara.  

Tuba Bin Abdurrahim, bekas tahanan politik peristiwa 1965/1966 yang dituduh terlibat pembantaian tujuh jenderal AD. Foto: Eli Kamilah/KBR.

Ketika menceritakan ulang pertemuan terakhir dengan sang ibu, Tuba tertunduk. Wajahnya muram. Sesekali dia menunjukkan pada saya ibu jarinya yang menghitam. Kata Tuba, itu akibat ulah tentara saat menginterogasinya sembari menyiksa. “Setiap ada pemeriksaan pasti pulangnya tidak pernah normal karena siksaan. Terutama banyak yang disilet sret sret sret. Darah banyak. Saya ditanya nama, alamat, ditangkap dimana, anggota mana, saat tanggal 30 ada di mana,” ungkap Tuba. 

Saat diinterogasi, Tuba diboyong ke Kodim Utara depan Stasiun Jakarta Kota. Sekarang tempat itu berubah menjadi Taman Fatahillah. Di Kodim, Tuba mendekam selama 20 hari. Dia ditanyai tentang keberadaannya saat 30 September 1965. Pertanyaan itu pasti disertai pukulan, sundutan rokok, dan gebukan stik drum. Tapi Tuba terus mengelak. “Saya tidak mau mengakui, karena percuma saya mengaku.” 

Tuba lantas dijebloskan ke kamp tahanan politik di Tangerang tanpa proses pengadilan pada 1966. “Kemungkinan setelah diseleksi, saya masuk golongan C. Kalau golongan A terlibat langsung, B tidak telibat langsung tapi ada di jajaran kepemimpinan. Golongan C anggota yang aktif. Nah, golongan C ini yang susah. Untuk diadili tidak ada fakta, untuk dibebaskan pemerintah takut. Sulit diidentifikasikan.”

Pada 1970, Tuba sempat dipindah ke Penjara Salemba Jakarta. Tapi kemudian dipindah lagi ke kamp Tangerang dengan alasan tenaganya dibutuhkan. Meskipun itu tak lama. Sebab pada 1973 dia dikembalikan ke Salemba, sebelum akhirnya dipindah ke Pulau Buru pada tahun yang sama. Barulah pada 1978, Tuba dibebaskan.

Sudah setengah abad lebih berlalu. Namun kenangan pahit mengenai tuduhan sebagai dalang pembunuhan tujuh jenderal, pemberontok, hingga dibui, mustahil dilupakan. Pasca bebas pun, Tuba masih terseok-seok menjalani hidupnya. Bahkan, masyarakat sempat tak menerimanya karena berstatus Eks-Tapol. 

Tuba dan korban lainnya kini berjuang menuntut keadilan. Mereka meminta negara minta maaf dan merehabilitasi para korban. Sebab mereka sama sekali tak terkait dengan kudeta ataupun pembunuhan tujuh jenderal.  

	<td>Eli Kamilah&nbsp;</td>
</tr>

<tr>
	<td class="current">Editor:</td>

	<td>Quinawaty&nbsp;</td>
</tr>
Reporter: