CERITA

Jemi Nasution, Polisi Sungai dari Sekolah Rakyat Ancol

Jemi Nasution, Polisi Sungai dari Sekolah Rakyat Ancol

KBR, Jakarta - Siang terik di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Seorang bocah sedang memperhatikan sungai di depan sekolahnya.

"Nama saya Jemi Nasution, umur saya 14 tahun, sekolah asal saya di sekolah Rakyat Ancol 2. Kegiatan saya adalah polisi sungai," ucapnya ketika ditemui KBR di sekolahnya.


Sungai di hadapan Jemi tampak hijau kehitaman. Ada sedikit sampah plastik terbawa arus.


"Sungai itu bukan tempat sampah. Sebaiknya tidak membuang sampah di situ. Kan sudah disediakan bak sampah. Di sekitar kita di kampung-kampung. Tapi warga tidak mendengar. Warga bilangnya buru-buru. Mereka asal buang. Orang yang buang sampah biasanya bukan warga sini, tapi orang yang lewat naik motor. Mereka langsung lempar, lempar, lempar. Begitu," kata Jemi.


Jemi, sudah menjadi polisi sungai sejak kelas 1 SMP. 


"Waktu lagi libur hari Minggu, saya main getek di sungai itu. Pernah saya berdua ikut orang yang ambil sampah. Om ikut om, om ikut om. Ya capek sih capek. Terus akhirnya saya diseberangkan. Lalu saya punya ide bikin kayak om itu saja,"  ungkapnya.


Pengalaman tahun lalu menyusuri sungai itu, menuntunnya menjadi sekarang.

 

Tiap kali terjun ke sungai, Jemi selalu ditemani empat teman yang semuanya laki-laki. Aksi mereka baru dimulai ketika lepas pulang sekolah.


Sebagai polisi sungai, Jemi dan kawannya wajib menegur warga yang membuang sampah seenaknya. Kadang mereka membawa tongkat untuk mengambil sampah. Mereka mengawasi sungai itu dari depan sekolah hingga dekat pasar.


"Tidak boleh membuang sampah ke sungai. Kalau membuang sampah akan mengakibatkan banjir. Seperti banjir bandang tiba-tiba. Di sini pernah banjir juga. Meluap sampah semua. Naik semua. Tercemar. Tingginya sepaha saya, waktu menyeberang lebih tinggi. Kalau di jalan hanya becek saja," imbuh Jemi.


Setahun sudah Jemi mengawasi sungai itu, dan hasilnya? Warga makin sadar untuk tak lagi membuang sampah sembarangan. Tapi tak jarang pula, ia dan gengnya diabaikan warga.


"Ya bagaimana orang warga tidak membaca, padahal warga sudah dikasih poster oleh petugas. Tapi mereka tetap saja buang sampah. Terus begitu," kata Jemi.



Jemi Raih Penghargaan Ashoka


Meski begitu, usaha Jemi berbuah lain.


Jemi diganjar penghargaan sebagai pembaharu muda dari lembaga Ashoka. Sebuah penghargaan untuk mendukung anak muda berusia 12-25 tahun yang telah mengembangkan gagasan sosial bagi masyarakat dan menunjukkan dampak perubahan sosial.


Eveline, Direktur Ashoka Indonesia. "Anak sekecil itu, badannya kecil, umurnya juga masih muda. Tapi dia punya pemikiran menggunakan itu untuk memberdayakan teman-temannya. Okelah kita melihat orang lain punya masalah. Nah dia punya ide, dan dia bisa menjalankan ide itu untuk mewujudkan yang jadi empati dia," ungkap Eveline.


Guru Jemi, Fadzil Noor, mengatakan ide muridnya itu adalah bekal untuk masa depannya.


"Memang harapannya, murid-murid ini punya kebanggan. Karena mereka tinggal di daerah marjinal, bahkan orangtua malah menyudutkan si anak, atau mengecilkan cita-cita si anak. Mereka butuh kebanggan. Kalau mereka punya, cita-cita si anak juga akan lebih besar lagi ke depannya," kata Fadzil Noor.


Kembali ke sungai.


Siang itu, beruntung tidak ada warga yang melempar sampah. Jemi bercerita, program ini akan berlangsung setahun.


"Capek tapi enak menjalaninya. Biar sungai indah tanpa sampah," tambah Jemi.


 Meski senang mendapat penghargaan. Tapi dia lebih senang kalau sungainya kembali bersih. Seperti saat dia kecil dulu.


"Saya dari kecil di sini. Dulu sungainya lebih bersih, tidak hijau seperti sekarang. Dulu bersih, airnya jernih. Biar sungainya tidak kotor. Biar bisa indah dilihatnya. Bisa untuk dipakai main.," tutupnya.




Editor: Quinawaty Pasaribu 

  • Sekolah Rakyat Ancol
  • Jemi Nasution
  • Jakarta Utara
  • Young Change Maker Ashoka Indonesia

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!