SAGA

Kisah Pilu Bocah Korban Kekerasan Seksual (2)

"Menurut Helga, pengakuan anak korban kekerasan seksual kerap diremehkan. Anak seolah dianggap tidak memiliki hak asasi. Sebagian orang tua menganggap luka hati anak, akan hilang dengan sendirinya. Padahal trauma akan menghantuinya seumur hidup."

Aisyah Khairunnisa

Foto: Ais/KBR
Foto: Ais/KBR

Dari Depresi sampai Bunuh Diri

Pengalaman pahit Helga Worotitjan saat menjadi korban kekerasan seksual menginspirasinya mendirikan lembaga Inspirasi Indonesia pada 2011 bersama dua rekannya. Lembaga ini kerap mendampingi anak-anak korban kejahatan seksual. Sampai saat ini Inspirasi Indonesia sudah mendampingi puluhan anak korban kekerasan seksual.

Menurut Helga, pengakuan anak korban kekerasan seksual kerap diremehkan. Anak seolah dianggap tidak memiliki hak asasi. Sebagian orang tua  menganggap luka hati anak, akan hilang dengan sendirinya. Padahal trauma akan menghantuinya seumur hidup.

“Jangan terlalu meremehkan dengan bilang dia akan lupa dengan sendirinya ketika sudah dewasa Jangan lupa. Hal itu dia simpan di otak. Ketika besar dia sudah mulai berhadapan dengan masalah berelasi, masalah berelasi, tekanan hidup, itu respon dia terhadap tekanan hidupnya akan sangat dipengaruhi oleh memori waktu kecil dia mengalami kekerasan,’” kata Helga.

Bahkan kata Helga rekannya yang jadi korban kekerasan seksual sampai depresi dan bunuh diri. “Ya kalau kita pernah mengalami itu saya sangat imbau untuk terapi ya. Konseling. Kalau memang tahu dari kecil ya dari kecil, kalau memang baru aware-nya sudah besar ya mau tidak mau terapi saja. Harus terapi. Kita menghindari. Kalau orang bilang gak mungkinlah sampai bunuh diri. Ya itu ada kejadiannya masih kecil, bunuh dirinya pas dewasa kok. Sudah sukses lagi,”ungkapnya.

Pemerhati anak Seto Mulyadi membenarkan apa yang disampaikan Helga. Bahkan jika tidak segera dipulihkan, anak korban kekerasan seksual bisa menjadi pelaku kekerasan seksual di masa datang. Oleh sebab itu Kak Seto menyarankan korban sebaiknya ditangani terapis atau psikolog. Peran orang tua juga tak kalah penting saat mendampingi sang anak.

“Mohon orang tua bisa menerima anak ini tanpa kesan menyudutkan. Mengungkit-ungkit lagi, menumbuhkan rasa percaya diri, dan memberikan perhatian jauh lebih serius. Kunci utamanya adalah tetap keluarga,’”tegas Kak Seto.

Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang tiga tahun terakhir, terjadi  45 kasus kekerasan seksual pada anak saban bulannya. Sementara data Komnas Perlindungan Anak  mencatat, sampai tahun lalu sekitar 817 kasus kekerasan seksual terjadi pada anak. Komnas PA mengasumsikan setiap bulannya sekitar 80 anak mengalami kejahatan seksual dari kaum pedofil.  Mirisnya, lebih dari 50% pelaku orang terdekat atau dikenal oleh anak.

Untuk menghindari predator yang mengincar anak, Kak Seto memberikan saran.  “Saran yang paling penting adalah tingkatkan komunikasi yang efektif dengan putra putri. Pulang sekolah jangan hanya ditanya prestasi akademik saja. Dapat nilai berapa, kamu nakal gak, rangking berapa? Itu kadang2 menjadi perhatian ibu. Tapi pertanyaan yang menyangkut perasaan anak. Senang tidak di sekolah? Senang tidak di sekolah? Bagaimana perasaanmu hari ini. Kalau anak tiba2 diam segera ada pendekatan yang sangat akrab dan penuh perhatian. Gak usah diinterogasi dengan ayo ngaku. Tapi melalui dongeng, melalui bermain, anak2 bisa digali, sehingga berani mengungkapkan pengalaman negatifnya,” katanya.

Sementara pemerhati anak lainnya,  Rooslien Ilyas menyarankan orang tua tak sungkan memberikan  pendidikan seks kepada anak sejak dini.  “Jadi misalnya ada boneka kita berikan baju. Ini pakai celana pakai miniset. Kenapa? Karena bagian itu tidak boleh disentuh. Kalau itu disentuh harus gimana? Tendang. Kalau tidak bisa tendang gimana? Cakar. Gigit. Teriak. Itu semua saya ajarkan dan ada simulasinya. Setelah itu lari ke gurunya, ngadu,” sarannya.

Editor: Taufik Wijaya
  • kekerasan seksual
  • KPAI
  • JIS
  • Komnas Anak
  • Toleransi
  • 06DKI Jakarta
  • petatoleransi
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_merah
  • Anak
  • seksualitas

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!