CERITA

Yang Muda Melawan Kekerasan Seksual

kekeraasan seksual

Saatul Jamaliyah atau yang akrab dipanggil Liya belum bisa melupakan peristiwa kelam tiga tahun lalu. Ia mengalami pelecehan seksual di angkutan umum. Ketika itu ia hendak kembali ke pesantren usai liburan berakhir.

“Saya kan tidak tahu angkot itu yang plat kuning. Belum pengalaman waktu itu. Saya diajak sama supir itu. Sebelum masuk ke mobilnya, saya tanya dulu kok tak ada penumpangnya? Tidak apa-apa nanti cari penumpang sambil jalan, kata supir,” kenang Liya.  

“Saya mau duduk di belakang tidak diperbolehkan, disuruh duduk di depan itu kemudian saya diraba-raba. Saya kan risih jadi saya mencoba bergeser. Tapi semakin ke pundak saya. Pintunya saya dobrak tidak bisa, kan dikunci. Sampai akhirnya di pasar, saya coba teriak-teriak, pintunya kudobrak akhirnya bisa kebuka. Lalu saya lari ke dalam pasar.”

Sejak kejadian itu, Liya sadar pelecehan seksual bisa menimpa siapa pun. Karenanya mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Makdum Ibrahim, Tuban, Jawa Timur ini aktif di berbagai kegiatan kampanye penyadaran perempuan melawan kekerasan seksual.

Kini, sudah hampir setahun Liya aktif di Koalisi Perempuan Ronggolawe Tuban. Di situ ia banyak menggelar kegiatan seperti diskusi, membatik juga keterampilan yang membuat perempuan mandiri. 

“Saya aktif di kampus juga kampung juga. Karena kita kan di kampung, beda dengan universitas lain yang mudah mengakses segala informasi. Di perkuliahan itu aku pernah membuat program kelas seperti sekolah SMU. Di mana pendekatan emosional sudah saya lakukan. Dan itu hanya bertahan untuk beberap bulan saja “

Lembaga yang menaungi Liya serta kawan-kawannya belakangan diundang ke Konferensi Perempuan Muda se-Jawa di Jakarta. Konferensi diikuti ratusan mahasiswa dari 25 universitas dan 13 komunitas juga perorangan.

“Harapan saya, saya bisa transformasi terkait isu yang ada. Di desa saya itu banyak sekali kekerasan seksual. Misalnya saja kakak ipar menghamili kakak iparnya. Dan banyak lainnya. Jadi saya ingin mengentas itu. Tapi saya juga belum punya kesempatan dan belum ada kekuatan,” tambah Liya.

Koordinator Konferensi Perempuan Muda se-Jawa, Dian Novita mengatakan, konferensi digelar untuk mempertemukan berbagai jaringan dan komunitas. Dengan begitu mereka bisa memunculkan berbagai terobosan untuk melawan kekerasan seksual.

“Sangat mengagumkan sekali ya Konferensi Perempuan Muda se-Jawa ini. Karena dari pagi sampai sore, teman-teman masih sangat semangat membicarakan isu-isu kekerasan seksual. Bahkan mereka sudah merumuskan sendiri bentuk-bentuk perlawanannya seperti apa. Ada yang ingin kampanye bersama. Melihat teman-teman muda ini optimis lagi untuk perjuangan kita melawan kekerasan seksual,” papar Dian.

Terobosan yang dilahirkan salah satu universitas menurut Dian, nantinya akan diadopsi oleh universitas lain. Seperti yang dilakoni Sintia Aulia Rahman, mahasiswi UIN Jakarta. Ia dan teman-temannya menggelar pelatihan dasar untuk mahasiswa Fakultas Hukum UIN Jakarta. Dengan begitu mereka bisa mengadvokasi teman-teman korban kekerasan seksual.

“Laki-laki pun harus. Karena siapa lagi pelakukanya kalau bukan laki-laki. Tapi kita tidak menyalahkan seluruhnya kepada laki-laki. Karena sistem patriarki ini yang sudah terkontruksi di negara kita. Sehingga mengkondisikan sebagai pelaku. Jadi basic training dulu. Karena itu sudah berhasil kami rasakan di UIN. Bahkan sampai pada tatanan kebijakan rektorat. Jadi tinggal disahkan,” ungkap Sintia.

Hasilnya kata Sintia, pihak kampus menjadi lebih ramah terhadap perspektif perempuan. Bahkan dalam waktu dekat pihak kampus bakal mengesahkan pembentukan Unit Kegiatan Mahasiswa khusus advokasi kasus kekerasan seksual.

Sementara Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Diponegoro Semarang, menawarkan pelatihan bela diri dasar untuk mengantisipasi kekerasan seksual.

Sedangkan Universitas Indonesia (UI) menawarkan penyebaran buku saku berisi penyadaran terhadap kesetaraan gender.

Dan, Komunitas Bhinneka Ceria Purwokerto mengadakan acara Kamisan. Yakni hari khusus aksi teatrikal, panggung seni dan tarian yang mengangkat isu perempuan.

Menurut Fitria Utami dari Koalisi Perempuan Ronggolawe Tuban, semua metode dapat diaplikasikan sesuai kondisi kampus atau lingkungan masing-masing.

“Misalkan kok yang radio, oh di tempat saya bisa karena ada jurusan Teknik Informatika yang ada radionya. Tapi kalau tidak ada bisa pakai metode yang lain. Kalau di kami, kalau kita masuk ke kampus maka melalui pendekatan dengan rektoratnya. Yang kita buat sekolah feminis sampai dua angkatan juga masuknya ke kampus dulu. Untuk menggait minat mahasiswa tidak bisa dari luar. Tapi kita juga harus masuk ke kampus.”

Editor: Antonius Eko

 

  • Kekerasan Seksual
  • Perempuan
  • Toleransi
  • petatoleransi_10Jawa Timur_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!