CERITA

Paralegal dari Desa Kuanek, Ketika Laki-laki Jadi Pembela Perempuan

Paralegal dari Desa Kuanek, Ketika Laki-laki Jadi Pembela Perempuan

KBR, NTT – Laki-laki dianggap sebagai pihak yang kerap jadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Di Desa Kuanek, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Laki-laki memilih untuk memperjuangkan keadilan terhadap perempuan.

Di desa ini, mayoritas penduduknya adalah perempuan. Nyaris semuanya bekerja sebagai petani. Secara geografis, desa ini terletak dekat dengan Timor Leste. Tak heran kalau ada banyak pernikahan yang terjadi antara perempuan NTT dengan laki-laki asal Timor Leste.


Di sini masih berlaku budaya belis atau mahar jika ingin menikah dengan perempuan setempat. Kepala Desa Kuanek, Andreas Elu berkata, adat ini tak murah.


“Belis yang harus dibawa, kalau mau melamar itu bawa uang 2 juta. Saat lamar harus dibawa. Kalau ditinggalkan susah, karena dari nenek moyang sudah ada. Kalau dikurangi, bisa sakit. Jadi, tidak boleh lebih, tidak boleh kurang – tapi tidak boleh dihilangkan,” tutur Andreas.


Salah satu barang yang kerap dijadikan bagian mahar adalah muti yaitu kalung dari batu khas Sumba. Harga satu kalung bisa mencapai Rp 2 juta. Muti juga bisa dijadikan warisan turun temurun.


Mahalnya belis kerap memicu pertengkaran suami istri, kata Ketua Paralegal Desa Kuanek, Kanisius Nino.


“Kadang ada kata ‘saya sudah ambil belis kamu, jadi saya boleh berbuat apa pun’. Itu dari pelaku,” jelas Kanisius.


Sementara si perempuan juga bisa ‘membalas’. “Kamu kawin saja, tak tahu ambil belis” – begitu kalimat yang seringkali terlontar dari pihak perempuan. “Itu yang jadi keributan.”


Kalau sudah begini, kepala adat yang biasanya diandalkan untuk memediasi persoalan. Tapi solusi yang diberikan kadang justru merugikan pihak perempuan.


Dari situlah Kanisius memulai terbentuknya paralegal di tingkat desa. Paralegal adalah pendamping yang melakukan aktivitas hukum selayaknya pengacara.


“Kita sebagai kaum laki-laki juga bagian dari perempuan. Karena kita laki-laki dilahirkan perempuan,” jelasnya.


Dari situ mulai berkembang gagasan dari sesama laki-laki untuk memberikan pandangan supaya tak berbuat hal-hal yang tidak sesuai norma sosial dan agama. “Kita terlibat langsung.”



Kasus KDRT


Di desa ini, sejak 2014 silam, ada 11 paralegal. Kini yang tersisa adalah 10 orang – separuh di antaranya laki-laki.


Dalam setahun belakangan, sudah ada 9 kasus yang ditangani. Sebagian besar soal KDRT – kekerasan dalam rumah tangga.


Kanisius masih ingat salah satu kasus KDRT terberat yang ia pernah tangani.


“Pelakunya sudah terjerat hukum dan dipenjara 4,6 tahun penjara. Korbannya cacat seumur hidup.”


“Kasus yang menimpa korban... saya sebagai kaum laki-laki, itu memang keterlaluan,” kata Kanisius seraya menangis.


Menurut dia, tugas paralegal tak mudah.


“Jiwa kami terancam.” Kata dia, tak jarang keluarga pelaku menunggu pembalasan begitu keluar dari penjara.


Sebagai paralegal pun, mereka harus merogoh kantong sendiri. Tak jarang, pekerjaan sebagai paralegal menuntut warga, yang juga petani, untuk meninggalkan ladang mereka.


“Kami meninggalkan kesibukan kami. Kami mendamping korban lewat ketulusan hati.”


Karena ada kebutuhan dana, lantas Kepala Desa Kuanek, Andreas Elu belakangan mengalokasikan Dana Desa sebesar Rp 750,000.


“Satu kali kunjungan itu Rp 750 ribu untuk satu dusun. Ini bukan membayar tapi melancarkan kegiatan paralegal dan pendampingan.”


Meski masih tertatih-tatih, paralegal Desa Kuanik tak patah arah mendampingi para korban.


Mereka yakin, mulai ada perubahan yang terjadi.


“Sudah ada perubahan. Ada keluarga yang datang mengadu kepada kami dan kami tangani kasusnya. Terakhir, suami menyadari perbuatan yang tidak sesuai norma sosial dan agama. Akhirnya si suami sadar dan tidak berbuat yang tidak disukai.”



Editor: Citra Dyah Prastuti.

 

  • paralegal
  • desa kuanek
  • NTT
  • KDRT
  • korban KDRT

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!