RUANG PUBLIK

Kenaikan Harga Rokok Jangan Tanggung

"Kenaikan harga rokok dengan hanya 10,4 persen dibanding tahun 2016 atau sekitar 30 perak per batang, dianggap tak mampu mengerem konsumsi rokok yang bertujuan melindungi kesehatan publik"

Kenaikan Harga Rokok Jangan Tanggung
foto: https://c2.staticflickr.com/8/7637/16830798521_5d637af508_b.jpg

Harga rokok di Indonesia yang paling murah menurut menteri keuangan Indonesia Rp. 400,00 dan yang termahal RP. 1.215,00 per batang sehingga dengan uang saku mereka anak TK dan SD  dapat membeli rokok. 

Kenaikan harga rokok dengan peningkatan cukai hanya 10,4 persen dibanding tahun 2016 atau sekitar 30 perak per batang, dianggap tak mampu mengerem konsumsi rokok yang bertujuan melindungi kesehatan publik. Dosen dan peneliti dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan harga rokok termahal berdasarkan aturan saat ini hanya Rp 1.215 dan yang termurah sekitar Rp 400. “Data dari Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa sebagian besar dari pangsa pasar, justru dimiliki oleh rokok yang termahal. Pangsa pasarnya 89 untuk rokok kretek mesin 1 ditambah putih mesin 1 dan kretek tangan 1.” Dengan demikian kata Abdillah, kenaikan cukai Rp 30 rupiah tahun ini tidak akan berpengaruh banyak pada pengurangan konsumsi. 

Kenaikan cukai 10,4 persen membuat harga rokok termurah masih di bawah 500 rupiah per batang. “Kalau kita memberi uang saku sebesar 10 ribu untuk anak-anak, bisa digunakan untuk membeli dua bungkus rokok, yaitu satu bungkus rokok harga rata-rata dan  delapan batang rokok harga termurah,” tambah Abdillah. Akibatnya yang bisa menjangkau rokok bukan hanya anak SMA atau SMP, tapi SD hingga TK. Lebih parah lagi menurut Abdillah, akses untu membeli rokok sangat mudah karena tidak ada aturan yang membatasi penjualan rokok. “Anak-anak bisa membeli di warung, minimarket modern dan pedagang asongan, bisa dalam bentuk ketengan pula,” lanjutnya.  Kondisi ini menyokong usia mulai merokok makin muda. Periode tahun 1995-2013 jumlah perokok 10-14 tahun meningkat dari 9 persen menjadi 17 persen. 

Harga yang murah juga membuat keterjangkauan rokok di keluarga miskin meningkat. Kepala Unit Komunikasi dan Pengelolaan Pengetahuan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Ruddy Gobel menyebutkan jumlah perokok dari kalangan keluarga miskin, dalam enam – tujuh tahun terakhir meningkat dari 30 persen menjadi 43 persen, dan jumlah pengeluaran juga meningkat. “Pengeluaran untuk rokok juga meningkat, yaitu 11,79 persen, sebaliknya pada kelompok menengah ke atas dengan asumsi mereka punya akses informasi dan pendidikan lebih baik justru menurun,” jelasnya. Ruddy khawatir jika kenaikan harga rokok yang tidak signifikan justru akan membuat kelompok miskin menambah pengeluaran untuk rokok dengan mengurangi pengeluaran kebutuhan yang lain. Kenaikan harga rokok harus cukup besar. Misalnya, menjadi sebesar Rp 50.000 yang membuat rokok menjadi tidak terbeli oleh kelompok miskin. 

Abdillah juga menyebut angka Rp 50 ribu per bungkus adalah harga yang cukup pas untuk membuat orang mengurungkan diri membeli rokok secara perlahan. Namun demikian, kata Abdillah, kenaikan tersebut harus dialokasikan untuk cukai. “Jadi cukai itu harus ditingkatkan dengan menaikan harga, bukan dengan menambah volume produksi yang membuat peningkatan konsumsi. Semua konstitusi menghendaki konsumsi rokok turun.” 

Editor:

Paul M Nuh

  • ctfk

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!