RUANG PUBLIK

Enam Tahun, Jumlah Perokok Keluarga Miskin Naik 13 Persen

"“Miskin yang royal, miskin tapi mau menyumbang untuk kelompok orang terkaya di Indonesia, beli rokok dia membuat orang terkaya makin kaya, dan dia sendiri makin miskin,” jelas Thabrany."

Tim Redaksi KBR

Enam Tahun, Jumlah Perokok Keluarga Miskin Naik 13 Persen

Jumlah perokok dari kalangan keluarga miskin, dalam enam – tujuh tahun terakhir meningkat dari 30 persen menjadi 43 persen. Kepala Unit Komunikasi dan Pengelolaan Pengetahuan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Ruddy Gobel mengatakan, selain jumlah perokok yang meningkat, jumlah pengeluaran juga meningkat. “Pengeluaran untuk rokok juga meningkat, yaitu  11,79 persen, sebaliknya pada kelompok menengah ke atas dengan asumsi mereka punya akses informasi dan pendidikan lebih baik justru menurun,” jelasnya. Penurunan juga terjadi prevalensi perokok dari kalangan menegah ke atas, meski angkanya tipis. Catatan TNP2K, pada tahun 2001 sebesar 29,6 persen menjadi 29,4 persen pada 2013. 

Kelompok miskin yaitu sekitar 10,64 persen dari populasi atau sekitar 27 juta orang, memiliki pengeluaran terbesar untuk beras yaitu mencapai sekitar 20 persen, dan pengeluaran terbesar kedua setelah beras adalah rokok. Kondisi berlaku di tingkat nasional, baik di perkotaan maupun pedesaaan. “Jadi memang beban pengeluaran untuk rokok ini besar banget, bandingkan dengan pengeluaran untuk telur hanya 3,6 persen, pendidikan 2,4 persen, kesehatan 0,9 persen. “Saya menggunakan data terbaru yaitu Maret 2017, dari sekitar Rp 380 ribu pengeluaran perkapita di perkotaan, pengeluaran untuk rokok sebesar Rp 45 ribu,” jelas Ruddy.

Prof Hasbullah Thabrany dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia mengatakan, rokok telah melebar dari masalah kesehatan ke masalah sosial. “Orang kalau sudah nyandu susah keluar, kita sering dengar orang bilang mulut asem dan sebagainya sehingga beli rokok lagi, padahal kebutuhan lainnya juga besar. Dia susah merelakan rokoknya untuk beli telur, biaya pendidikan.” Thabrani menyebut Indonesia dengan penduduk miskin terbesar yang mengkonsumsi rokok. “Miskin yang royal, miskin tapi mau menyumbang untuk kelompok orang terkaya di Indonesia, beli rokok dia membuat orang terkaya makin kaya, dan dia sendiri makin miskin,” tambah Thabrany.  

  • ctf

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!