OPINI

Jihad

Bom gereja Oikumene, Samarinda.


Pelaku peledakan bom di Gereja Oikumene di Samarinda sudah ditangkap polisi. Akibat perbuatannya, sejumlah korban terluka, termasuk balita. Pelaku melempar bom molotov ke gereja sekitar pukul 10.30 pagi di gereja tersebut. Menurut polisi, ini aksi teror pertama di Kota Samarinda. Pelaku ditangkap dalam kondisi luka, mengenakan kaos bertuliskan ‘Jihad Way of Life’.

Polisi sudah menyebut pelaku bom di Gereja Samarinda ini adalah bekas narapidana teror bom Puspitek beberapa waktu lalu. Pelaku sudah dipidana selama 3,5 tahun, lantas bebas bersyarat berkat remisi pada 2014. Presiden Joko Widodo langsung meminta Kepolisian untuk mengusut kasus tersebut.

Dalam bahasa Arab, ‘jihad’ artinya bersungguh-sungguh. Sungguh ironis ketika kata tersebut justru muncul dalam bentuk serangan terhadap ibadah yang dilakukan umat agama lain. Terlebih, yang ikut jatuh jadi korban adalah balita. Dengan serangkaian kasus bom yang pernah terjadi sebelumnya di tanah air, kata ‘jihad’ jadi seperti erat dengan teror atau perbedaan yang digarisbawahi.

Karena itu tak bosan-bosannya kita mengingatkan: esensi dari Indonesia adalah keberagaman. Bhinneka Tunggal Ika bukanlah slogan kosong. Ia seharusnya jadi panduan dalam menjalankan hidup bersama dengan latar belakang setiap orang yang berbeda-beda. Ketika perbedaan terus menerus digarisbawahi, maka tidak ada lagi penghormatan terhadap keberagaman. Dan itu bisa menggerogoti kita sebagai bangsa.

Ketika terjadi serangan teror seperti yang dialami Samarinda, sangat penting untuk tetap tenang dan berkepala dingin. Kita dorong polisi untuk mengusut kasus ini dengan seadil-adilnya, supaya pelaku teror bisa dihukum tegas. Sembari itu, kita lakukan terus PR kita untuk menjaga kewarasan dan merawat keberagaman kita. 

  • teror bom gereja oikumene
  • Samarinda
  • jihad
  • bom puspitek

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!