OPINI

Kurban untuk Lombok

Seorang ibu menggendong anaknya di tenda pengungsian gempa lombok

Kumandang takbir terdengar sayup-sayup di sejumlah tenda pengungsian para korban gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tenda itu menjadi tempat bernaung sekaligus tempat beribadah bagi warga, karena banyak tempat ibadah hancur setelah beberapa gempa mengguncang Pulau Seribu Masjid itu.

Bencana gempa tak mengurangi semangat warga untuk berhari raya. Meski dalam suasana duka dan serba keterbatasan.

Setiap bencana datang, salah satu yang kerap menjadi sorotan adalah bagaimana asupan gizi bagi para korban, khususnya balita dan anak-anak. Beruntung, masyarakat Indonesia dikenal sebagai warga yang ringan tangan dalam membantu warga yang ditimpa kemalangan. Banyak bantuan datang, meski kadang disertai pertanyaan mengenai akuntabilitas dan pemerataan distribusi.

Termasuk di momen Iduladha ini, banyak pihak berinisiatif untuk menyalurkan daging kurban ke para pengungsi korban gempa. Dari masjid di Denpasar Bali, masjid Agung Al-Azhar di Jakarta, hingga lembaga kemanusiaan seperti Dompet Duafa, ACT dan lain-lain. Semua turun berniat menyalurkan hewan kurban ke Lombok. Demi solidaritas kemanusiaan, khususnya untuk menambah asupan gizi para pengungsi.

Bencana memang tak perlu ditanggapi sebagai ajang kampanye di tahun politik. Juga menyerang orang lain untuk kepentingan kekuasaan. Karena, bencana merupakan ujian bagi umat manusia untuk mengasah kepekaan sosial, belajar berderma dan berkorban bagi orang lain yang dirundung duka. Berkurban adalah belajar ihlas dalam hidup bersosial.

Ketika Ismail merelakan diri menjadi kurban untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dari situ umat manusia dituntut belajar menahan ego dan merelakan dirinya demi ketenangan batin, kepercayaannya pada Tuhan, dan bagi kemanusiaan.

Selamat Berkurban.

  • idul adha
  • gempa lombok
  • kurban

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!