OPINI_ANDA

Teladan Gus Mus

Gus Mus. (Foto: Antara)

Ketika posisi jadi rebutan, Kiai Mustofa Bisri atau biasa dipanggil Gus Mus memilih menghindarinya dan menolak jabatan. Saat sidang Rais Syuriah organisasi Islam terbesar yang terdiri atas sembilan kiai sepuh anggota ahlul halli wal aqdi (AHWA) memilihnya, Gus Mus bersikukuh menolak menjadi Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dalam surat penolakannya Gus Mus menyatakan penolakan ini demi kemasalahatan jamaah.

Gus Mus menjelaskan penolakan ini untuk mengayomi kedua pihak yang berseteru, bersaing untuk meraih posisi. Pasalnya muktamar sejak awal diwarnai kisruh karena masing-masing kelompok menginginkan jagonya menjadi Rais Aam. Di forum yang kisruh itulah Gus Mus bahkan sempat menangis. Sebagai penjabat Rais Aam, Gus Mus bahkan rela mencium kaki-kaki peserta muktamar lantaran prihatin dengan kisruh rebutan jabatan itu. Tangisan dan kerendahan hati Gus Mus itulah yang akhirnya meredakan panasnya muktamar.

Dan ricuh itu sepertinya tak hendak usai bahkan ketika muktamar ke-33 Nahdlatul menetapkan Ma'ruf Amin sebagai Rais Aam Syuriah dan Said Aqil Siroj sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU melalui mekanisme pemungutan suara. Kelompok yang tak puas kini berencana mengajukan gugatan ke pengadilan, mempersoalkan hasil muktamar. Kerendahhatian Gus Mus sepertinya tak jadi perhatian mereka.

Kita berharap para ulama itu sudi meneladani Gus Mus. Sikap rendah hati adalah barang langka. Sikut kiri kanan, hasut ke sana ke mari demi jabatan semata. Padahal jabatan adalah amanah. Tanggung jawab berat ada di pundak. Bukan hanya ketika menjabat, bahkan kelak ketika tak lagi memegang posisi itu. Berilah waktu pada Ma’ruf Amin dan Said Aqil untuk membuktikan bahwa mereka sosok yang mampu memegang amanah para nahdliyin. 

  • Gus Mus
  • Muktamar NU
  • Nahdlatul Ulama
  • Kiai Mustofa Bisri

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!