OPINI

Hapus Pasal 156 KUHP

Ahok tiba di LP Cipinang.

Hingga semalam nama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi topik kicauan  terpopuler di dunia. Panggilan gubernur nonaktif itu di media sosial Twitter dikicaukan hingga ratusan ribu kali. Jumlah kicauannya jauh melampaui nama-nama yang populer di dunia. Putusan majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara dua tahun penjara menjadi pemicu ramainya komentar itu.

Vonis bersalah itu tak hanya jadi perbincangan di dalam negeri, tapi hingga ke mancanegara. Sebagian besar menyesalkan keputusan itu. Seperti membuktikan bagaimana tekanan massa berbulan-bulan ini efektif menuai hasil. Hakim memilih menjatuhkan hukuman jauh dari tuntutan jaksa satu tahun penjara dengan percobaan dua tahun.


Ahok bukan yang pertama. Hampir dua bulan silam Pengadilan Jakarta Timur juga menjatuhkan vonis bersalah pada tiga petinggi eks Gafatar. Mereka divonis kurungan bervariasi  tiga hingga  lima  tahun penjara atas dakwaan penodaan agama.


Ahok juga tiga petinggi eks Gafatar itu adalah korban. Pasca keluarnya aturan pada 1965, tercatat sudah 97 kasus penodaan agama. Mayoritas sebanyak 89 kasus terjadi pascareformasi 98. LBH Jakarta menilai, pasal 156a di Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP ini bermasalah. Bahkan bertentangan dengan prinsip HAM. Pasal ini bisa sangat subyektif, bisa menjadikan siapa pun sebagai korban, tergantung bagaimana dan siapa yang menafsirkan. Tafsir yang berbeda bisa serta merta dianggap menodai agama tertentu.


Sudah sepatutnya aturan semacam itu dihapus, agar tak ada lagi jatuh korban lantaran berbeda pemahaman dengan mereka yang dianggap mayoritas atau bersuara lebih keras.

 

  • Ahok
  • vonis penodaan agama
  • Pasal 156a KUHP

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!