EDITORIAL

Mengakui Kekejaman Masa Lalu

Korban '65. (Antara)

Sudah dua kali Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan membuat pernyataan kontroversi dan akhirnya malah berkelit dengan menyebut media memplesetkan ucapannya. 

Pernyataan yang pertama; soal pemerintah tak akan meminta maaf atas peristiwa pembantaian massal 1965/1966. Kedua; pengingkaran terhadap ratusan kuburan massal tragedi tersebut. Ia bahkan menyebut tak ada bukti sedikit pun yang mengarah ke sana. Tapi tak lama, Luhut menarik ucapannya. Ia berkata, tak akan segan-segan meminta maaf pada korban maupun keluarga tragedi 65/66. Dia pun menantang pihak-pihak yang memiliki data kuburan massal menyerahkan pada kementeriannya untuk mengecek langsung ke lokasi.

Tapi rupanya, para korban dan lembaga pendamping tak begitu saja tenang dengan kelitan Luhut itu --utamanya tentang kuburan massal. Mereka yang sudah bertahun-tahun menyimpan rapi dimana saja lokasi kuburan massal tersebut, sudah barang tentu gerah. Mungkin itu adalah cara agar Luhut tak melulu mengumbar ucapan sembrono yang seakan menafikan peristiwa berdarah itu.

Bicara tentang data kuburan massal, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sesungguhnya sudah menyelidikinya. Jika Luhut berpikir jernih, tak usah menantang para lembaga itu menyerahkan data mereka. Tinggal panggil saja Komnas HAM. Toh itu juga lembaga sah negara. Sementara data lain bisa menjadi pelengkap. 

Perjalanan tragedi 1965/1966, sudah lebih 50 tahun berlalu. Ada banyak luka di sana. Menkopolhukkam tak semestinya memperkeruh kondisi dengan ucapan yang tak perlu. Kini, jalan untuk menuntaskannya sedang terbuka pasca digelar simposium nasional pekan lalu. Di sana, mayoritas suara korban dan penyintas hanya satu; pemerintah mengakui kekejian itu!  

  • komnas ham
  • tragedi65
  • kuburan masal
  • luhut binsar pandjaitan
  • simposium nasional

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!