EDITORIAL

Hutan Adat

Ilustrasi. (Antara)
Ilustrasi. (Antara)

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) mencatat meningkatnya konflik lahan yang melibatkan masyarakat adat. Lonjakan kasusnya mencapai lebih 100 persen. Bila pada tahun 2013 pengaduan kasus agraria mencapai 1213 berkas, setahun kemudian meningkat menjadi 2483 kasus. Diperkirakan kasusnya akan terus meningkat.

Di antara penyebab peningkatan adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang memasukkan hampir 32 ribu desa dalam kawasan hutan negara. Padahal mayoritas warga itu menggantungkan hidupnya dari sumberdaya hutan. Cepat atau lambat konflik pasti akan terjadi. Karena itu Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah membuat kebijakan dan rumusan untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut dengan lebih komprehensif.

Sejak dua tahun silam sebetulnya Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan gugatan uji materi yang dilakukan masyarakat adat. MK memberi pengakuan pada hutan adat. Sebelumnya dalam UU Kehutanan dikatakan “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” MK lantas menghapus kata negara dalam pasal 1 angka 6 UU Kehutanan. Kata MK, masyarakat adat berhak membuka hutan ulayatnya untuk digunakan bagi pemenuhan kebutuhan mereka.

Pasca putusan itu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) membuat peta wilayah adat. Kemarin peta wilayah adat telah diserahkan pada pemerintah. Sepatutnya itu dijadikan rujukan dalam membuat kebijakan terkait warga adat. Demi mencegah terus meningkatnya konflik agraria antara negara, swasta dan masyarakat adat.


  • hutan adat
  • UU kehutanan
  • Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!