EDITORIAL

Berkejaran dengan Waktu soal Karhutla

"Alarm bahaya bagi warga Riau."

KBR

Asap karhutla di Kotawaringin Kalimantan Tengah. (KBR/Alex)
Asap karhutla di Kotawaringin Kalimantan Tengah. (KBR/Alex)

Kita berkejaran dengan waktu. BMKG mencatat ada 21 titik api yang tersebar di Riau kemarin. Yang paling parah di meranti dan Bengkalis. Angka ini melonjak tajam mengingat sebelumnya ada tempat yang tidak ada titik panasnya.


Persis sepekan lalu, Pemerintah Riau menyatakan status darurat siaga kebakaran hutan dan lahan. Titik api justru terus bermunculan. Di Desa Sungai Gajah, Kecamatan Kubu, Rokan Hilir misalnya, hutan produksi seluas 20 hektar ludes terbakar. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengatakan, penanganan karhutla masih bisa dilakukan oleh pemerintah daerah. BNPB siap mendampingi. Salah satu bentuknya adalah dengan mengirimkan dua helikopter pengebom air ke Riau. Ini memang sesuatu yang diminta Pemda setempat, supaya pemadaman karhutla tepat sasaran.


Rakyat sudah bergerak, menggugat pemerintah pusat dan daerah lewat gugatan warga negara. Gugatan itu didaftarkan Kamis pekan lalu di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Sementara Pemerintah pusat, Jumat lalu, masih sebatas menyusun standar pencegahan kebakaran, termasuk konsep peringatan dini. Menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, pencegahan kebakaran lebih murah ketimbang pemadaman kebakaran.


Itu betul. Tapi ketika bicara ‘pencegahan lebih baik daripada pengobatan’ ketika titik api di Riau sudah bertambah itu mengherankan. Apalagi bulan Maret-April ini sudah sejak lama diwaspadai bakal rawan karhutla lagi di Riau. Waktu tak bisa diputar balik. Seharusnya pencegahan sudah dibicarakan sejak hujan turun di Riau dan menghilangkan kabut asap yang menyiksa warganya. Kalau sekarang baru bicara pencegahan, maka ini alarm bahaya bagi warga Riau.



  • kebakaran hutan dan lahan
  • karhutla
  • titik api

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!