OPINI

Kekerasan dan Konstruksi Keagamaan Pasca-Peristiwa 1965

Kekerasan dan Konstruksi Keagamaan Pasca-Peristiwa 1965

Oleh Singgih Nugroho *)

DI tahun 2001-2005, saya studi mengenai praktek hubungan antaragama di satu desa, sebut saja Selogede, sebuah desa kecil di di area perkebunan karet, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Di tengah jalan saya harus mengubah topik studi setelah mengetahui sejarah lokal perkembangan agama resmi di desa ini yang memiliki keterkaitan dengan Peristiwa 1965.

Bila kita berkunjung ke desa itu dengan mudah kita bisa menjumpai pelbagai tempat peribadatan agama. Sepanjang jalan utama desa terdapat dua gedung Gereja Kristen Jawa (GKJ). Di sejumlah dusun yang terletak agak pedalaman, seperti Ngampel, juga ada lagi GKJ. 

Sejumlah gereja di desa ini rata-rata dibangun di akhir 1960-an dan awal 1970-an. Selain gereja, juga bisa jumpai masjid, mushola dan vihara dengan usia lebih muda. Keseluruhan di desa ini ada tiga gereja, tujuh masjid, sembilan mushola dan empat vihara.

Berbagai tempat ibadat di desa itu menjadi penanda penting tentang variasi tiga agama, Islam sebagai agama dengan pemeluk terbanyak, lalu Protestan, Budha dan Katolik. Perkebunan dan gereja merupakan dua penanda penting dinamika sejarah sosial politik dan sejarah pertumbuhan agama formal di desa menjelang dan setelah 1965.

Variasi agama di desa ini terkait sejarah sosial politik desa menjelang dan sesudah Peristiwa 1965. Area perkebunan menjadi penanda penting orientasi politik warga desa tahun 1955-1965. Di Pemilu 1955 PKI menempati urutan pertama, disusul PNI, NU dan Masyumi. Sehingga desa ini dikenal luas sebagai "basis" PKI tingkat kecamatan.

Kemenangan PKI itu setidaknya dipengaruhi tiga faktor: pengaruh kampanye politik PKI tentang land reform tanah milik perkebunan; pengaruh elit desa yang bergabung dengan PPDI (Paguyuban Pamong Desa Indonesia) sejak 1954; dan pengaruh Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang telah merintis karyanya di Selogede sejak 1947.

Pada masa itu warna keagamaan formal warga desa belum berkembang. Setelah Peristiwa 1965, yang disusul tindak kekerasan fisik dan simbolik terutama berkaitan dengan politik agama rezim Orde Baru, geliat keagamaan formal mulai berkembang pesat. 

Di Dusun Ngampel misalnya. Sebelum 1965 sebagian besar warga berorientasi politik ke PKI dengan corak keagamaan Islam-abangan. Ini dilatarbelakangi antara lain persaingan tajam antara Muslim-santri dengan abangan. Pada 1963 sebagian elite dusun mengundang pendeta mengajarkan agama Kristen, sehingga tahun 1964 sebagian mereka beralih ke Kristen Protestan. 

Mereka juga mengubah orientasi politik dari PKI ke Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Pasca Peristiwa 1965, agama Kristen dan Parkindo berperan penting untuk menghindarkan mereka dari kemungkinan di-PKI-kan.

Kekerasan tahun 1965 telah mengubah banyak identitas desa ini. Tercatat ada 79 warga desa ini yang dianggap anggota dan simpatisan PKI; mereka ditangkap dan ditahan, dengan kategori golongan B (dua orang) dan Golongan C (77 orang). 

Berikutnya dengan difasilitasi tentara Angkatan Darat, para aktivis Nahdlatul Ulama, PNI bersama elit desa nonkomunis, membentuk forum BAMUDES (Badan Musyawarah Desa) yang memberi rekomendasi kepada pemerintah kecamatan dan kabupaten untuk memberhentikan 15 dari 17 orang pamong desa karena bergabung di PPDI. 

Dua orang pamong desa yang lolos pemecatan adalah Bekel dan Bayan Ngampel karena sudah keluar dari PKI, setela mereka masuk Kristen pada 1963 dan pindah ke Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Komposisi perangkat desa setelah 1965 hingga sekarang diisi oleh kalangan dari dari unsur NU dan PNI.

Kekerasan 1965 kemudian berdampak pada tumbuhnya tiga agama formal (Islam, Kristen dan Budha). Warga desa yang condong ke PKI merasa tidak memiliki identitas agama formal. Pada saat yang sama identitas agama formal menjadi begitu penting untuk menghindarkan stigma komunis. 

Penggunaan isu agama juga dimunculkan dalam konflik antara PKI dengan NU di desa ini. Orang-orang PKI dianggap ateis dan diisukan ingin 'menghabisi' orang NU.

Alhasil pasca Peristiwa 1965, pusat-pusat agama di desa seperti masjid dan gereja banyak didatangi warga desa---meski sebelumnya mereka jarang beribadah. 

Sejumlah warga desa berinisiatif mengundang tokoh agama luar desa mengajarkan agama yang diakui pemerintahan baru. Kegiatan agama Islam dipusatkan di Dusun Selogede yang sejak dulu menjadi basis NU dengan mengundang santri luar desa dan petugas Pilot Proyek Pembinaan Mental Agama (P3A) Departemen Agama.

Sebagian warga dusun lain berinisiatif  mengundang pendeta Buddha dari Salatiga. Metode pengajarannya dengan ceramah disertai lagu-lagu berlanggam Jawa segera mendapat simpati dari warga.

Pertumbuhan agama Kristen Protestan berpusat di Dusun Ngampel. Pada 1966 terjadi peristiwa pembaptisan massal sehingga dikenal sebagai dusun Kristen (82,5 persen). 

Pada mulanya Kekristenan itu sempat menyulitkan relasi mereka dengan warga luar dusun yang mayoritas Muslim. Karena itu, Bekel mendorong seorang pemuda gereja untuk pindah agama Islam dan menjadi modin (pemimpin Islam) di Ngampel. Setelah itu Islam lebih berkembang dan warga Ngampel kembali menemukan jalan penyelamatannya sebagai kelompok minoritas. 

Dengan narasi ini kemajemukan agama warga Desa Selogede sekarang ini tak bisa lepas dari proses sejarah kekerasan pasca Peristiwa 1965.

Politisasi Agama di Kalangan Tapol

Kasus yang terjadi di desa kecil ini, menguak narasi besar dalam babakan perjalanan bangsa sesudah pembunuhan massal tahun 1965. Fenomena perpindahan agama di kalangan sebagian masyarakat Jawa ke agama 'formal'---sebagai salah satu siasat menghadapi kontrol rezim Orde Baru melalui 'politik agama'---juga terjadi di sebagian tapol 1965. 

Sebagai manusia yang distigmatisasi anti-Pancasila dan ateis, para tapol menjadi objek dalam sebuah laboratorium politik yang dikenal 'instalasi rehabilitasi' (inrehab) pada akhir 1965-1976 di penjara dan tempat pembuangan.

Perpindahan agama di kalangan eks-tapol terjadi di penjara atau tempat pembuangan. Proses-proses perpindahan itu tidak berjalan secara linear tapi penuh dinamika disertai tekanan politik kekerasan yang lebih kompleks sejak sebelum ditahan, semasa ditahan dan setelah dibebaskan. 

Proses perpindahan itu rata-rata diawali dengan munculnya kekecewaan terhadap tindakan berlebihan dari sebagian milisi antikomunis yang ikut menangkap mereka. Juga sikap petugas keagamaan yang stigmatik kepada tapol ketika mengikuti program santiaji (tentang Pancasila dan agama) di dalam penjara dan tempat pembuangan.

Dalam situasi dimana agama diharapkan menjadi sandaran jiwa, kenyataan tersebut sungguh menambah penderitaan tapol. Dengan demikian, perpindahan agama ke Kristen di kalangan tapol banyak ditentukan oleh mereka sendiri di tengah tekanan kekerasan yang berlapis-lapis.

Belakangan strategi bertahan hidup dengan memeluk salah satu agama formal itu memunculkan masalah. Di kalangan tapol, sebagian dari mereka terpaksa kembali ke agama semula---meski sekedar memenuhi kewajiban formal---setelah petugas penjara dan tempat pembuangan tertampar harga dirinya karena fenomena itu. 

Situasi serupa juga masih harus dialami selepas dibebaskan. Sebagian mereka, mengalami diskriminasi religius dari beberapa tokoh agama, jemaat nontapol maupun otoritas sipil dan militer di bidang agama. Mereka seperti dipertanyakan kemurnian imannya, dan dicurigai akan melakukan gerilya politik.

Menghadapi tantangan itu, sikap eks tapol bervariasi. Ada yang bersikap pasif dengan bertindak hati-hati serta berupaya belajar tentang ajaran agama dan beribadah secara lebih aktif. Sebagian yang lain memilih sikap melakukan perlawanan terhadap tuduhan itu, baik melalui sikap maupun pernyataan, lisan maupun tulisan.

Politisasi Agama Melalui Teror Politik

Uraian dua kasus itu memperlihatnya bahwa Peristiwa 1965 telah direspons sebagian masyarakat Jawa, khususnya kalangan keluarga tapol 1965 serta kalangan Islam-nominal, untuk melakukan perpindahan agama secara massal ke agama formal yang baru. 

Peristiwa perpindahan agama itu merupakan salah satu strategi bertahan hidup di kalangan korban, terutama berkaitan dengan tuntutan kejelasan identitas agama formal.  Kekerasan pada tahun-tahun itu telah mengguncang banyak orang dan membuat mereka kehilangan kepercayaan atas nilai-nilai yang selama ini dianutnya.

Dalam catatan Boland (1971), kondisi ketidakpastian itu membuat banyak orang menoleh ke agama baru, sebagai arena yang dianggap bisa menjadi penambat kekalutan jiwa, sekaligus sebagai 'payung' sosial yang bisa melindungi kelangsungan hidupnya. 

Bermula dari situasi itu, banyak orang yang dianggap anggota/simpatisan PKI dan ormas-ormasnya, kemudian melakukan konversi dengan memeluk satu dari lima agama yang diakui negara yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. (Lihat misalnya BJ. Boland, 1971, Avery T. Willis, 1978; Robert W Hefner, 1993; dan Bambang Pranowo, 1994).

Konversi agama massal juga banyak dipengaruhi 'politik agama' di masa awal Orde Baru. Politik agama itu mulai diterapkan pada 1966 melalui Ketetapan MPRS No XXVII/1966, yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia harus memeluk salah satu dari lima agama yang resmi diakui oleh negara dan pemerintah Indonesia. 

Pada saat kebijakan pewajiban agama itu dijalankan, pemerintah memberi keleluasaan bagi para pemuka lima agama resmi berdakwah ke masyarakat yang dianggap kurang memiliki tradisi keagamaan yang kuat, baik di penjara maupun luar penjara.

Di beberapa daerah, seperti Jawa Tengah, Gubernur melalui Kantor Departemen Agama, mengundang para pemimpin agama mengambil bagian dalam Pilot Proyek Pembinaan Mental Agama (P3A). Ada tiga tujuan yang ingin dicapai, yaitu 1) meningkatkan peranan agama dalam kehidupan rakyat dan menempatkannya sebagai pengaruh dari sila pertama Pancasila, 2) menciptakan mentalitas agama dan memproduksi suatu spiritualitas yang akan mengisi kehidupan rakyat baik dari segi fisik maupun mental dan 3) membangun kembali pondasi keagamaan yang telah dirusak oleh Gerakan 30 September dan golongan ateis. (Willis, 1978).

Untuk mendukung program ini, para pemimpin lima agama bersama dengan aparat pemerintah, memberikan informasi setiap organisasi agamanya masing-masing. Konsekuensi dari kegiatan itu adalah terjadinya gelombang perpindahan ke agama formal secara besar-besaran di Indonesia. 

Kebanyakan dari mereka adalah penganut kepercayaan tradisional yang tidak berafiliasi dengan agama formal. Sejak 1960-an dan masa-masa selanjutnya agama-agama formal di Indonesia mengalami peningkatan jemaat secara signifikan dari masa sebelumnya. 

Salah satu agama yang mengalami peningkatan jumlah anggota paling mencolok adalah Kristen Protestan. Sementara Hindu dan Budha juga berkembang walaupun jumlah pemeluknya tetap kecil. (Homrighausen, 1967; Ricklefs, 1998, Beatty, 1999, Subanar, 2001).

Implikasi Relasi Muslim-Kristen

Belakangan, perpindahan agama dari sebagian Muslim abangan di Jawa menjadi isu penting yang mengganggu hubungan antara Kristen dan Islam di Indonesia. Kalangan Muslim menuduh terjadinya perpindahan agama itu karena kegiatan misi gereja yang bertujuan menarik orang masuk agama Kristen (Boland, 1971:231). 

Jika di mata gereja kurun waktu 1965-1967 merupakan masa panen, di mata sebagian kelompok Muslim, perlindungan dan pelayanan gereja terhadap orang-orang yang dituduh atau terlibat komunis serta keluarga para tapol dianggap merupakan tindakan mengambil untung dalam situasi politik yang tengah berlangsung. Kondisi itu semakin mempertajam kecurigaan kelompok Islam kepada aktivitas Kristen. (Shihab, 1998: 174;  dan Aritonang, 2004: 413-4).

Ketegangan dan konflik terbuka dua agama itu, di kemudian hari mendorong sekaligus melegitimasi negara untuk melakukan intervensi yang lebih dalam di bidang kehidupan beragama. Bentuk-bentuk intervensi negara---yang juga dipengaruhi desakan sebagian kelompok Islam---itu antara lain diwujudkan dengan membuat beberapa peraturan, seperti SKB Menag dan Mendagri No. 01/BER/mdn-mag/1969; SK Menag No. 70 Tahun 1978 dan SK Menag No. 77 Tahun 1978. Keduanya selanjutnya digabung dalam SKB Nomor 1 Tahun 1979. 

Situasi konflik itu juga mendorong negara membuat kebijakan politik agama tentang Tri Kerukunan Beragama. Melalui cara itu, dalam kurun beberapa waktu, negara berhasil menciptakan tradisi manipulatif tentang keharmonisan sosial, tapi meninggalkan 'bom waktu'. Kekerasan dan konflik sosial di masa-masa akhir kekuasaan Soeharto dan terutama kurun 1998-2000, telah membuyarkan citra manipulatif itu. (Saidi [ed], 2004: 17; Efendy, 2001: 50-51).

Belajar dari situasi ini maka gejala perpindahan agama pada kurun tahun-tahun menjelang dan sesudah 1965 perlu menjadi perhatian banyak pihak karena akan membuka peluang untuk melihat lebih jauh tiga aspek penting yang muncul karena Peristiwa 1965, yang berimplikasi secara politik dan sosiologis hingga sekarang. 

Ketiga aspek itu ialah: Pertama, persoalan politik kekerasan dan politik ingatan. Peristiwa penangkapan, kekerasan, serta pembunuhan telah menimbulkan trauma yang mendalam, tidak saja bagi mereka yang digolongkan tapol, tetapi juga bagi keluarga mereka. Mereka yang sebenarnya bukan tapol harus ikut menanggung penderitaan. Kajian terhadap keluarga eks-tapol 1965 menjadi penting, terutama karena mereka adalah pihak yang dikorbankan dari kontestasi memori dan sejarah yang telah dikonstruksikan oleh pihak yang menjadi lawan politik PKI. (Budiawan, 2000 dan 2004).

Kedua, berkaitan dengan 'politik agama' di Indonesia. Munculnya TAP MPRS No. XXVII/1966, yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia harus memeluk salah satu dari lima agama yang secara resmi diakui oleh negara dan pemerintah Indonesia (yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha) terkait stigma terhadap PKI yang dituduh ateis dan reaksi sejumlah kelompok Islam ketika menyikapi perkembangan jemaat Kristen yang besar pasca-Peristiwa 1965.

Ketiga, terkait dengan dinamika hubungan Kristen dan Islam. Ketika Peristiwa 1965 terjadi, sebagian besar organisasi yang terkait dua agama tersebut mempunyai kesamaan pandangan, terutama karena mereka merasa PKI adalah musuh bersama. 

Konflik yang terjadi di masa pemerintahan Soekarno, lebih sering terjadi di antara Islam-Santri dengan Komunis daripada Islam dengan Kristen. Tetapi sesudah Peristiwa 1965, khususnya berkaitan dengan fenomena perpindahan agama ke Kristen dari sebagian masyarakat Jawa yang berlatarbelakang Islam-abangan dan ditambah dengan politik agama rezim Orba, hubungan dua agama itu mudah mengalami ketegangan. (Adeney, 2003).

Singkatnya, intervensi negara terhadap kehidupan keagamaan yang dilatarbelakangi oleh orientasi kekuasaan semata, telah menciptakan kondisi di mana identitas agama formal menjadi hal yang vital dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia dan menempatkan agama menjadi identitas yang sensitif dalam relasi antara rakyat dengan negara di satu sisi, dan hubungan antara warga di sisi lain. 

Tampaknya ini masih menjadi tantangan kita di masa sekarang.

*) Singgih Nugroho adalah peneliti pada Lembaga PERCIK Salatiga, menulis buku "Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca Peristiwa 1965 di Pedesaan Jawa", Syarikat-Yogyakarta, 2008

 

  • Kekerasan 1965
  • Peristiwa 1965
  • korban peristiwa 1965
  • orde baru
  • politik agama Orde Baru
  • kekerasan agama
  • politisasi agama
  • politik agama
  • Eks Tapol 65

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Amir Dewana4 years ago

    Di dunia ini tidak ada yang abadi selain daripada perubahan itu sendiri. Selagi perubahan agama itu bukan suatu tindak kriminal, siapa bisa melarang dan dilarang. Para pemuka agama harus berlomba menunjukkan agama yang dipeluk dan ditumbuhkembangkan tampil memberi kehidupan damai sejahtera tenteram bagi kemanusiaan, maka agama itu tidak akan kehabisan pemeluk. Malah bertambah. Percayalah.