EDITORIAL

Mudik

Mudik

Inilah tradisi tahunan yang tak mudah dijelaskan. Ratusan ribu, bahkan jutaan, manusia bergerak, memenuhi jalanan, berhimpitan di kendaraan umum, memainkan klakson sepanjang jalan, dan tak jarang harus berhenti berjam-jam, untuk kemudian merangkak pelan, dan berhenti lagi.

Begitu seterusnya. Dari tahun ke tahun. Manusia-manusia modern yang seluruh geraknya pada hari biasa dituntun oleh rasionalitas, seakan luruh dalam tradisi besar bernama mudik Lebaran.  Rasionalitas seakan menguap, berganti dengan antusiasme tak terjelaskan, ingin secepatnya sampai ke tempat tujuan, berkumpul bersama keluarga besar, handai taulan, juga mungkin teman-teman sepermainan di masa kecil.

Mudik, dalam kamus Bahasa Indonesia ia berarti pergi ke udik atau pedalaman. Dalam makna harfiahnya, ia berkonotasi pulang kembali ke kampung halaman. Biasanya menuju rumah orangtua, tempat di mana ia dilahirkan atau dibesarkan.  Tempat di mana semua dari kita, tak peduli pejabat atau penjahat, mengenal cinta untuk pertama kalinya.


Cinta dimulai dari rumah, kata Bunda Teresa . Dan itu bukan tentang berapa banyak hal yang sudah kita lakukan, melainkan berapa banyak cinta yang sudah kita tanam dalam semua tindakan. Bunda Teresa, seperti kita kenal, adalah seorang Katholik. Tapi lihatlah, betapa benar yang ia ucapkan.

Begitulah, mudik,  lebih dari sekadar arti harfiahnya yang bermakna mobilitas fisik-geografik, ia adalah gerakan kultural yang dituntun tradisi selama puluhan tahun. Manusia-manusia modern ini, pada satu ketika, ternyata tetap merindukan kampung  halamannya. Merindukan orang-orang yang pernah dekat dengannya.  Mereka butuh sebuah jeda, untuk kemudian kembali ke sehariannya. Yang pejabat akan kembali untuk menjalankan mandatnya, yang penjahat mungkin akan kembali meneruskan kejahatannya. Tapi setiap kita, memang membutuhkan saat-saat jeda.

Namun saat-saat jeda bernama mudik ini ternyata tak cuma berwatak kultural-tradisional. Karena begitu besar energi yang menyertainya, ia pun berarti sebuah gejala ekonomi, juga tak jarang ditumpangi kepentingan politik. Maka kita lihat, demi memperlancar arus lalu lintas mudik, proyek-proyek perbaikan jalan mendadak digeber pengerjaannya. Proyek-proyek semacam ini menjadi rutin, melibatkan dana besar, dan karena itu harus dijaga keberlangsungannya. Karena itu berarti uang akan tetap mengalir, baik ke pemberi proyek maupun ke pelaksana proyek.
 
Pernahkah para pejabat birokrat itu berpikir untuk menghentikan proyek abadi bernama perbaikan jalan? Beberapa pakar konstruksi sudah mengusulkan penggunaan teknologi yang lebih mumpuni untuk mengganti teknologi using yang boros biaya. Teknologi konstruksi baru ini hanya butuh investasi awal yang besar tapi minim biaya pemeliharaan. Tapi usulan itu tampaknya tak pernah digubris. Karena, ya itu tadi, proyek abadi perbaikan jalan harus tetap dijaga, agar dana proyek tak berhenti mengalir.

Mudik juga tak steril dengan kepentingan politik. Karena di sepanjang jalan, para pemudik tetap disuguhi tampilan para politisi yang berebut pengaruh, entah melalui poster, baliho atau iklan-iklan di media massa.  Kita boleh bosan dengan semua itu, tapi apa daya, bahkan ruang yang bernama saat-saat jeda itu pun sudah diintervensi berbagai macam kepentingan yang tak ada kaitannya dengan mudik.

  • bunda teresa
  • mudik
  • tradisi menjelang lebaran

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!