OPINI

Tanah

Demo Hari Tani Nasional


Beribu petani berunjuk rasa. Aksi digelar di berbagai tempat; dari Istana Merdeka sampai gedung Pemerintah Daerah dan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.  Aksi serentak dilakukan dalam rangka memperingati Hari Tani yang jatuh pada Sabtu, 24 September lalu. 

Beragam tuntutan disuarakan yang intinya distribusi  lahan dan meminta pembuat kebijakan berpiha pada petani. Di antaranya menyangkut  janji Jokowi memberikan 9 juta hektare lahan untuk masyarakat. Janji serupa juga pernah disampaikan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono namun tak kunjung terealisir.

Selain tuntutan distribusi lahan, pengunjuk rasa juga mendesak  penuntasan beragam konflik. Catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) sepanjang 10 tahun terakhir terjadi  hampir 1800 konflik lahan. Lawannya beragam, mulai  perusahaan swasta, perusahaan milik negara atau pemda hingga TNI. Bertahun kasus-kasus itu tak kunjung  tuntas bahkan hingga jatuh korban jiwa. 

Saatnya para penyelenggara negara menunjukkan keberpihakan. Warga tak butuh lahan ribuan hektare. Sebut contoh dua hektare lahan seperti yang diberikan pada peserta transmigrasi, cukup untuk digarap untuk menyambung hidup. Berkebalikan jauh dari   para pemilik modal yang bisa memperoleh hak guna usaha (HGU) hingga ratusan ribu hektare.

Pemerintah menjawab distribusi lahan ini dengan program sertifikasi. Kata Menteri Agraria Sofyan Djalil ditargetkan pada 2025 ada 25 juta lahan telah bersertifikat. Bagi para pegiat reforma  agraria itu jelas bukan langkah yang tepat. Reforma agraria adalah perombakan kepemilikan dan redistribusi atau penataan aset yang berkeadilan sosial. Bila itu semua sudah kelar barulah di ujung bisa bicara sertifikat sebagai bukti legalitas penguasaan lahan. 

  • Hari Tani Nasional
  • janji 9 juta hektare
  • reforma agraria

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!