HEADLINE

Disangka Mencuri 5 Kilo Singkong, La Gode Tewas Diduga Disiksa Aparat

Disangka Mencuri 5 Kilo Singkong, La Gode Tewas Diduga Disiksa Aparat

KBR, Jakarta- Komandan kompi Satgas Ops Pamrahwan Banau, Ruslan Baton, menyatakantengah menyelidiki kematian La Gode, warga Desa Lade di Pulau Taliabu, Maluku Utara, dengan luka di sekujur tubuh. Kata dia, ada beberapa anggota dan 6 warga  yang tengah diperiksa Detasemen Polisi Militer (Denpom) Ternate.

Ruslan  membantah La Gode tewas dianiaya anggota, melainkan akibat dikeroyok warga.

"Pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak Denpom Ternate di situ beliau sudah sampai di Lede, dan masyarakat ada sekitar enam orang, kalau saya tidak salah. Sekarang sedang dalam penyelidikan. (Ada anggota pos satgas yang juga diperiksa?) Ada. (Berapa banyak?) Nanti makanya komunikasinya dengan Denpom yang lebih tahu," kata Rusli kepada KBR, Selasa (28/11/2017).


Rusli mengatakan, pemeriksaan itu dilakukan langsung oleh anggota Denpom yang datang langsung dari Ternate. Namun, Rusli tak bisa memperkirakan kapan pemeriksaan itu bakal rampung.


Rusli berkata, berbagai luka yang ditemukan di jenazah La Gode bukan karena penganiayaan anggotanya. Rusli mengklaim, luka itu berasal dari pukulan warga yang marah kepada La Gode karena kerap mencuri.

Rusli  menyebut La Gode pernah membunuh petani cengkeh lantaran ketahuan mencuri   di Desa Tikong, yang berjarak 1,5 jam berkapal dari Desa Lade, pada 2011. Namun, kata Rusli, tuduhan membunuh itu akhirnya mengarah pada orang lain bernama La Sudi, karena memiliki postur tubuh yang mirip La Gode, hingga akhirnya dipenjara enam tahun.

Rusli mengatakan pernah mengunjungi kediaman La Gode dan bertemu dengan istrinya. Rusli juga tak menampik kabar tentang tawaran uang senilai Rp 1,4 juta per bulan selama sembilan bulan untuk istri La Gode. Namun, Rusli membantah uang itu untuk "tutup mulut". Rusli mengklaim, tawaran uang itu hanya bentuk belasungkawa untuk istri dan ketiga anak La Gode.


Menanggapi kasus ini, Anggota Komisi Pertahanan DPR Charles Honoris meminta TNI transparan menyampaikan hasil penyelidikan kematian La Gode.

"Melalui polisi militer, segera selidiki dan bawa pihak yang terlibat ke ranah hukum. Sanksi tegas kalau terbukti dipidana dan dipecat dari institusi militer," kata Charles, Selasa (28/11).

Kata dia,  internal TNI dan kinerja Satgas Ops Pamrahwan pun   perlu dievaluasi. Sebab, kasus kekerasan terhadap warga sipil semacam itu terus berulang. Charles mendesak TNI mencari penyebab sejumlah anggotanya masih menggunakan kekerasan.


"Apa karena ada gangguan atau stress karena ditempatkan di daerah perbatasan miskin. Perlu ada keterlibatan apakah psikolog untuk konseling bagi anggota TNI yang ditempatkan di perbatasan."

Penyelidikan juga dilakukan Kepolisian   Maluku Utara. Juru bicara Polda Malut Heri Badar mengatakan, pekan lalu istri La Gode melaporkan dugaan penganiayaan hingga menyebabkan kematian sang suami.

Polisi lantas meminta keterangan sejumlah saksi, termasuk istri La Gode. Bukti berupa foto pun telah dikantongi. Namun hingga kini, menurutnya, polisi belum dapat menyimpulkan penyebab kematian.


"Kami memeriksa karena istrinya melapor ke kami. Tapi untuk menentukan bagaimana status kematian kan belum tahu dan kronologinya itu. Itu kan kematiannya di Kaliabo. Kemarin tim dari perlindungan saksi dan korban juga sudah datang ke mari dan sudah kami jelaskan," kata Heri saat dihubungi KBR, Selasa (28/11).


Guna mengungkap penyebab kematian, kata dia, terbuka kemungkinan  untuk melakukan visum.  Heri berkali menegaskan   anggota kepolisian tak terlibat dalam penganiayaan yang berakibat pada kematian La Gode.


"Bisa juga kami dari kepolisian melakukan visum tapi yang jelas dalam peristiwa ini anggota kepolisian tidak melakukan penganiayaan. Yang jelas dalam kasus ini anggota kepolisian tidak melakukan penganiayaan atau mengakibatkan mati."


Ahli forensik dari Universitas YARSI, Ferryal Basbeth, meragukan luka di sekujur tubuh La Gode disebabkan pengeroyokkan massa. Dari foto jenazah, dia menilai pola luka yang ada di dada dan punggung korban menunjukkan kemungkinan ia disiksa menggunakan benda tumpul.


Menurut dia, pola luka yang muncul   sama.  Kata Ferryal bila lebam karena pengeroyokkan pola luka yang muncul akan berbeda-beda.


"Emosi massa kadang-kadang pola pukulnya  itu karena kalau banyak orang beda-beda. Mungkin ada yang satu pakai ini, satu  pakai ini. Nah ini kelihatannya kalau yang di dada atau belakang punggung itu, (pola lukanya) hampir kurang-lebih sama," ujar Ferryal kepada KBR, Selasa (28/11).


Di tubuh korban, tampak sejumlah luka berbentuk dua garis sejajar, dan di bagian tengahnya ada daerah pucat yang menunjukkan diameter senjata yang digunakan.


"Di tengahnya ada pale area itu menunjukkan diameter senjata yang digunakan. Apa yang terbentur pada korban sehingga ada daerah pucat yang sama diameternya kurang lebih 2 sentimeter, 2 sentimeter."


Selain itu kuku jempol kaki kanan La Gode pun terlepas. Menurut Ferryal hilangnya kuku  bisa jadi karena dicabut paksa atau diinjak. Di bagian depan kaki kanan juga tampak bekas luka seperti sundutan api. Namun ia belum bisa memastikan penyebab munculnya luka itu.


Penyelidikan yang dilakukan  Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)  menemukan selain kuku,   8 gigi La Gode juga  tercabut. Ferryal mengatakan temuan itu semakin melemahkan argumen yang menyebut kematian La Gode disebabkan pengeroyokkan massa.


"Kalau keroyok massa tidak  sampai situ. Paling ada patah gigi, tapi tidak sampai tercabut."

Perlindungan Saksi

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menempatkan istri La Gode, korban tewas yang diduga akibat dianiaya anggota TNI,  ke rumah aman di Jakarta.  Wakil LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, ancaman yang dialami istri La Gode beserta para saksinya tergolong serius

Kata dia, LPSK juga segera memboyong ketiga anak La Gode yang hingga kini masih berada di Pulau Taliab, ke Jakarta.

"LPSK memberikan perlindungan yang bersifat darurat kepada keluarga korban. Ini ada dugaan penyiksaan yang dilakukan aparat TNI di sana, dan korbannya kemudian meninggal, dan keluarga merasa terintimidasi dan terancam. Potensi ancamannya sangat besar, juga saksi. Bentuknya perlindungan penuh ini, jadi kita tempatkan di rumah aman. (Kalau polisi atau TNI ingin menemuinya?) Tidak boleh," kata Hasto di kantornya, Selasa (28/11/2017).

Hasto berujar, tidak ada yang boleh bertemu dengan keluarga dan saksi tersebut tanpa seizin LPSK, termasuk polisi dan TNI. Pasalnya, hari ini juga ada panggilan untuk istri La Gode dari Polda Maluku Utara, atas laporannya tentang kematian suaminya. Kata dia, besok lembaganya akan mengirim surat kepada Polda Maluku Utara, Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, dan TNI, yang berisi pemberitahuan bahwa keluarga dan para saksi tewasnya La Gode berada di bawah perlindungan LPSK. Dengan demikian, kata Hasto, segala kepentingan TNI dan Polri kepada keluarga maupun para saksi harus melalui LPSK.

 

Hasto mengatakan, keluarga dan saksi tewasnya La Gode mulai hari ini akan tinggal di rumah aman di Jakarta, tetapi lokasi detailnya dirahasiakan. Kata Hasto, dalam satu atau dua pekan ini, para   LPSK akan segera menggelar rapat paripurna untuk menentukan bentuk perlindungan berikutnya.


Sebelumnya  Keluarga La Gode meminta perlindungan LPSK. Koordinator Kontras Yati Andriani mengatakan, banyak ancaman intimidatif yang dialami keluarga, agar tak membawa kasus kematian La Gode ke ranah hukum.

Yati berkata,   setidaknya ada tujuh temuan yang mengindikasikan kematian La Gode akibat penganiayaan di pos Satgas.

"Dari hasil investigasi Kontras, memang kami menemukan ada setidaknya tujuh fakta-fakta pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus ini. Pertama, dari surat yang dikeluarkan kepala desa tentang surat kematian itu disebutkan bahwa korban meninggal di pos Satgas pada pukul 04.30. Ini kan ada petunjuk, bahwa dia tewas saat berada di bawah penguasaan pos satgas," kata Yati di kantor LPSK, Selasa (28/11/2017).


Kata Yati, La Gode tewas pada 24 Oktober 2017 pada pukul 04.30. Siang harinya, keluarga menerima jenazah La Gode dengan mendapati beberapa kejanggalan. Terdapat luka di sekujur jenazah La Gode, terutama wajah, serta gigi yang dicabuti hingga ompong dan kuku di jempol kaki kanan dicabut. Melihat kondisi itulah, kata Yati, keluarga meyakini La Gode tewas secara tak wajar. 


Yati berkata, La Gode, 31 tahun, merupakan petani cengkeh di Desa Balohang, Pulau Taliabu, pulau kecil di tengah lautan di antara Pulau Sulawesi dan Maluku. Dia tinggal bersama istri dan tiga orang anak.


Pada 10 Oktober 2017, La Gode kepergok mencuri singkong seberat 5 kilogram seharga Rp 20an ribu milik tetangganya yang bernama Egi. La Gode lantas dibawa ke Pos Satuan Tugas Daerah Rawan, atau Satgas Ops Pamrahwan, lantaran pos polisi di desanya tak memiliki ruang tahanan.


Selama ditahan, La Gode mengalami pemukulan, meski menawarkan uang ganti rugi 10 kali lipat harga singkong parut yang dia curi. Namun, TNI dan polisi menolak usul itu dan terus memukulnya hingga dadanya nyeri.


Hingga lima hari kemudian saat subuh, La Gode melarikan diri dan menemui istrinya. Kepada istrinya, La Gode mengatakan disiksa petugas. Delapan hari kemudian, atau 23 Oktober 2017, La Gode kembali ditangkap polisi Pos Lede, anggota TNI, dan anggota Babinsa, serta dibawa lagi ke Pos Satgas TNI. Di sana pula, dia kembali diinterogasi dan dipukuli, bahkan lebih keras, dan keluarga meyakini sampai La Gode tewas.


Yati berkata, tiga hari setelahnya, Komandan Pos Satgas TNI mendatangani kediaman La Gode dan menawarkan uang sebesar Rp 1,4 juta dan beras untuk istri La Gode, sebagai pengganti pengganti sembilan bulan biaya hidup keluarga tersebut. Namun, istri La Gode menolak. Setelah itu, masih ada dua kunjungan lagi dari TNI kepada istri La Gode dan melakukan hal serupa. Kata Yati, anggota TNI itu meminta agar perkara tewasnya La Gode tak dibawa ke ranah hukum. Meski begitu, istri La Gode tetap menolaknya.


Yati berkata, kini kasus kematian La Gode telah dilaporkan ke Polda Maluku Utara dan Denpom Ternate. Beberapa bukti juga sudah diserahkan, misalnya keterangan saksi dan keluarga, foto jenazah, serta beberapa foto lokasi peristiwa.


Kontras juga menemukan setidaknya tujuh pelanggaran HAM dalam kematian La Gode. Pertama, surat kematian La Gode yang dikeluarkan Kepala Desa Lede menyebutkan kematian terjadi pukul 04.30 WIT di Pos Satgas Banau, sehingga membuktikan tak ada pengeroyokan massa, seperti yang diklaim TNI. Kedua, terjadi pelanggaran prosedur dalam penggeledehan dan penangkapan La Gode karena tak disertai surat-surat. Apalagi, La Gode lantas ditahan lima hari di pos satgas.

Ketiga, saat melarikan diri selama delapan hari, La Gode sempat bertemu dengan istrinya dan menjelaskan alasan pelariannya tersebut. La Gode juga menceritakan penyiksaan yang dialami, hingga dadanya sakit. Keempat, saat visum di Puskesmas, diketahui jenazah La Gode penuh luka, delapan gigi tanggal, dan kuku ibu jari kaki kanannya lepas.

Kelima, meski terdapat tanda tangan warga yang dikumpulkan oleh TNI tentang persetujuan menahan La Gode, ternyata surat itu tidak menerangkan masyarakatlah yang mengeroyok La Gode. Keenam, istri La Gode diintimidasi anggota satgas agar tak melaporkan kematian suaminya ke kepolisian, dengan memberikan uang kerohiman. Ketujuh, pasca-pelaporan tewasnya La Gode ke Polda Maluku Utara, rumah istri La Gode sempat didatangi anggota satgas.

Editor: Rony Sitanggang


 

  • kasus La Gode
  • penganiayaan La Gode
  • Korban Kekerasan Aparat

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Wisanggeni6 years ago

    sungguh tindakan yang biadab dan tidak manusiawi,,, apalagi pelakunya aparatur negara,,,entah bagaimana kelanjutan kasus ini,,, tetapi ingat.... peradilan umum atau militer,,,, yg pasti peradilan TUHAN akan kau hadapi!