BERITA

Pemulihan dari Trauma bagi Korban Bencana di Sulteng

Proses trauma healing untuk anak-anak korban bencana di Sulawesi Tengah, dengan mengajak bermain ber

KBR, Jakarta- Pemerintah bakal menjadikan lahan bekas terjadinya likuifaksi di Desa Petobo dan Balaroa, Kota Palu, Sulawesi Tengah, sebagai monumen. Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto mengatakan, monumen itu nantinya akan menjadi peringatan bersama tentang peristiwa bencana. Sekaligus menjadi antisipasi bagi siapa saja yang hendak membangun pemukiman, untuk mempertimbangkan aspek tekstur tanah dan elemen-elemen lain di bawahnya.

"Bekas lokasi likuifaksi itu nanti akan ditutup, dijadikan monumen. Supaya jangan ada lagi yang membangun hunian di tempat yang labil. Lokasi alternatif untuk membangun kembalinya sudah ada, meski pimpinan daerah sudah menentukan agar lokasi pilihannya tidak jauh-jauh dari sebelumnya. Karena orang-orang yang huniannya dipindahkan itu, biasanya juga memiliki tempat kerja yang juga dekat," kata Wiranto dalam konferensi pers di media center Kantor Kementerian Koordinator bidang Polhukam, Jumat (5/10), di Jakarta.

Baca: Prioritas Pemerintah

Wiranto melanjutkan, Pemerintah segera menyediakan barak-barak sementara untuk hunian warga korban bencana. Hal ini dikarenakan, keseluruhan proses pemulihan pasca bencana di Kota Palu membutuhkan waktu minimal tiga tahun. Sedangkan selama satu bulan berjalan ini, masih dalam kondisi tanggap darurat.

"Akan dibangun pemukiman baru, barak-barak sementara namanya. Harus segera ada dan cukup ideal untuk hunian sementara. Singkatannya Huntara atau hunian sementara," ujarnya lagi.

Ditambahkan Wiranto, bantuan untuk para korban bencana yang juga sangat dibutuhkan saat ini adalah, pemulihan secara psikologis. Misalnya dengan trauma healing.

Aksi Polwan Renakta Polda Kaltim

Di lapangan, proses trauma healing telah dilaksanakan. Menurut Yolanda Evalyn Sebayang, Kasubdit Kekerasan Anak dan Wanita (Renakta) Polda Kalimantan Timur - yang tergabung dalam Tim Satgas Nusantara -, interaksi bersama anak-anak dalam bentuk bermain dan menghibur, dapat memberi dampak positif bagi pemulihan trauma anak-anak pasca bencana.

Kata dia, melalui treatment trauma healing ini, anak-anak bisa menjadi terbuka dalam menyampaikan rasa takutnya, sehingga tidak lagi merasa stres dan berubah ceria. 

"Kita sempat berinteraksi, bercerita bersama mereka. Malah ketika sedang bernyanyi bersama, ada saja anak-anak yang kadang-kadang suka nyeletuk begitu saja. Misalnya, mereka menceritakan, dirinya yang sempat mengalami goyang akibat gempa bumi. Perasaan takut yang dilontarkan itu, berarti mereka punya rasa lega apabila hendak menyampaikan sesuatu. Interaksi yang kami lakukan tidak lama, paling-paling dilakukan hanya ketika mengantarkan distribusi logistik saja. Kita bersentuhan sama mereka hanya sekitar 15 sampai 30 menit saja, dan kami harap semua itu bisa memulihkan mereka," ujar Yolanda kepada KBR, Minggu (07/10).

Yolanda menambahkan, jika anak-anak telah diberi pemahaman untuk menerima keadaan mereka yang sulit akibat bencana, maka pemberian motivasi pun akan lebih mudah diwujudkan.

Selain kepada anak-anak, proses trauma healing juga dilaksanakan kepada para orang tua, khusunya kaum wanita. Mereka ini juga termasuk yang rentan terserang stres dan trauma, apalagi melihat kondisi sulit yang tengah menimpa keluarganya.

"Penanganan trauma pasca bencana terhadap orang dewasa juga sama. Pasti ada. Namun penanganan trauma terhadap mereka berbeda, kami belum sampai sejauh itu. Namun kedepannya,  treatment-treatment semacam ini sangat dibutuhkan untuk menghilangkan stres dan kesedihan mereka," ujar Yolanda.

Proses pemulihan dari trauma   dilakukan setiap hari oleh para petugas yang saling bergantian. Batas waktu pelaksanaannya, belum bisa ditentukan. Para polisi wanita yang tergabung dalam Tim Satgas Nusantara, berkeliling melakukan trauma healing seperti misalnya ke Desa Labuan Induk, Desa Lero dan Desa Toaya Vunta di Kabupaten Donggala. Juga ke Desa Langaleso di Kabupaten Sigi. Saat ini, desa-desa tersebut merupakan pusat lokasi pengungsian para korban  tsunami dan gempa Palu

Yolanda menerangkan, rata-rata anak yang membutuhkan terapi trauma healing di pengungsian berusia antara 3 sampai 11 tahun. Untuk anak-anak di atas usia tersebut, penyembuhan trauma pascabencana dilakukan melalui pendekatan lain, atau bukan dalam bentuk hiburan atau bermain bersama.

Editor: Fadli Gaper

  • trauma healing
  • bencana Sulteng
  • pasca bencana
  • renakta

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!