HEADLINE

SPDP Pemimpin KPK, Saut: Kami Tidak Takut

SPDP Pemimpin KPK, Saut: Kami Tidak Takut

KBR, Jakarta- Kapolri Tito Karnavian memerintahkan penyidik Bareskrim untuk melakukan kajian hukum terkait pelaporan dua pemimpin  KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang. Ia meminta penyidik  berhati-hati menangani   perkara dugaan pembuatan surat palsu dan penyalahgunaan wewenang tersebut.

Tito mengatakan telah mendengarkan penjelasan Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim, Herry Rudolf Nahak serta tim penyidik yang menangani perkara pelaporan oleh kuasa hukum Ketua DPR, Setya Novanto. Ia meminta penyidik untuk menambah keterangan saksi ahli serta melengkapi dokumen yang dibutuhkan sebelum menentukan sikap selanjutnya.

"Saya sampaikan kepada penyidik hati-hati, karena ini terjemahan hukumnya bisa berbeda-beda antara satu saksi ahli dengan saksi ahli lainnya. Oleh karena itu saya minta cari saksi-saksi ahli lainnya. Jangan hanya mengandalkan tiga orang. Cari saksi ahli lainnya yang mungkin berpendapat berbeda," ujar Tito di Hotel Mercure Ancol, Kamis (09/11).

Menurut Tito, penanganan tindak pidana terkait hal ini akan menjadi masalah hukum baru. Sebab, kewenangan pengadilan untuk menguji penetapan tersangka dalam praperadilan belum lama diterapkan. ia mengatakan, salah satu persoalannya apakah pihak yang dirugikan atas penetapan tersangka bisa menggugat penegak hukum atau tidak.

"Boleh tidak melakukan tuntutan hukum ke pihak yang dianggap rugikan dia? Misal administrasinya sah apa tidak? Kemudian kalau ada tindakan hukum misal cegah, tangkap, apakah tidak sah juga semua?" Ujar Tito.

Tito menegaskan, meskipun perkara tersebut sudah masuk tahap penyidikan namun Agus Rahardjo dan Saut Situmorang masih berstatus terlapor. Selain itu, Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman serta beberapa penyidik juga menjadi terlapor dalam perkara tersebut.

Ia menjelaskan, surat yang dimaksud dalam perkara ini adalah produk administrasi yang dikeluarkan terkait penetapan Novanto sebagai tersangka. Semua administrasi dan tindakan hukum yang dilakukan sebelum putusan praperadilan dianggap tidak sah oleh pelapor.

Selain itu, Sandy Kurniawan selaku kuasa hukum Novanto juga melaporkan penerbitan surat permintaan pencegahan ke pihak imigrasi oleh KPK pada 02 Oktober lalu. Tito mengatakan, pelapor menduga tindakan hukum pencegahan sebagai penyalahgunaan wewenang.

"Berarti dilaporkan soal pemalsuan surat. Tindakan hukum pencegahan dianggap tidak sah sehingga dianggap melanggar Pasal 421, penyalahgunaan wewenang," ujarnya.

Menanggapi laporan itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang menegaskan sudah sesuai prosedur saat membuat surat perpanjangan pencegahan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto ke luar negeri. Karena itu, dia tidak memusingkan penyidikan polisi.

"Saya tidak  mau komentar di prosesnya tapi nanti kalau ada apa-apa kita jawab. Supaya di luar nanti tidak gaduh, terus negaranya tidak  baik, terus (jumlah kasus) korupsinya gak turun, kemudian orang berpikir oh ternyata gampang ya, KPK itu mundur kalau ditakut-takuti. Kita juga tidak takut. Masa takut sih? Ya tidak dong. Ya kan paling juga saya tidak dihukum mati ntar ya," kata Saut di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (9/11).

Saut menegaskan, sebagai pemimpin KPK, dia dan Agus akan membawa bukti saat polisi memeriksanya. Menurut Saut, bukti tersebut menjelaskan bahwa tidak ada unsur pemalsuan atau penyalahgunaan wewenang saat KPK meminta pencegahan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun dia menolak memberikan bocoran mengenai bukti tersebut.

"Kalau umpamanya suatu saat saya dan pak Agus diperiksa, nanti kita tunjukkan (bukti) bahwa itu sudah sesuai proses. Nanti (bukti-buktinya) kita lihat ke Biro Hukum kita," kata Saut.

Dia mengingatkan kembali, KPK memiliki wewenang untuk mencegah seseorang berpergian keluar negeri. Hal tersebut tercantum dalam Undang-undang KPK Nomor 30 tahun 2002 Pasal 12 Ayat 1 Huruf B. Karena itu, sikap Dirjen Imigrasi Kemenkumham yang melarang Novanto keluar negeri sudah tepat.

"Kalau dalam undang-undangnya itu kan KPK boleh mencegah orang. Bukan memohon, bisa meminta, kira-kira begitu. Saya pikir mereka (pihak imigrasi) sudah menjalankan perintah kita, itu sudah benar," kata dia.

Menanggapi polemik hukum itu, Mahkamah Agung menyatakan  tidak bisa menilai tindakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian dengan menerbitkan SPDP kepada KPK benar atau salah. Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi  beralasan mengetahui apa saja barang bukti yang didapatkan penyidik Bareskrim, sehingga bisa mengeluarkan SPDP tersebut.

"Jadi ketika orang itu dinyatakan sebagai tersangka berarti sudah cukup alat bukti menurut ketentuan undang-undang itu subjektif dari penyidik itu sendiri, tidak ada ujian dari institusi lainnya, setelah ditetapkan oleh penyidik itulah dikeluarkan SPDP atau surat dimulainya penyelidikan itu," ujar Suhadi, saat dihubungi KBR, Kamis (09/11/2017).

Menurut Suhadi adanya pencekalan yang dilakukan KPK terhadap kasus Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Setya Novanto tidak juga bisa dianggap salah karena KPK memiliki hak dan penilaian serta bukti.

"Dilihat dulu apa alasan mencekal karena pasti ada alasannya, dan ketentuannya KPK berwenang untuk melakukan pencekalan sehingga pasti ada alasannya. Kalau masalah kepalsuannya itu harus diuji dulu sejauh mana kepalsuan itu, misal dari pasal 263 KUHP ada yang membuat surat palsu, ada memalsukan surat, itu beda-beda, maka kalau menyatakan palsu tentu sudah ada kajiannya," ujar Suhadi.

Sementara itu Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benedictus Bambang Nurhadi meyakini bahwa kepolisian akan mengutamakan penyelesaian kasus tindak pidana korupsi sesuai  Undang-Undang Pemberantasan Korupsi pasal 25. Diaa mengatakan saat ini kepolisian sudah bersikap profesional dalam memilih dan memilah kasus yang harus diutamakan.

"Jadi intinya gini kalau penyidik itu ya, kalau sekarang orang melaporkan tidak boleh ditolak namanya pelayanan masyarakat. Jadi laporan itu kan diteliti dulu dibagian penerimaan laporan, ini laporan bisa ditindak lanjuti tidak," ujar Benedictus, saat dihubungi KBR, Kamis (09/11/2017).

Kata dia,  selama tidak ada laporan   penyimpangan  Kompolnas tidak dapat bertindak.

"Bareskrim tetap jalan sendiri, apabila nanti   ada laporan penyimpangan baru Kompolnas akan mencari ada kesalahannya dimana ini, baru kami akan turun. kalau sekarang tidak ada yang ngadu berarti baik-baik saja, kecuali ada kasus menonjol yang dipublikasikan kami bisa turun berdasarkan keterangan misal dari pers tidak perlu ada laporan dulu," ujar Benedictus.

Ia juga menyinggung adanya teguran dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Tito Karnavian kepada Kabarasekrim Ari Dono atas tindakan Bareskrim yang mengeluarkan SPDP tanpa memberitahu terlebih dahulu kepadanya, ia mengatakan hal tersebut memang tidak harus dilaporkan kepada Kapolri karena sudah atas sepengetahuan Kabareskrim yang bertanggung jawab.

Berbeda disampaikan aktivis  lembaga  antikorupsi ICW, Lalola Easter. Dia mengatakan, penerbitan  SPDP terhadap dua pemimpin KPK, tidak berdasar. Ia justru menilai kubu Setya Novanto  tidak jeli membaca putusan praperadilan.

Lola memaparkan, surat pencegahan sah menurut hukum.

"Kalau dilihat dari putusan praperadilan penetapan tersanga Setnov, soal pencabutan surat pencegahan sebetulnya memang sudah masuk dalam petitum penggugat (Setya Novanto-red), sudah masuk dalam permohonan. Tapi hakim menolak untuk mengabulkan gugatan itu. Artinya surat pencegahan itu sudah sah berdasarkan hukum," kata Lola saat dihubungi KBR melalui sambungan telepon, Kamis (11/9).

Lola   mengatakan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Karena itu, penyidikan polisi terhadap dua pemimpin KPK tidak boleh menganggu penyelesaian kasus korupsi e-KTP. 

Sebelumnya kuasa hukum Novanto, Sandy Kurniawan, melaporkan Saut dan Agus ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia pada 9 Oktober 2017. Sandy menuduh Saut dan Agus telah memalsukan surat dan  menyalahgunakan wewenang karena telah memperpanjang masa pencegahan kliennya ke luar negeri.

Pada April 2017, KPK sudah meminta Dirjen Imigrasi Kemenkumham untuk mencegah Novanto keluar negeri selama enam bulan. KPK kemudian memperpanjang pencegahan tersebut pada awal Oktober 2017 dan berlaku sampai April 2018. Perpanjangan pencegahan dilakukan beberapa hari  setelah tim kuasa hukum Novanto menang di sidang praperadilan.  Tindakan KPK itu dibalas dengan melaporkan pelanggaran pidana umum oleh KPK, dan gugatan kepada PTUN Jakarta atas keputusan imigrasi mencegah Setnov ke luar negeri.

Editor: Rony Sitanggang

  • praperadilan setya novanto
  • wakil ketua kpk saut situmorang
  • ketua kpk Agus Rahardjo
  • Kapolri Tito Karnavian

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!