HEADLINE

Membuka Dokumen Tragedi 65, ANRI Tak Simpan Arsip Laporan Militer

Membuka Dokumen Tragedi 65, ANRI Tak Simpan Arsip Laporan Militer

KBR, Jakarta- Direktur Layanan dan Pemanfaatan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Mira Puspitarini menyatakan lembaganya menyimpan beberapa arsip yang berhubungan dengan peristiwa 1965, dan telah terbuka untuk publik. Mira mengatakan, dokumen tersebut yakni arsip tentang  Komando Operasi Tertinggi (KOTI). Selain itu   hasil sitaan atau rampasan KOTI terhadap organisasi-organisasi yang di bawah PKI dan dokumentasi sidang anggota TKI dalam Mahkamah Militer Luar Biasa.

Mira mengatakan, dokumen tentang KOTI tersebut telah dilihat banyak peneliti sejarah.

"Secara garis besar, arsip KOTI itu terdiri dari arsip internal KOTI sendiri dan arsip rampasan KOTI. Arsip rampasan KOTI itu berupa arsip organisasi underbouw PKI dan PKI sendiri. Untuk arsip-arsip tentang operasi dan analisis kebijakan, seperti laporan komando, kebijakan operasi, tidak tersimpan di Arsip Nasional, tetapi tersimpan di Dinas Dokumentasi Pusat Sejarah TNI," kata Mira kepada KBR, Rabu (18/10/2017).

Mira mengatakan, arsip KOTI yang tersimpan di ANRI tersebut merupakan dokumentasi   kurun 1963 hingga KOTI dibubarkan pada 1967. Kata dia, sejak dibubarkan, dokumen KOTI disimpan oleh Sekretariat Negara, sebelum akhirnya diserahkan kepada ANRI pada 1980.

Mira berkata, dokumentasi KOTI tersebut tersimpan dengan baik di ANRI, serta dapat diakses dengan mudah oleh siapapun dengan hanya menunjukkan kartu identitas. Meski begitu, kata Mira, ANRI memang tak menyimpan dokumentasi tentang kebijakan militer saat peristiwa 1 Oktober 1965, serta sehari sebelum dan sesudahnya karena tersimpan di Dinas Dokumentasi Mabes TNI.

Sementara itu Peneliti sejarah dari Universitas Sanatha Dharma Yogyakarta Baskara Tulus Wardaya menyebut sangat sulit mengakses dokumen peristiwa 1965 di Mabes TNI. Bhaskara mengatakan, dalam penelitiannya tahun 2011 silam, hanya  sedikit materi penelitiannya diperoleh dari Arsip Nasional RI (ANRI), sedangkan kebanyakan dokumen peristiwa 1965 tersebut ia dapatkan dari berbagai perpustakaan di luar negeri.

Menurut Baskara, ANRI pada saat itu juga masih sangat tertutup dalam memperlihatkan dokumen yang berkaitan dengan peristiwa 1965.

"Yang sebagian itu kan di Arsip Nasional, yang sepertinya memang sebagian mulai dibuka, kemudian di Arsip TNI itu juga perlu, dan kalau ada dari organisasi kemasyarakat yang mungkin tahu tentang ini, baik juga. Syukur-syukur para saksi mata waktu itu mulai berani menceritakan apa yang mereka alami dan ingat. Waktu itu saya lebih banyak dari luar negeri, sedangkan yang dari dalam negeri tidak banyak, karena pada saat saya itu masih agak tertutup di Arsip Nasional," kata Baskara kepada KBR, Rabu (18/10/2017).

Baca:

    <li><b><span id="pastemarkerend"><a href="http://kbr.id/10-2017/izin_pembunuhan_massal___dokumen_as_pasca_tragedi_g30s/92968.html">Izin Pembunuhan Massal - Dokumen AS Pasca-Tragedi G30S </a> <span id="pastemarkerend"></span></span><span id="pastemarkerend"></span><span id="pastemarkerend"></span></b></li>
    
    <li><span id="pastemarkerend"><b><a href="http://kbr.id/10-2017/amerika_buka_dokumen_rahasia__tragedi_1965__ini_kata_panglima_tni/92995.html">Membuka Dokumen  Tragedi 1965, Ini Kata Panglima TNI </a></b> <span id="pastemarkerend">
    

Selain arsip di Mabes TNI, kata Baskara, materi penelitian tentang peristiwa 1965 bisa berasal dari banyak sumber. Dia menyebutkan, ada beberapa organisasi masyarakat yang turut mencatat atau mendokumentasikan peristiwa 1965, meski dengan skala lokal. Selain itu, kata dia, para penyintas pun kini sudah semakin terbuka untuk mengisahkan pengalamannya dalam peristiwa 1965 atau momen sesudahnya.

Sementara itu Peneliti American Institute for Indonesian Studies (AIFIS) Yosef Djakababa bahkan mencurigai arsip tentang peristiwa 1965 di Dinas Dokumentasi TNI tersimpan secara berantakan. Sepengetahuan Yosef, tak ada rekan sesama peneliti sejarah yang bisa mengakses Mabes TNI dan pernah melihat dokumen tentang 1965. Itu sebab  tak ada   orang yang bisa memastikan dokumen yang tersimpan di sana benar-benar ada.

Apalagi, kata dia, ada peluang perintah tentang peristiwa 1965 yang disampaikan secara verbal, sehingga tak tersimpan dokumennya.

"Kalau Mabes TNI, saya tidak tahu juga sejauh mana mereka menyimpannya, dan tentang apa, karena belum ada yang pernah melihat. Soalnya kadang-kadang mungkin mereka tidak menyimpan, dalam arti perintah itu secara verbal. Kedua, kita dalam menyimpan dokumen tidak setelaten orang luar. Mungkin kalau di Mabes TNI masih ada, kita tidak akan mudah mengakses ke sana. Saya itu dokumennya dapatnya di luar negeri, arsip tentara, dan itupun kopi sesuai aslinya, ada capnya, dan itu otentik lah," kata Yosef kepada KBR, Rabu (18/10/2017)

Baca:

Yosef mengatakan, beberapa dokumen yang menjadi materi penelitiannya diperoleh dari ANRI, misalnya tentang organisasi-organisasi bentukan PKI. ANRI juga menyimpan arsip dan dokumentasi pengadilan di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), meski saat itu untuk mengaksesnya harus dengan surat Mabes TNI. Selain itu, Perpustakaan Nasional juga menyediakan buku yang sempat dilarang peredarannya, misalnya karya Aidit.

Yosef berkata, kebanyakan materi penelitiannya justru berasal dari luar negeri, misalnya dari Badan Keamanan Nasional AS (NSA), Arsip Nasional AS (NARA), serta perpustakaan di beberapa universitas di AS seperti Univeritas Yale dan Universitas Cornell. Menurut Yosef, sebetulnya arsip tentang peristiwa 1965 bisa juga diperoleh dari perpustakaan yang didirikan bekas presiden AS, misalnya saat 1965 yang presidennya Lyndon Baines Johnson. Kata dia, dokumen di berbagai perpustakaan itu bisa diakses publik secara mudah dengan permohonan melalui surat, kecuali yang termasuk koleksi special karena mengharuskan pemohon datang langsung ke perpustakaan.

Editor: Rony Sitanggang 

  • tragedi 65
  • Gerakan 30 September 1965

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!